ACEH INFO | JAKARTA- Dulu kita mengenal teman kita itu hidup sederhana dan biasa-biasa saja. Tiba-tiba dia muncul di media sosial bak orang kaya raya, dengan tampilan yang mentereng.
Dia kerap pamer saldo ATM, uang bertumpuk di ranjang, mengenakan pakaian mahal, naik mobil sport terbaru, berlibur ke luar negeri dengan jet pribadi dan masih banyak lagi.
Fenomena mendadak pamer atau flexing sekarang menjadi tren di media sosial. Tidak ada yang salah dengan flexing. Tapi jika tujuannya sudah untuk mempengaruhi orang lain, itu yang patut kita waspadai.
Menurut pakar bisnis Rhenald Kasali, flexing atau pamer dilakukan untuk mencapai beragam tujuan, di antaranya menunjukan status dan posisi sosial, menciptakan kesan bagi orang lain, dan menunjukan kemampuan.
“Flexing banyak digunakan sebagai strategi pemasaran,” kata Rhenald, seperti dikutip Kompas.com.
Flexing secara halus umumnya dilakukan para pembicara, lewat CV mereka yang menjelaskan latar belakang pendidikan, pencapaian, penghargaan dan lain-lain. Tujuannya agar pendengar atau peserta yang hadir yakin dengan kapasitas dan kemampuan pembicara.
Sebagian orang juga melakukan flexing dengan memamerkan prestasi, hasil pencapaian pekerjaan, penghargaan di media sosial mereka. Alih-alih promosi diri, malah mendapatkan kesan norak, sombong, yang akhirnya merugikan diri sendiri.
“Walaupun flexing jadi salah satu strategi marketing yang dilakukan untuk menarik konsumen, tetapi masih banyak strategi lain yang “jauh lebih baik” dibanding flexing berlebihan,” kata Rhenald, seperti dikutip Kompas.com.
Psikolog klinis personal Growth Stefany Valentina mengatakan, flexing secara sederhana bisa diartikan sebagai pamer. Dari sisi psikologis, orang pamer bisa jadi karena dua alasan. Pertama, pamer karena memiliki sesuatu yang ingin dibanggakan dan hanya sekadar membagikannya ke orang lain.
“Bisa juga karena alasan dia punya sesuatu, tetapi yang dipamerkan ini bentuk insecurity, karena merasa dirinya kurang. Jadi merasa butuh memamerkan pencapaian itu supaya insecurity tadi tidak terlihat,” kata Stefany, masih dikutip dari Kompas.com.
Menurutnya, flexing tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga bisa pencapaian, keberhasilan, atau bahkan relationship. Ia menuturkan, flexing masih dianggap normal selama masih dalam batas wajar. Tetapi bisa jadi bermasalah apabila dilakukan secara berlebihan.
“Kan enggak semua hal dipamerkan. Ada batasan-batasan tertentu yang memisahkan mana flexing yang wajar dan tidak,” ujarnya. []