Perang yang terus menerus membuat tentara marsose Belanda di Aceh frustasi dan gila. Ada yang menembak komandannya, lalu bunuh diri, ada yang selingkuhi istri teman, kemudian ditembak mati suami selingkuhannya. Moril mereka benar-benar merosot.
Kisah-kisah marsose dalam perang Aceh itu ditulis oleh HC Zentgraaff seorang redaktur surat kabar Java Bode yang terbit di Batavia dalam bukunya Atjeh. Buku ini diterbitkan di Batavia oleh penerbit Koninklijke Drukkerij De Unie pada masa pemerintah kolonial Belanda masih berkuasa di Nusantara.
Zentgraaff mengungkapkan, merosotnya moril para marsose membuat mereka malas patroli. Seperti yang menimpa marsose di Blangkejeren di barak Trangun. Mereka jenuh dengan keadaan, apa lagi harus menghadapi serangan kelewang pejuang Aceh yang bisa muncul secara tiba-tiba. Yang oleh Zentrgraaff disebut sebagai “Hantu-hantu di Blang”. Disebut demikian karena mereka sering menyerang secara frontal lalu menghilang, setelah membunuh.
Untuk membangkitkan kembali moril marsose yang sudah jatuh itu. Diputuskan untuk mengirim istri-istri para marsose itu ke Blangkejeren melalui Langsa. Masalahnya, meski perjalanan mereka dikawal oleh satu pasukan marsose yang dipimpin Mosselman, hanya sebagian kecil istri marsose yang sampai ke Blangkejeren. Sebagian besar memilih kembali ke Langsa karena kelelahan.
Baca Juga: Kisah Buronan Perang Aceh di Rumah Kapten Belanda
Zentgraaff menyebut, para istri marsose yang tiba di Blangkejeren itu sebagai perempuan-perempuan tua yang sudah tak lagi berselera. Seorang perempuan bermana Hethuela malah sering marah-marah dan naik darah.
Sedikitnya istri marsose yang sampai di Blangkejeren, kemudian menjadi masalah baru dikalangan korp tersebut. Nafsu yang sudah tak terkendali akibat lamanya berperang, membuat perselingkuhan terjadi. Para marsose yang istrinya tak sampai, diam-diam membuat janji kencan kilat dengan istri kawannya.
Suatu malam marsose bernama Nannink membuat janji dengan selingkuhannya. Tapi ia terjebak permainan judi dadu di dalam bivak, sementara si perempuan sudah tak sabar menunggunya. Perempuan itu adalah istri marsose lainnya. Karena permainan tak selesai-selesai, Nannink yang nafsunya sudah memuncak ingin menjumpai selingkuhannya naik darah, ia mengambil kelewang dan membunuh teman mainnya, sebelum sempat dilerai oleh marsose lain.
Baca Juga: Kisah Pocut di Biheue Melawan 18 Tentara Marsose
Nannink kemudian menjumpai selingkuhannya itu. Para opsir di mess mendengar teriakan wanita. Mereka mengira itu jeritan istri marsose lainnya yang dihukum oleh suaminya karena kedapatan main serong dengan marsose lain. Peristiwa seperti itu dianggap sudah biasa, karena sangking seringnya terjadi perselingkuhan di barak.
Ketika mendengar teriakan wanita itu, seorang opsir bernama Selbach malah naik ke meja di dalam mess itu memperagakan gaya main kuda lumping sambil mencambuk pantatnya. “Sebantar lagi kita lihat apakah perempuan itu sudah kapok,” tulis Zentgraaff menirukan ucapan Selbach.
Ternyata apa yang dikira Selbach dan kawan-kawannya di mess itu salah. Kenyataannya adalah marsose bernama Nannink itu menyiksa dan membunuh perempuan selingkuhannya setelah mereka berkencan. Setelah membunuh istri marsose itu, Nannink memakai pakaian dinasnya, membawa dua tas berisi peluru. Diantaranya 80 peluru dalam 16 kotak, empat peluru dalam tempat pelor dan satu dalam laras bedil, serta lima peluru dalam karaben. Ia menuju ke barak dan menembak membabi buta, memberondong kawan-kawannya.
Baca Juga: Heroisme Teuku Nyak Makam Panglima Aceh Yang Dipancung Belanda
Letnan Van Eck atasannya Nannink datang untuk menenangkannya. Tapi saat Letnan itu mendekatinya, sebutir peluru ditembakkan ke kepalanya. Ia rebah dengan lubang peluru menembus batok kepalanya.
Nannink terus menambak sekelilingnya. Para marsose dalam barak itu lari menyelamatkan diri. Seorang marsose bernama Schild Wacht terkena peluru nyasar di rahangnya. Setelah kelelahan dan barak itu kosong, Nannink kemudian menghabiskan satu peluru terakhir dalam senapan dengan menembak dirinya sendiri. Marsose gila itu bunuh diri.
“Nannink rupanya masih punya kesadaran, sehingga peluru yang terakhir diperuntukkan untuknya sendiri. Moril kesatuan elit itu benar-benar merosot, mereka menjadi tentara yang berwatak lemah, mereka frustasi dan hilang kepercayaan terhadap diri sendiri,” tulis Zentgraaff.
Peristiwa serupa juga terjadi di Takengon. Seorang marsose menembak mati dua marsose lainnya, karena ketahuan selingkuh dengan istrinya. Setelah menembak dua rekannya, marsose itu juga bunuh diri. “Para opsir itu terlibat permainan gila dengan istri temannya, hingga peristiwa serba bunuh itu terjadi,” ungkap Zentgraaff.[]