BANDA ACEH | ACEH INFO – Banyak industri yang berinvestasi di Indonesia, khususnya di Aceh, sebagian besar membutuhkan lahan yang luas. Para investor tersebut juga diduga menyasar kawasan hutan mengekploitasi sumber daya alam.
“Mereka membutuhkan lahan yang besar dan susah untuk tidak merusak lingkungan di Indonesia, juga di Aceh,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, Ahmad Shalihin, dalam peringatan Hari Bumi di Banda Aceh, Jumat, 22 April 2022.
Peringatan Hari Bumi di Indonesia mengambil tema “Pulihkan Bumi, Tolak Investasi Kotor.” Sementara khusus di Aceh, WALHI cenderung menggunakan tajuk “Bek Meucuca Ateuh Bumoe.”
Ahmad Shalihin menjelaskan makna “Meucuca” yaitu prilaku penguasa dan pengusaha yang memaknai lingkungan hanya sebagai objek eksploitasi semata. Sementara di sisi lain mereka mengabaikan kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
“Prilaku serakah dalam penguasaan ruang dan HAM mengatasnamakan pembangungan dan kesejahteraan, inilah kami maksud meucuca,” ungkap Ahmad Shalihin.
Prilaku seperti ini, menurut Ahmad Shalihin, juga berlaku di Aceh. Menurutnya investasi yang datang ke Tanah Rencong juga kotor dan kebanyakan merusakan hutan dan lingkungan yang berdampak pada kerusakan dan bencana alam. Investasi tersebut juga memicu banjir bandang, konflik satwa dengan manusia karena banyak habitatnya yang sudah beralihfungsi serta konflik lahan dengan masyarakat sekitar.
“Semua itu bermula dari investasi yang tidak bersih,” kata Ahmad Shalihin.
Selain itu, juga terjadi konflik regulasi di Indonesia. Menurutnya undang-undang saat ini dinilai tidak berpihak kepada masyarakat dan sejumlah persoalan perundang-undangan yang diduga hanya menguntungkan pemilik modal.
“Bukan hanya investasi, tapi juga UU yang diambil oleh negara, UU ibu kota baru, UU Tenaga Kerja, semua mengabaikan prinsip berkeadilan dan berkelanjutan,” katanya.
Hal paling miris, menurutnya, hanya satu persen lahan yang ada di Indonesia dikuasai oleh warga pribumi. Itupun hanya pengusaha besar, terutama untuk lahan sawit dan sejumlah izin perhutanan lainnya.
Sementara di Aceh, menurut Ahmad Shalihin, investasi kotor lebih banyak berkutat di sektor pertambangan dan sawit (perkebunan maupun pabrik CPO). Dampaknya sering terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat, hingga konflik satwa dan sering juga ditemukan satwa dilindungi yang mati dalam perkebunan sawit. Investasi tersebut menurutnya juga mencemari lingkungan.
Ahmad Shalihin menilai pembangunan skala besar saat ini telah merampas apa yang dimiliki oleh rakyat. Mulai dari tanah, keutuhan hutan sebagai bagian dari ruang hidup, dan merampas pantai serta sungai yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan keseharian sebagian masyarakat Indonesia.
WALHI Aceh meminta negara untuk mengevaluasi seluruh bentuk perizinan yang ada saat ini, baik di sektor perkebunan, pertambangan, pemanfaatan hutan ataupun izin pariwisata berbasis modal di wilayah pesisir dan perusahaan-perusahaan yang selama ini berkonflik dengan rakyat.
“Tugas negara adalah mengembalikan kembali kedaulatan rakyat atas tanah atau ruang hidupnya pada saat proses evaluasi ditemukan perusahaan-perusahaan yang berkontribusi pada pengerusakan lingkungan, maka proses evaluasi itu harus menindak tegas perusahaan dengan melakukan pencabutan atau pemulihan yang seharusnya dilakukan perusahaan,” pungkas Ahmad Shalihin.[]