BANDA ACEH | ACEH INFO – Penghentian pembayaran sementara premi angsuran kesehatan Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) melalui BPJS sangat berdampak dalam pelayanan medis. Hal inilah yang memicu masyarakat pengguna asuransi kesehatan di Aceh menjadi resah.
“Tentu saja mereka yang masuk dalam kelompok yang tidak bisa dibayarkan asuransi oleh pemerintah ini, tidak mendapat akses lagi untuk pelayanan gratis di BPJS Kesehatan. Inilah yang kemudian pasti akan berdampak pada pelayanan,” kata Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh, dr Safrizal Rahman menjawab acehinfo.id, Jumat, 18 Maret 2022.
Penghentian pembayaran ini, menurutnya akan membuat para penerima asuransi kesehatan gratis terganggu. Terlebih bagi mereka yang masih tergolong dalam masyarakat kecil menengah ke bawah, yang belum diakomodir dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Di sisi lain, dr Safrizal mengakui adanya kesulitan jika Aceh memberlakukan dua sistem atau mekanisme asuransi kesehatan. Dia bahkan menilai, Aceh lebih baik ikut dalam sistem asuransi kesehatan nasional melalui JKN.
“Akan susah kalau ada dua mekanisme, memang terbaik kalau kita ikut terus dalam pelayanan JKN,” katanya.
Menurutnya hal terpenting saat ini adalah menertibkan data penerima JKN dan JKA di BPJS Kesehatan. Dengan adanya data akurat tersebut, maka warga Aceh yang belum tertampung dalam JKN akan mendapat fasilitas asuransi kesehatan gratis dari pemerintah daerah melalui program JKA di BPJS Kesehatan.
Selain itu, pendataan dan verifikasi data tersebut juga akan menunjukkan jumlah masyarakat mampu yang tidak mesti lagi masuk asuransi kesehatan gratis dan ditanggung oleh pemerintah daerah. “Artinya bagi mereka yang mampu, silakan melakukan kepesertaan BPJS secara mandiri. Namun mereka kemudian yang kelas menengah ke bawah atau dalam kategori miskin memang harus menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.”
“Saya percaya hingga hari ini pun pemerintah daerah masih melakukan negosiasi untuk bisa melanjutkan (pembayaran premi asuransi JKA melalui BPJS), memberikan layanan kepada masyarakat menengah ke bawah seperti yang saya maksudkan tadi. Tapi memang data menjadi suatu hal penting untuk bisa merealisasikan keinginan tersebut,” kata dr Safrizal.
Sebagai seorang dokter, Safrizal mengakui ada beban besar bagi pemerintah dalam membayar premi asuransi kesehatan saat ini lantaran hampir semua masyarakat Aceh ditanggung di dalamnya. Padahal, kata dia, tidak semua warga Aceh yang berhak masuk sebagai penerima asuransi kesehatan gratis tersebut.
“Padahal mungkin tidak semuanya dari kelompok itu bisa disupport, ada yang barangkali secara ekonomi cukup dan mampu untuk membayar premi per bulannya untuk asuransi kesehatan tersebut,” katanya lagi.
IDI Aceh sangat mendukung penertiban data BPJS Kesehatan bagi penerima JKA di Aceh. Apalagi jika mempertimbangkan berkurangnya anggaran dari pemerintah pusat untuk Aceh, yang tentu saja akan menjadi beban anggaran pula bagi pemerintah daerah dalam pembayaran premi tersebut.
Meskipun demikian IDI optimis kalau pemerintah daerah masih mampu membayar premi asuransi kesehatan, jika merujuk pada jumlah orang yang ditanggung saat ini. Bahkan, menurutnya, dengan anggaran sekarang asuransi kesehatan gratis juga masih dapat diberikan kepada masyarakat kelas menengah ke atas.
Sementara terkait dugaan adanya permainan medis dalam klaim BPJS Kesehatan, dr Safrizal menyebutkan sangat sulit. Apalagi jika sistem asuransi yang dipergunakan menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Itu tidak bisa, itulah kenapa kita membutuhkan sistem nasional,” katanya.
Hal ini berbeda jika Aceh menggunakan sistem asuransi lokal seperti JKA di masa lalu. Menurutnya JKN sudah terintegrasi dengan sistem yang sudah mengakomodir dengan kemungkinan-kemungkinan tersebut. “Itu tidak bisa, itu ada pasalnya, ada hukuman, ada undang-undang yang mengatur tentang itu. Saya tidak melihat (kecurangan seperti) itu,” ungkapnya.
Ketua IDI Aceh menilai jika Aceh menggunakan sistem JKN dalam pelayanan asuransi kesehatan, maka akuntabilitasnya akan lebih terjamin. Selain itu, sifatnya juga sudah nasional. “Kalau kita merujuk kemana-mana sudah gampang karena link-nya satu. Kalau kita membuat sistem asuransi sendiri, ini tadi yang kita khawatirkan, manajemen sistemnya lemah, kita mulai dari awal, kalau JKN kan sudah ter-list,” paparnya.
Bagaimana kalau ada tenaga medis yang nakal dan bermain mata dengan BPJS Kesehatan?
Mengenai hal ini, dr Safrizal menyebutkan sangat kecil kemungkinan. Hal tersebut juga sulit dilakukan karena tenaga medis hanya menulis di lembar rumah sakit dan lembaran itu akan disusun dan diverifikasi oleh BPJS Kesehatan.
“Kalau tenaga BPJS mengatakan itu tidak bisa, itu tidak akan dibayar, jadi nggak semua yang ditulis itu dibayar. Sangat kecil kemungkinan untuk itu. Tidak semua yang diklaim harus dibayar,” pungkas dr Safrizal Rahman.[]