Siapa yang tidak kenal dengan Kerajaan Samudera Pasai. Nama tersebut telah dikenal seantero negeri ini.
Kerajaan tersebut merupakan sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, letaknya berada di wilayah Kabupaten Aceh Utara.
Tentunya, sebagai kerajaan yang memiliki peradaban yang besar, maka menyimpan berbagai cerita yang menarik untuk dikaji yang mendalam, sehingga generasi penerus Aceh bisa paham bagaimana sejarahnya.
Kerajaan Samudera Pasai berdiri pada 1267 M, oleh Meurah Silu. Setelah masuk Islam, Meurah Silu kemudian berganti nama menjadi Malik Al Saleh.
Ia bergelar Sultan Malik Al Saleh. Sultan Malik Al Saleh memerintah pada tahun 1285-1297.
Bahkan ketika masa-masa pemerintahannya, Sultan Malik Al Saleh pernah dikunjungi oleh seorang musafir dari Venetia, Italia pada 1292 yang bernama Marcopolo.
Melalui catatan Marcopolo ini lah diketahui bahwa raja Samudera Pasai bergelar Sultan.
Letaknya yang strategis di jalur perdagangan internasional, yaitu berada di pesisir Aceh, tepatnya berada di Kecamatan Samudera, Aceh Utara.
Pada tahun 1297, estafet kepemimpinan kerajaan Samudera Pasai dilanjutkan oleh putranya yang bernama Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, sampai berakhir masa kepemimpinannya pada tahun 1326.
Dimasa Sultan Mahmud Malik Az-Zahir, telah mulai dikenal dengan adanya mata uang yang diberinama sebagai Dirham.
Uang tersebut dicetak dengan berbagai versi, ada dicetak dengan menggunakan emas, perak dan tembaga.
Peneliti Sejarah Aceh Husaini Usman menyebutkan, uang Dirham tersebut beredar ke beberapa negara, seperti Malaysia, Thailand, Filipina, Brunai Darusalam dan di seluruh nusantara.
Bahkan ketika melakukan penelitian, pihaknya pernah menemukan lokasi tempat pencetakan uang tersebut, yaitu di Desa Kuta Karang, Kecamatan Samudera, Aceh Utara, di lokasi tersebut ditemukan tempat pembakaran emas yang digunakan untuk mencetak uang.
“Dengan adanya mata uang tersebut, aktivitas barter mulai tidak berlaku lagi dalam melakukan perdagangan. Bahkan saat Ibnu Batutah datang ke Kerajaan Samudera Pasai, diberikan alat cetak uang sebagai cenderamata yang akan dibawa pulang ke Moroko,” tutur Husaini.
Merujuk pada literasi lain menyebutkan, seorang pelaut Inggris, John Davis yang bekerja pada kapal Belanda mendarat di pelabuhan Aceh pada Juni 1599.
Ia menyebutkan di Aceh terdapat berbagai macam alat pembayaran. Seperti cashes (bahasa Aceh: keueh, bahasa Portugis: caxa), mas, cowpan (kupan), pardaw dan tayel (tahil).
Dirinya juga melihat dua keping mata uang logam, yang satu lagi terbuat dari timah, disebut caxas.
Ia menambakan 1600 cashes sama dengan 1 mas. Empat ratus cashes sama dengan 1 kupan. Empat kupan sama dengan 1 mas.
Lima mas sama dengan 4 shilling sterlig. Empat mas sama dengan 1 pardaw, dan 4 pardaw sama dengan 1 tahil.