Pada 29 Agustus 1945, empat haru setelah penyerahan Pulau Weh, Sabang dari Jepang kepada Sekutu, Letnan Hamers seorang perwira Belanda yang menjabat sebagai Panglima Sekutu di Sabang, memanggil Guntyo Sabang T Abaih ke kapal berbendera Inggris milik Sekutu yang sandar di Pelabuhan Sabang.
Hamers menjelaskan bahwa Jepang telah menyerahkan Sabang kepada Pemerintah Kolonial Belanda, sesuatu yang sangat ditentang oleh rakyat Aceh. Sekutu telah diboncengi oleh Belanda untuk tujuan penaklukan kembali Aceh. Ini terlihat jelas sejak saat penyarahan kekuasaan Jepang kepada Sekutu di Sabang pada 25 Agustus 1945, bendera Sekutu bersama bendera Belanda dikibarkan berdampingan setelah penurunan bendera Jepang di Sabang.
Letnan Hamers yang berkebangsaan Belanda diangkat sebagai Gubernur Militer merangkap panglima Sekutu di Sabang. Rakyat Aceh di Sabang tidak bisa berbuat banyak, karena setelah 10.000 tentara Jepang di Sabang dilucuti, kini Sabang dikuasai oleh puluhan ribu tentara Inggris dan Belanda.
Baca Juga: Mantan Gyugun Aceh Membentuk Angkatan Bersenjata
Meski jabatannya sebagai Gubernur Militer, Letnan Hamers dan pasukan sekutunya hanya menguasai Pulau Weh bukan Aceh. Setelah lebih seminggu menguasai Sabang mereka belum berani mendarat di Aceh.
Letnan Hamers mengendalikan pemerintahan di Sabang bersama seorang perwira bernama CA Sani berpangkat Reserver Letnan II KNIL. KNIL merupakan singkatan dari Koninklijke Nederlands Indische Leger yakni kesatuan dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda.
Rakyat Aceh bertindak cepat sebelum Belanda mendarat kembali di Aceh. Lima hari sebelumnya yakni pada 24 Agustus 1945 tokoh Aceh Mr Teuku Muhammad Hasan bersama Dr M Amir tiba di Medan, kembali dari sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Keduanya didampingi oleh Mr M Abbas dari Lampung yang menjadi utusan Sumatera dalam sidang PPKI.
Baca Juga: Kisah Sekutu Melucuti Jepang di Sabang
MR Teuku Muhammad Hasan yang telah diangkat oleh Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Presiden Soekarno sebagai wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia untuk seluruh Sumatera, yang kemudian juga menjadi Komisari Negara Republik Indonesia, mengumumkan kembali proklamasi kemerdekaan Indonesia di Medan.
Berita kembalinya MR Teuku Muhammad Hasan ini disampaikan ke Banda Aceh, tokoh-tokoh Aceh pun mengumpulkan bekas tentara Gyugun pada masa pendudukan Jepang membentuk pasukan bersenjata Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang akan siap berperang jika Belanda dengan sekutunya mendarat di Aceh.
Usaha memperkuat barisan perjuangan rakyat ini dilakukan dengan merebut dan menguasai senjata-senjata peninggalan Jepang. Karena itu pula Pemerintah Sekutu di Sabang yang dipimpin Hamers tidak langsung menyerang Aceh. Pelucutan senjata Jepang oleh rakyat Aceh di berabagi tempat membuat barisan perjuangan rakyat dengan angkatan API jadi pasukan yang kuat. Ini yang kemudian membuat Belanda berpikir dua kali untuk menyerang daratan Aceh.
Baca Juga: Kisah Pemuda Revolusioner Membentuk IPI di Redaksi Atjeh Sinbun
Meski demikian, Gubernur Militer Letnan Hamer tetap menyusun bentuk pemerintahan di Sabang. Pada 3 September CA Sani menggantikannya sebagai Comandan Officer Netherlands-Indies Civil Administration (NICA) yakni Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di Sabang.
Dalam menjalankan pemerinahan kolonial di Sabang, CA Sani dibantu perwira polisi rahasia Belanda (Politieke Inlichtingen Dienst-PID) bernama Emil Daniels. Dari Sabang mereka melakukan kegiatan intelijen ke daratan Aceh, memantau suasana dan mencari kesempatan untuk menyerang daratan Aceh untuk kembali menerapkan Pemerintahan Kolonial Belanda di Aceh.
Sesuatu yang kemudian tak pernah bisa dilakukan, baik oleh Hamers maupun CA Sani dan Emil Daniels, karena itu pula pada agresi Belanda kedua ke Indonesia Aceh menjadi satu-satunya daerah yang bebas dari kekuasaan Belanda. Inilah salat satu faktor yang membuat Presiden Soekarno menyebut Aceh sebagai daerah modal perjuangan kemerdekaan.
Baca Juga: Radio Rimba Raya Dalam Balutan Sejarah
Tak bisa masuk ke daratan Aceh melalui Sabang, Belanda bersama sekutunya juga mencoba masuk melalu darat, yakni melalui Medan, Sumatera Utara. Pasukan sekutu yang diboncengi Belanda sudah sejak 24 Agustus mendarat di Medan dan bersiap untuk masuk Aceh.
Sesuatu yang di luar perkiraan Belanda terjadi, ternyata rakyat Aceh tidak menunggu serangan Belanda di Aceh, tapi menjemput perang ke Medan. Ribuan tentara pejuang kemerdekaan dari Aceh dimobilisasi ke Medan, terjadilah perang frontal yang membuat kota Medan menjadi lautan api. Peristiwa rakyat Aceh memerangi Belanda di Medan ini dalam sejarah dikenal sebagai Perang Medan Area.[]