26.2 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Sabri Aly: Jalan Bisnis ‘Aneuk Muge’ dari Montasik

DARAH DAGANG telah mengalir deras dalam nadinya. Keberanian, kejujuran, keluwesan, bahkan sedikit kenekatan, telah mengantarkannya mendapat pelbagai kepercayaan dalam dunia bisnis. Dia kini dikenal sebagai pengusaha Aceh yang terbilang sukses di Jakarta.

Dilahirkan dari keluarga sederhana di Montasik Aceh Besar, Sabri Aly tak pernah bermimpi menjadi pengusaha. Ayahnya hanya seorang Muge atau agen pengepul hasil bumi dari petani, yang nantinya dijual kembali ke pasar.

Tapi dari Ayahnya lah dia belajar banyak tentang bisnis. “Sekarang saya baru paham arti hadih maja  Aceh yang kerap disampaikan Ayah saya ‘Bloe siploh publoe sikureung, lam ruweung na laba (Beli sepuluh, jual sembilan, di dalam ruang pasti ada untung),” katanya saat menjamu AcehInfo di Mountes Kupi, Duren Tiga, Jakarta Selatan, akhir pekan lalu.

Hidup Sabri Aly tak serta merta mudah.  Usai menamatkan Sekolah Dasar di Montasik, dia diajak oleh Pamannya untuk tinggal di Jakarta. Dia hendak mengasuh dan menyekolahkan Sabri, karena anak-anaknya telah beranjak dewasa dan ia serta istrinya mulai kesepian di rumah.

Tawaran menetap dan hidup di Jakarta sudah pasti membuat Sabri kecil tergiur. Jakarta baginya adalah kota impian yang kemegahannya hanya dilihatnya dari televisi bergambar hitam-putih.

Berbeda jauh dengan Montasik yang saat itu hanya punya dua warung. Selebihnya hanya hamparan sawah dan ladang yang terbentang.  Ia menerima tawaran pamannya itu. Peluang melihat dunia kini di depan mata.

Hidup Sabri terbilang nyaman di rumah pamannya. Apalagi adik Ibunya itu dikenal sebagai pengusaha sukses di Jakarta kala itu. Dia disekolahkan dan kadang kerap diajak jalan-jalan ke tempat-tempat wisata bersama.

Tapi ternyata Sabri tak betah. Pada libur semester pertama, dia memutuskan ‘kabur’ dari rumah pamannya ke Yogyakarta. Kota Gudeg itu menjadi pilihan negeri perantauannya, karena abangnya saat itu sedang menempuh pendidikan di kota pelajar itu.

Pamannya di Jakarta sempat marah besar karena Sabri tak mau kembali. Tapi dia tak peduli. Dia membulat tekad untuk hidup mandiri. “Saya tinggal di Asrama Aceh di Yogyakarta bersama abang saya, bantu bersih-bersih,” katanya.

Karena lari di tengah semester, Abangnya sempat kesulitan mencari sekolah baru untuk adiknya yang keras kepala itu. Berkat bantuan kenalannya, akhirnya Sabri disekolahkan di SMP 2 Yogyakarta.

Tak berapa lama, usai lulus kuliah, abangnya diterima bekerja di Magelang, Jawa Tengah. Sabri memilih tak ikut abangnya dan tetap ingin berada di kota Sultan Hamangkubwono itu. Oleh rekan-rekan abangnya, dia dibolehkan untuk tetap tinggal di asrama yang seharusnya bukan untuk anak SMP itu.

Di sinilah petualangan bisnisnya dimulai. Untuk sekadar menganjal perut, dia berjualan koran usai pulang sekolah. Di Subuh buta, dia menjadi kuli panggul dan pendorong gerobak di pasar impres dekat asrama.

Ada kalanya Sabri tak makan. Itu karena faktor cuaca. Sebab kala hujan praktis dia tak bisa menjajakan koran di jalanan dan persimpangan. Pun jika saat fajar menyingsing, tak ada pedagang di pasar impres yang meminta bantuan tenaganya. Tapi Sabri tak mengeluh. Ada saja caranya untuk menganjal perut.

“Dari jualan koran saya bisa dapat uang 25 Rupiah hingga 150 Rupiah. Waktu itu harga seporsi Gudeg dengan ikan atau ayam yang disuir itu 150 Rupiah,” katanya.

Sabri Aly: Jalan Bisnis ‘Aneuk Muge’ Dari Montasik
Sabri aly bersama ibunda tercinta.

Di sekolah, Sabri tetap berupaya mengejar pelajaran. Tapi Sabri mengaku nilai akademisnya pas-pasan. Bahkan nilai rapornya untuk beberapa mata pelajaran ada yang merah. Terutama pelajaran bahasa daerah.

“Bahasa Indonesia saja waktu itu saya masih kurang pas, apalagi pelajaran bahasa Jawa. Sampai kelas dua saya selalu dapat nilai merah di pelajaran bahasa Jawa,” katanya.

Melewati perjalanan untuk belajar dan mencari bekal makan demi bertahan hidup di jalanan, dilewatinya begitu saja. Hingga dia akhirnya tamat di sekolah menengah pertama.

Keuletan dan kesabarannya berjualan koran dan majalah, pelan-pelan membuat nasibnya berubah. Dia kemudian dipercayakan untuk menjaga kios penjual koran dan majalah.

“Itu sekitar tahun 1986. Sebenarnya itu kios punya abang saya, tapi dikelola oleh orang lain sebelumnya. Karena tidak dikelola lagi, saya kemudian melanjutkannya,” kata Sabri.

Sebuah sepeda membantu melancarkan usahanya. Saban hari usai pulang sekolah, dia mengantar majalah-majalah ternama kala itu, ke rumah-rumah pelanggannya. Sabri ingat, salah satu langganannya adalah anak Mantan Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud, yang kala itu sedang kuliah di sana.

“Waktu itu Majalah yang terkenal itu Femina, Kartini dan Majalah Gadis. Dari situ saya mulai berduit. Sudah bisa traktir teman-teman lah. Bisa minjamin uang ke anak-anak Mahasiswa di asrama yang belum dapat kiriman wesel dari kampung,” ujar.

Tidak hanya menjadi agen penjual koran, di masa SMA, Sabri mendapatkan pekerjaan lain untuk menambah isi kantong celana. Modal parasnya yang terbilang tampan, ternyata berguna pula. Dia mendapat tawaran menjadi model majalah kampus.

Dia juga kerap mengikuti ajang fasion show dan pemotretan untuk tiga merk kaos yang terkenal di Jogja kala itu. Tak hanya bisa meneraktir makan teman-temannya, kini Sabri sudah bisa membiayai sekolahnya sendiri.

“Di sekolah saya juga juga jualan kaos, celana, sepatu bekas. Saya bawa contohnya ke sekolah dan tawarin ke teman-teman saya di SMA,” Tutur Sabri, sambil menghembuskan asap dari cerutunya.

Pergaulannya kian luas setelah itu. Dia bahkan mendapat pekerjaan sebagai penyiar di sebuah stasiun radio di Jogja. Tugasnya selain memilih tembang-tembang populer, dia juga membacakan kupon-kupon yang dibeli para pendengar, yang hendak mengirimkan ucapan sayang kepada kekasih atau koleganya.

“Di Jogja saya dikenal Agam, bukan Sabri. Nama itu mulai muncul saat saya jadi penyiar radio. Jadi orang-orang yang kenal saya tahunya nama saya Agam waktu itu,” katanya.

Agam dari Montasik itu tak hilang akal untuk mencari tambahan penghasilan. Jika ada pertunjukan musik atau pementasan seni, dia hadir membantu orang-orang  yang malas mengantre, untuk mendapatkan tiket. Dia juga kerap ikut menjadi crew event-event pertunjukan.

“Awalnya ada petugas keamanan acara-acara konser yang saya kenal. Saya beli ke dia tiket mereka-mereka yang minta bantuan saya. Saya bisa masuk gratis. Belakangan saya juga jadi calo tiket,” kenang Sabri.

Tamat SMA Sabri memutuskan meninggalkan Yogyakarta dan kuliah di Universitas Sultan Agung, Semarang. Kemampuan beradaptasi dari jalanan dan ke pasar-pasar di Yogyakarta, membuat Sabri luwes membawa diri dan berteman.  Dia aktif beroganisasi sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

“Diajak masuk HMI dan organisasi-organisasi pergerakan lain saya nggak mau. Kalau bikin kegiatan, acara-acara sosial, saya mau ikut. Jadinya saya tidak terkotak-kotak di satu organisasi,” sebutnya.

Sabri Aly: Jalan Bisnis ‘Aneuk Muge’ Dari Montasik
Sabri aly saat menghadiri sebuah kegiatan kamar dagang dan industri (kadin) indonesia.

Sabri tapi aktif di sebuah kelompok diskusi bernama Leo Club Semarang Pradana, anak asuh sebuah lembaga filantropi Lions Club Semarang. Kelompok diskusi ini lebih fokus pada pengalangan dana untuk kegiatan-kegiatan amal dan bakti sosial. Anak-anak pembesar di Semarang kala itu terlibat di dalamnya. Sabri bahkan sempat dipercayakan menjadi Presiden Leo Club itu.

“Dari kegiatan di Leo Club ini saya makin banyak kenal pengusaha-pengusaha top di Semarang. Termasuk sponsor-sponsor untuk acara-acara seperti pengusaha Jamu Nyonya Meneer dan lain-lain,” kata Sabri.

 

Di sisi lain, berbekal pengalamanya menjadi calo tiket di Jogja, Sabri bersama rekan-rekannya juga semakin sering membuat pertunjukan seni di luar kampus. Belakangan usaha itu diseriuskan dengan mendirikan perusahaan Event Organizer dan promotor artis.

Beberapa artis ibukota yang mangung di Semarang kala itu dia tangani. Dia mengurus berbagai persiapan pertunjukan, mulai dari konsep, design pangung, lighting, mengurus perizinan, tiket, jumpa fans dan lain-lain sebagainya.

Bahkan mereka mendapatkan kontrak untuk menangani konser di sejumlah kota di Jawa, dari sebuah perusahan rokok terkenal di Indonesia. Foto-fotonya kerap muncul di koran dan majalah hiburan yang beredar di Semarang dan nasional, bersama para artis  terkemuka.

“Mulai dari artis Dangdut, Rock, hingga Jazz. Konser Ahmad Albar dan Goodbles di Semarang waktu itu pernah saya pegang. Artis-artis dangdut juga banyak seperti Rhoma Irama, Evitamala dan lain-lain,” sebutnya.

Tidak hanya mengurus konser, Sabri bersama perusahannya itu juga memegang ajang olahraga otomotif Slalom Test, ajang dimana sang pengendara mobil menunjukan kelihaiannya bermanuver, mengemudikan mobil dalam kecepatan tinggi. Saat itu pertunjukan Slalom Test kerap dipadati penonton selain road race.

“Dari usaha itu saya sudah bisa beli mobil. Tapi mobil yang saya beli untuk usaha lagi,” kanangnya.

Bisnis EO yang dilakoninya terus berkembang kala itu. Kian hari, dia semakin dikenal dan dipertaruhkan di dunia pertunjukan. Tapi Sabri juga melihat peluang usaha lainnya yang lebih menjanjikan.

Bersama koleganya, dia juga berbisnis pengolahan kayu Sengon, yang dibeli dari petani dan pemilik lahan. Mereka mengolah gelondongan Sengon menjadi potong-potongan kayu berukuran sedang dan kecil untuk pembuatan mebel dan forniture.

“Kita beli pohon Sengonnya batangan. Tapi ranting, cabang, akarnya, serbuknya, kan bisa kita manfaatkan juga. Prinsip ‘Bloe siploh, publoe sikureung, lam ruweung meuteme laba’, saya praktikkan dalam bisnis dan saya sadari benar,” katanya.

“Mobil pick up yang saya beli dari hasil kerja EO saya pakai untuk angkut-angkut kayu ke tempat usaha ketam kayu yang kami bangun. Sambilan dari itu saya juga jualan kelapa muda, yang saya ambil dari beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.”

Usaha kayu Sengonnya semakin berkembang. Sabri semakin sering berkeliling ke sejumlah kota di Pulau Jawa, termasuk Jakarta, untuk melebarkan sayap bisnisnya yang tak hanya lagi berpusat di Semarang.

Tahun 1998 menjadi tahun kegemilangannya dalam usaha kayu. Dia telah bisa membeli kendaraan impiannya dan makin memiliki relasi bisnis yang lebih bonafit. Dia kemudian hijrah ke Jakarta dan membuka kantor di Bekasi, Jawa Barat.

Pada kerusuhan Mei di Ibukota negara, Sabri sempat bertemu dengan seorang warga keturuan Tionghoa kolega abangnya, yang kala itu menjadi sasaran kemarahan usai runtuhnya rezim orde baru. Sabri membantu pria itu dan keluarganya untuk menjauh dari titik kerusuhan.

Pria itu ternyata punya bisnis yang hampir sama dengan dirinya. Karena dianggap berjasa membantunya, Sabri diajak untuk bekerjasama dalam bisnis kayu dan rotan. Mereka membeli gelondongan rotan dari Kalimantan, kemudian diolah kembali di Jawa.

“Kami bangun pabrik pemilahannya di Semarang. Rotan-rotan itu itu kemudian dikirim ke sejumlah negara terutama di Eropa. Hubungan kami tidak hanya sebatas bisnis tapi sudah seperti keluarga, dia sempat menjeguk ibu saya di Aceh,” sebutnya.

Usaha ekspor kayu dan rotan yang cukup menjanjikan, membuat Sabri semakin tajir saja. Namun belakangan karena ada larangan ekspor rotan tanpa olahan, bisnis itu sempat tekendala. Akhirnya mereka mengelola pengelohan kayu dan rotan sebelum dikirim ke luar negeri.

“Sampai sekarang bisnis kayu itu masih berlanjut. Tapi sekarang dikelola teman saya di Semarang, saya masih memiliki saham di situ,” ujarnya.

Tsunami tahun 2004 silam membuat Sabri bergerak untuk membantu tanah kelahirannya. Dia ikut mengalang bantuan bagi para korban, di awal masa tanggap darurat dari Jakarta. Saat masa rehabilitasi dan rekonstruksi, Sabri juga terlibat dalam proses pembangunan Aceh pasca tsunami.

Belakangan dia mendirikan beberapa perusahan yang bergerak di bidang kontruksi, konsultan dan perminyakan, serta televisi lokal, yang bernaung di bawah bendera perusahan induk yang diberi nama Banda Group.

Dalam upaya merajut damai Aceh, Sabri juga ikut bersama dengan sejumlah tokoh Aceh di Jakarta melakukan lobi-lobi. Bahkan dia kemudian memiliki hubungan dengan orang-orang dekat Jusuf Kalla, yang saat itu menjadi wakil presiden.

“Saya banyak mengenal para pembesar-pembesar setelah itu dan berakhir pada hubungan bisnis termasuk dengan Erick Thohir, Menteri BUMN saat ini,” sebutnya.

Di organisasi para pengusaha, Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Sabri kini juga tercatat sebagai pengurus. Dia menjadi Wakil Ketua Tetap Aceh di pengurus nasional. Kini dia mengurus organisasi itu bersama para pengusaha besar dari sejumlah daerah.

“Di Kadin pernah juga bertemu rekan saya yang dulu di Semarang yang dari awal sudah kaya raya. Dia kaget melihat saya, dan bilang ke rekan-rekan kalau saya ini dulu sering disuruhnya beli rokok dan pesanin minuman,” kelakarnya.

Tidak hanya fokus pada bisnis. Sabri juga memilik sejumlah kegemaran yang mengatarkannya ke sejumlah peluang-peluang bisnis. Antara lain kopi dan cerutu. Produk tembakau yang berasal dari negara-negara Amerika Latin itu, kini selalu menemani hari-harinya. Dia malah mendirikan Club pencinta cerutu pertama di Indonesia, yang diberi nama, Aceh Cigar Club (ACC).

Karena hobi mengisap cerutu, Pada 2017 Sabri tertarik masuk dan mengembangkan bisnis cerutu. Bekerjasama dengan merk cerutu asal Jember Jawa Timur, dia mulai memperkenalkan Cigar dari Jakarta hingga kota-kota besar lainnya di Indonesia.

Sabri Aly: Jalan Bisnis ‘Aneuk Muge’ Dari Montasik
Sabry ali memilah tembakau terbaik untuk pembuatan cigar, di perkebunan tembakau di jember jawa timur.

Malah dia kini telah memiliki lahan untuk menanam tembakau untuk mengembangkan produk cigarnya sendiri yang ia beri nama Mountesso Cigar, merujuk kepada tanah kelahirannya di Montasik Aceh Besar.

“Cigar kini dinikmati oleh sejumlah kalangan. Cigar juga mempertemukan saya dengan banyak orang yang berpengaruh,” katanya.

Selain Cigar, Sabri juga sedang merintis bisnis restoran di bernama Mountes Kupi, di Jalan Duren Tiga Raya, Pancoran Jakarta Selatan.  Sabri terus bergerak. Perjalan hidupnya yang berliku kini membawanya pada karier bisnis yang gemilang.

Meski begitu Sabri terkenal rendah hati dan bisa masuk serta diterima di berbagai kalangan.  Bagi Sabri tidak ada hal yang membuatnya harus membusungkan dada.  Sabri juga tak ingin larut dalam semua kebesarannya.  Menurutnya yang terpenting dalam hidup, adalah berbuat dan berusaha sesuatu yang bermanfaat bagi banyak orang.

“Dalam hidup kita harus memulainya dari hal kecil, agar menjadi besar. Karena dari hal yang terkecil sudah pasti akan menjadi besar,” sebutnya.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS