BANDA ACEH | ACEH INFO — Anggota DPR Aceh, Dahlan Jamaluddin mengingatkan, seluruh stakeholder Aceh agar segera membangun konsepsi dan konsolidasi bersama menyongsong revisi UUPA yang saat ini telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023 di DPR RI.
“Seharusnya, revisi UUPA bisa menghilangkan kata-kata norma, standar, dan prosedur yang justru menjadikan UUPA itu sendiri tidak mutlak,” kata Dahlan dalam Kuliah Umum, “Jalan Panjang Revisi UUPA, Antara Tantangan dan Hambatan” di Ruang Theater FISIP UIN Ar-Raniry, Selasa sore (4/10/2022).
Saat ini, kata Dahlan, draf awal revisi UUPA telah ada di Badan Keahlian DPR RI. Draf lainnya disiapkan oleh DPD RI. Sementara DPR Aceh dan partai politik di Aceh sendiri masih berbeda pendapat tentang pasal-pasal yang harus direvisi.
“Seharusnya para akademisi, politisi, anggota DPR Aceh, dan stakeholder lainnya tidak lagi terpecah dan saling menyalahkan dalam revisi UUPA,” ujar Dahlan. Dia juga mengingatkan kembali bahwa berdasarkan Pasal 7 UUPA, disebutkan bahwa rencana pembentukan UU RI harus dengan konsultasi dan pertimbangan DPR Aceh.
Baca Juga: kolaborasi Masyarakat Sipil Aceh Serahkan Draf Usulan Revisi UUPA-ke Menkopolhukam
Menurut Dahlan, persoalan UUPA saat ini adalah terkait banyaknya kata-kata norma, standar, dan prosedur. Berdasarkan catatan yang ada, misalnya, dalam Pasal 165 UUPA yang berkaitan dengan pariwisata disebutkan, “… investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang berlaku secara nasional.”
Hal-hal seperti ini, lanjut dia, menjadikan UUPA tidak mutlak dan self government tidak berjalan sebagaimana harapan. Selain itu, mantan ketua DPR Aceh ini juga mengkritik masih terlalu banyak turunan dari UUPA dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Presiden (Perpres) belum disahkan.
Konsekuensinya, lanjut dia, kekhususan Aceh sebagai daerah otonomi khusus asimetris tidak berbeda dengan daerah lainnya. “Dalam tataran praktis, ternyata Kemendagri menggunakan UU Pemerintahan Daerah juga untuk Aceh karena alasan norma, standar, dan prosedur tadi,” ujarnya.
Baca Juga: Penerbangan Kualanamu Sabang Potensi Dibuka Kembali
Maka, menurut Dahlan, selama 15 tahun terakhir, yang tersisa dari Otsus Aceh hanya dana Otsus dan syari’at Islam. Karena itu, bagi Dahlan, revisi UUPA menjadi keharusan. “Secara substansi juga sungguh sangat jauh dari kehendak politik MoU Helsinki,” tegas politisi Partai Aceh ini.
Sementara itu, Dekan FISIP UIN Ar-Raniry, Dr Muji Mulia MAg mengatakan, UUPA saat ini harus menjadi kajian serius seluruh masyarakat Aceh. Terutama setelah berkurangnya dana otonomi khusus Aceh, yaitu 2 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional menjadi 1 persen mulai tahun 2023 nantinya.
Menurut Muji, UUPA sejatinya adalah modal untuk memakmurkan Aceh, tetapi setelah lebih dari satu dekade, masyarakat Aceh masih banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Terbukti, meski status Aceh self government, kemiskinan pernah mencapai angka 15,53 persen, meski kini turun menjadi 14,64 persen selama peiode September 2021-Maret 2022. Diatas rata-rata angka kemiskinan nasional, yaitu 9,54 persen. Mutu pendidikan Aceh juga berada diurutan 25 dari 34 provinsi di Indonesia. “Untuk itu diperlukan lompatan pemikiran dan implementasi program agar dapat merubah nasib Aceh secara bersama-sama,” kata Muji.
Baca Juga: Iinmemoriam Abu Tumin Gurunya Para Ulama
Shaummil Hadi SSos MA, Dosen FISIP Universitas Al-Muslim mengatakan, DPR Aceh bersama seluruh stakeholder di Aceh harus memperjelas hal mana yang dibatasi dan yang diberikan. “Mengubah undang-undang tentu bukan hal yang mudah,” ujarnya.
Disisi lain, Muazzinah MPA, akademisi pada FISIP UIN Ar-Raniry mengatakan, Aceh dengan UUPA adalah daerah istimewa di Indonesia jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Indonesia.
“Di Aceh bahkan terdapat partai lokal, tetapi ternyata belum berhasil menampung aspirasi politik masyarakat lokal. Tidak ada hal-hal signifikan yang berhasil dicapai. Masyarakat tetap saja miskin,” ujarnya.
Muazzinah juga menyinggung soal kewajiban menggunakan bahasa Aceh dalam UUPA, sebagai bahasa pengantar dalam pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. “Pertanyaannya adalah berapa persen sekolah yang menerapkannya,” tanya dia.
Pemerintah, kata akademisi yang menjabat ketua Prodi Ilmu Administrasi Negara ini, juga masih punya rapor merah dalam hal pelayanan publik. Padahal pelayanan publik adalah jalan menuju kepercayaan kepada pemerintah.[]