Rabbani Wahed merupakan tarian spiritual yang berisi pujian kepada Illahi. Dikembangkan di Samalanga, Kabupaten Bireuen. Tarian sufi ini semakin menggema setelah dipentaskan pada Festival Istiqal di Jakarta pada tahun 1991 silam.
Pegiat Kebudayaan Aceh, Syamsul Bahri menggungkapkan, tarian ini diciptakan oleh Teuku Muhammad Daud Gade pada tahun 1989. Tarian ini merupakan pengebangan dari tradisi “meugrob” yang telah lama hidup dan berkembang di daerah Samalanga dan sekitarnya.
“Rabbani Wahid mengandung arti Allah Sang Rabbi Yang Satu. Tarian ini berisi pujian terhadap Allah dan Rasullullah, nasehat dan riwayat yang dikumandangkan sepanjang tarian ini berlangsung, yang semuanya bermuara pada upaya mendekatkan diri kepada sang Khalik,” jelas pria yang sering disapa Sarjev tersebut.
Pria kelahiran Lhokseumawe, 29 November 1968 ini menambahkan, syair dalam tarian Rabbani Wahed kebanyakan bersumber dari meugrob yang berasal dari Syekh Muhammad Saman. Adapun yang dimaksud dengan meugrob adalah gerakan melompat-lompat yang dilakukan oleh sekelompok remaja atau orang dewasa dengan saling bergandengan tangan sambil membaca ”Allahu” dan “La Illaha Illallah” secara berulang sampai mencapai situasi dan kondisi puncak tarian..
Kondisi puncak dalam “atmosfer keilahian” tersebut hanya bisa dirasakan oleh para pelakunya. Salah satu tanda mereka telah berhasil mencapai kondisi tersebut, biasanya pelakunya jatuh tak sadarkan diri dengan rasa puas secara spiritual yang tak terhingga. Mereka baru sadar dan bangun setelah terdengar takbir Idul Fitri atau azan.
“Biasanya meugrob dilaksanakan pada malam menjelang Idul Fitri bertempat di meusanah/surau yang pada masa lalu masih beralaskan lantai yang terbuat dari kayu. Lantai kayu menghasilkan suara dentuman yang keras dan ekspresif pada saat meugrob berlangsung, sehingga suara yang dihasilkan dari hentakan kaki para pelaku sampai jauh terdengar,” tambah Sarjev.
Sampai saat ini Tari Rabbani Wahed masih hidup dan berkembang di Samalanga dan sekitarnya. Pada tahun 1991 tarian ini sempat dipertunjukkan di Jakarta pada Festival Istiqal yang dibawakan oleh DosenTari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) asal Aceh, Nurdin Daud.
Tari Rabbani Wahed biasanya dimainkan oleh 10 orang dengan dua orang syeh (vokal). Tarian ini tidak diiringi permainan musik yang menggunakan alat, tapi cukup lantunan nyanyian oleh 2 (dua) orang syekh. Para penarinya mengenakan busana tari yang terdiri atas celana, baju, kain songket di pinggang dan topi penutup kepala. Sedangkan Syeh memakai pakaian serupa dengan penari, tetapi berbeda warna, yaitu warna kuning.
Sementara itu Kepala Bidang Bahasa dan Seni Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, Nurlaila Hamjah, S.S0s, M.M, mengungkapkan, Disbudpar Aceh membuka ruang dan kesempatan bagi anak-anak milenial dari siswa sekolah umum, madrasah aliyah dan pesantren untuk mempelajari dan belajar senisi tradisi, termasuk seni tari rabbani wahed.
“Ini untuk pembinaan, pelestarian, pengembangan, serta upaya kita bersama untuk diseminasi alat musik tiup serune kale, gendrang dan tarian rabbani wahed agar semakin dikenal dan dicintai masyarakat,” jelasnya.
Nurlaila Hamjah berharap para pelajar yang mempelajari alat music tradisional dan seni tradisi itu nanti bisa berkontribusi lebih banyak dalam berbagai event, tampil dipangung pertunjukan dan melatih kader-kader potensial untuk menjadi penerus yang akan mengembangkan seni dan tari tradisi.[]