25.4 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Proyek IPAL Dilanjutkan, Mizuar: Sikap Mapesa Belum Berubah

BANDA ACEH | ACEH INFO – Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat (PUPR) akan melanjutkan proyek Intalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di kawasan situs Gampong Jawa, Banda Aceh. Proyek yang diduga bersumber dana utang dari Asian Development Bank (ADB) tersebut sebelumnya sempat dihentikan lantaran menuai protes masyarakat.

Polemik kian tajam ketika para pekerja proyek menemukan beberapa pasang batu nisan di salah satu kolam galian untuk IPAL. Nisan-nisan yang diduga milik tokoh di era Kesultanan Aceh Darussalam ini, kian memperkuat dugaan dan teori-teori yang pernah dikemukakan oleh sejarawan soal peranan penting kawasan muara Krueng Aceh. Kawasan ini juga menjadi simpul yang hilang tentang jejak Kesultanan Aceh pascaperang menghadapi Belanda, Jepang, hingga bencana tsunami.

Ketua Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Mizuar Mahdi kepada acehinfo mengatakan, elemen sipil yang fokus pada penyelamatan sejarah Aceh ini masih mempertahankan saran dan pendapat mereka seperti yang pernah disampaikan pada tahun 2019 lalu. “Sikap Mapesa tidak berubah jika berbicara tentang Gampong Pande dan kawasan sekitar muara Krueng Aceh. Sikap ini juga sudah pernah kita sampaikan kepada pemerintah,” kata Mizuar, Sabtu, 5 Februari 2022 malam.

Baca: Proyek IPAL Dilanjutkan 2022, Peusaba: Terkutuk!

Mapesa, seperti rekomendasi yang pernah disampaikan dalam beberapa tahun terakhir, telah menyatakan menolak apapun bentuk pemanfaatan lahan di kawasan muara Krueng Aceh yang dapat mengganggu, merusak, menghilangkan serta menjatuhkan nilai (martabat) dari sesuatu yang bernilai sejarah. Apalagi kawasan tersebut merupakan aset kebudayaan dan alam bagi masyarakat Aceh.

Sikap ini bahkan sudah dikeluarkan Mapesa di saat awal-awal proyek IPAL dilakukan di kawasan muara Krueng Aceh, tepatnya di Gampong Jawa. Bagi Mapesa, bukan hanya proyek IPAL yang wajib dihentikan di lokasi tersebut, tetapi juga merekomendasikan pemindahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan juga IPLT.

“TPA, IPTL, IPAL sekalipun memiliki manfaat besar bagi masyarakat secara umum, namun penempatan lokasi untuk itu semua sebagaimana yang terjadi hari ini di Banda Aceh adalah sesuatu yang akan memberikan berbagai dampak buruk,” bunyi rekomendasi Mapesa.

Dampak buruk yang dimaksud antara lain mengakibatkan rusaknya lansekap peninggalan sejarah di kawasan muara Krueng Aceh. Keberadaan instalasi yang berkaitan dengan kotoran manusia itu juga akan tambah membenamkan sekaligus menghilangkan bukti-bukti permukiman kuno dari zaman Aceh Darussalam.

“Dan dalam hal ini perlu dicatat bahwa kerusakan dan kehilangan peninggalan sejarah adalah sesuatu yang tidak akan pernah dapat digantikan untuk selamanya,” tulis Mapesa dalam rekomendasi tersebut.

Dampak buruk lainnya adalah keberadaan tiga instalasi berkaitan dengan kotoran manusia itu juga mengakibatkan kawasan serta gampong-gampong yang memiliki potensi kesejarahan dan alam, menjadi kumuh. Kawasan itu juga bakal menjadi lingkungan pinggiran dari kota Banda Aceh.

Berikut pandangan dan saran Mapesa terkait proyek IPAL, IPLT dan TPA di kawasan muara Krueng Aceh tersebut:

Pandangan dan Saran Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (MAPESA)

Mengenai: Pemanfaatan Lahan di Kawasan Muara Krueng Aceh untuk Tempat Pembuangan Akhir (TPA), Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), dan Proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)

A. Pendahuluan

Memperhatikan kenyataan bahwa di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, terdapat tempat dan instalasi-instalasi berkenaan dengan pengelolaan sampah dan limbah di Kota Banda Aceh, maka dari itu Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (untuk selanjutnya disebut Mapesa) merasa tertuntut untuk menyatakan pandangan-pandangan serta saran-saran menyangkut pemanfatan lahan di kawasan tersebut.

Sejauh pengetahuan Mapesa, tempat dan instalasi-instalasi yang dimaksud adalah: (1) Tempat Pembuangan Akhir (untuk selanjutnya disebut TPA); (2) Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (untuk selanjutnya disebut IPLT); (3) dan Proyek Instalasi Pengolahan Air Limbah (untuk selanjutnya disebut IPAL)-sedang dalam proses pengerjaan

Pandangan dan saran Mapesa yang disampaikan di sini mewakili sikap dan keputusan final yang telah diambil oleh Mapesa untuk menolak apapun bentuk pemanfaatan lahan di kawasan tersebut yang dapat mengganggu, merusak, menghilangkan serta menjatuhkan nilai (martabat) dari sesuatu yang bernilai sejarah serta merupakan aset kebudayaan dan alam bagi masyarakat Aceh.

B. Pandangan-pandangan

1. Pandangan Mapesa menyangkut Lokasi TPA, IPTL, IPAL

Lokasi TPA, IPTL, IPAL berada di Gampong Jawa, Kecamatan Kuta Raja, Kota Banda Aceh.
Mengenai lokasi tersebut, Mapesa mengarahkan pandangannya kepada hal-hal yang sangat perlu diperhatikan menyangkut:

a. Gampong Jawa

Peta administrasi Kecamatan Kutaraja, Kota Banda Aceh, hari ini memperlihatkan bahwa Gampong Jawa adalah sebuah gampong yang bersebelahan dengan Gampong Pande di sisi utara dan baratnya, Gampong Pelanggahan di sebelah selatannya, sementara batas di sisi timurnya adalah Krueng Aceh.

Gampong Jawa adalah sebuah toponimi kuno. Berbagai tradisi tutur (hikayat) telah menyebutkan keberadaan Gampong Jawa ini di kawasan muara Krueng Aceh.

Pada lembar awal sebuah naskah manuskrip Syarh Al-Hudhudiy (Oman Fathurahman 2010: 67) terdapat catatan yang menyebutkan tahun 1196 H (1782) berbunyi begini :

“wa tuwuffiya Sayyid Abu Bakr Kampung Jawa pada bulan Ramadhan empat belas hari bulan pada hijrah seribu seratus sembilan puluh enam tahun, sanah 1196.”

Beberapa catatan peristiwa dalam sejarah Aceh juga menyebut-nyebut Gampong Jawa, antara lain:

Disebutkan bahwa dalam konflik perebutan kekuasaan antara Pocut Ue dan Jamaloy pada 1735, Gampong Jawa telah menjadi tempat di mana Jamaloy mengundurkan diri dan bertahan sebelum kekalahannya. (Mohammad Said: I, 432)

Sultan Mahmud menghadapi pemberontakan setelah 2 tahun sejak pengangkatannya sebagi Sultan Aceh pada 1760. Pemberotakan tersebut sempat berhasil memaksa Sultan Mahmud mundur dan berlindung di Gampong Jawa. Namun ketika pemberontak mengetahui Sultan berada di sana, mereka pun mengepung Gampong Jawa. Sultan berhasil meloloskan diri dan keluar dari kepungan dengan menggunakan perahu menuju kuala Krueng Aceh. (Mohammad Said 1981: jilid I, 434)

Setelah kegagalan ekspedisi Belanda I ke Aceh pada 1873, Belanda mengirim mata-mata ke Aceh. Mata-mata Belanda yang dipanggil dengan Sersan Santri menyamar sebagai seorang pedagang dan melakukan peyusupan dari barat Ujung Batu Putih dan dengan melewati Krueng Aceh masuk ke Kampung Jawa. 10 atau 12 hari di Kampung Jawa menggali rahasia-rahasia penting, ia akhirnya berhasil menyusup ke Istana Aceh, dan tiga kali sempat bertemu dengan Sultan. (Mohammad Said 1981: jilid II, 5)

Beberapa infomasi singkat ini, kiranya, telah dapat membuktikan bahwa Gampong Jawa adalah sebuah toponimi yang telah wujud sejak ratusan tahun yang lalu, serta memiliki arti penting dalam sejarah Aceh Darussalam.

Perlu untuk diperhatikan pula bahwa “Jawa” pada toponimi ini tidak mengacu ke pulau Jawa atau orang-orang Jawa sebagaimana yang lazim dipahami dewasa ini, tetapi lebih dapat diyakini sebagai nama yang mengacu kepada sebuah nama wilayah kuno di utara Aceh, yang dikenal dengan “Jawah”, sebagaimana tercatat dalam Tuhfah An-Nuzhzhar, atau yang lebih dikenal dengan Rihlah Ibni Baththuthah (wafat 779 H/1377 M), dan dalam tulisan-tulisan para ahli georgrafi Arab-Persia sebelum Ibnu Baththuthah.

Dengan demikian, toponimi “Gampong Jawa” yang ditemukan di berbagai daerah yang dalam sejarahnya memiliki suatu hubungan dengan Kerajaan Sumatra (Pasai), dapat dipahami sebagai permukiman khusus bagi orang-orang yang datang dari Kerajaan Sumatra atau Pasai.

Dari beberapa peta yang dibuat oleh Belanda di penghujung abad ke-19 dapat diketahui pula bahwa Gampong Jawa adalah sebuah gampong dalam salah satu kesatuan permukiman di luar tiga sagi yang disebut dengan mukim Mesjid Raya (tepi kiri dan tepi kanan Krueng Aceh). Mukim Mesjid Raya, tepi kiri Krueng Aceh, secara umum berbatasan dengan mukim-mukim dalam Sagi 25 Mukim di barat, barat daya dan selatannya, dan juga dengan Mukim Lueng Bata. Sementara sebelah timurnya adalah Krueng Aceh, dan sebelah utaranya adalah Teluk Aceh.

Data-data arkeologis yang telah direkam oleh Mapesa menunjukkan secara signifikan bahwa Mukim Mesjid Raya (tepi kiri Krueng Aceh) merupakan kawasan terpenting dalam sejarah Aceh Darussalam di mana wilayah ini berpusat di dua titik utama, satunya di Kandang, Gampong Pande, dan lainnya di Mesjid Raya dan Daruddunya, Gampong Baroe. Dua titik ini dapat dikenali sebagai titik utama dalam masa sejarah Aceh Darussalam (khususnya pada abad ke-9 & ke-10 H/ ke-15 & ke-16 M) oleh karena telah ditemukannya kubur-kubur para sultan dan keluarga kesultanan Aceh di kedua titik tersebut.

Dari data-data arkeologis yang telah diperoleh Mapesa, Gampong Pande, begitu pula gampong-gampong di sekitarnya yang relatif lebih dekat ke tepi laut (seperti Gampong Jawa, Lampaseh, Peulanggahan) merupakan kawasan yang sejarahnya berusia lebih tua daripada Gampong Baroe (mungkin, oleh sebab itu pula gampong ini telah dikenal sebagai Gampong Baroe semenjak tidak kurang dari 100 tahun yang silam).

Dari sini dapat disimpulkan bahwa Mukim Mesjid Raya tepi kiri Krueng Aceh yang hari ini telah menjadi Kecamatan Kutaraja dan Kecamatan Baiturrahman merupakan kawasan terpenting dari seluruh kawasan peninggalan sejarah Aceh Darussalam di Kota Banda Aceh. Gampong Jawa, dalam hal ini, adalah salah satu gampong pembentuk lansekap sejarah Aceh Darussalam yang tidak dapat dipisahkan atau dikurangi kepentingannya dari Gampong Pande dan Lampaseh Kota di bagian pesisir Banda Aceh.

b. Krueng Aceh

Lokasi TPA, IPTL, IPAL berada di tepi kiri kawasan Muara Krueng Aceh.

Krueng Aceh, mulai hulu sampai muaranya, adalah aliran air utama yang telah mendegupkan kehidupan di Aceh (Aceh Besar dan Banda Aceh) sejak zaman yang sudah sangat lampau. Di kedua tepi sungai yang membelah lembah Aceh ini lahir dan tumbuh kebudayaan dan peradaban yang beridentitas Aceh. Krueng Aceh memiliki makna yang tinggi serta tempat yang terhormat bagi orang Aceh.

Dari sudut pandang geografi dan sejarah, Krueng Aceh merupakan landmark dan sungai paling terkenal di Aceh.

La ville d’Achem est située sur la rivière qui se jette à la mer près de l’extrémité nord-ouest de l’île de Sumatra. Entre l’embouchure de la rivière et la ville, la distance est de deux milles environ. La barre qui s’est accumulée à l’entrée du fleuve n’en permet l’accès qu’à des barques de faible tonnage.

(Kota Achem terletak di sungai yang mengalir ke laut dekat ujung barat laut pulau Sumatera. Antara mulut sungai dan kota, jaraknya sekitar dua mil. Bar yang telah terakumulasi di pintu masuk sungai hanya memungkinkan akses ke kapal kecil)

Demikian catatan yang terdapat dalam Les Anglais et les Hollandais dans les mers polaires et dans la mer des Indes (Inggris dan Belanda di Laut Kutub dan Laut India), 1890.

Sepanjang aliran Krueng Aceh, kawasan muara adalah di antara bagian terpenting dari Krueng Aceh dan memiliki arti khusus, bukan saja dari sisi alamiahnya sebagai muara sungai, tapi juga dari sisi sejarah di mana kawasan muara Krueng Aceh secara persis merupakan pelabuhan Aceh yang dikepalai oleh seorang Syahbandar di masa dulu.

Banda Aceh sebagai sebuah kota yang memiliki visi “terwujudnya Kota Banda Aceh yang gemilang dalam bingkai syari’ah”, dan mempunyai misi untuk “meningkatkan pelaksanaan syariat islam dalam bidang penguatan aqidah, akhlak, ibadah, muamalah dan syiar islam”, maka sudut pandang hukum Islam mengenai pemeliharaan sungai dan daerah tepiannya juga perlu diperhatikan.

Dari sudut pandang hukum Islam (Asy-Syafi’iyyah), pemeliharaan sungai-sungai besar adalah kewajban Sultan (Pemerintah) yang mana belanja pemeliharaannya diambil dari Baitul Mal (dibebankan kepada Keuangan Negara) dikarenakan manfaatnya kembali kepada masyarakat umum. Pemeliharaan tersebut mencakupi pemindahan lumpur dari badan sungai, penggalian, perbaikan kedua tepinya dan lain-lain semisalnya. Sungai, dalam pandangan hukum Islam, juga memiliki apa yang disebut dengan istilah Al-Hara’im, yakni, tempat-tempat yang berdekatan, yang dibutuhkan demi sempurnanya pemanfaatan sesuatu. Distilahkan dengan Hara’im (hal-hal yang diharamkan) oleh karena diharamkan melakukan tindakan apapun yang dapat mengancam tempat-tempat tersebut. Batas wilayah berdekatan dengan sungai yang diharamkan melakukan apapun tindakan yang mengancamnya, dalam fiqh Islam, adalah areal buangan lumpur sungai dan endapannya. (Lihat, As-Suyuthi, Al-Hawiy lil Fatawiy, 2000: Jld. 1, 133).

Dari sudut pandang estetika dan beautifikasi sebuah kota pesisir, kawasan di muara-muara sungai dan pantai dekat muara adalah bagian yang memiliki potensi lansekap dan panorama yang indah. Kawasan pantai dan muara Krueng Aceh kiranya adalah bagian terindah di Kota Banda Aceh, setidaknya oleh karena keletakannya yang relatif di tengah wilayah pesisir Kota Banda Aceh dan menghadap ke laut Teluk Aceh di mana pulau-pulau di depan Banda Aceh dapat terlihat dengan jelas. Dalam cuaca yang cerah, senja kala di kawasan itu dapat menjadi ikon panorama alam yang dapat diandalkan di Kota Banda Aceh.

Potensi sumberdaya alam yang terdapat di kota-kota pesisir dapat memberi manfaat bagi pembangunan kota pesisir, namun untuk itu, kota pesisir perlu ditata berdasarkan fungsi-fungsi tertentu sehingga dapat ditentukan berbagai kegiatan pada ruang yang tepat, sesuai dengan kapasitas dan kesesuaian lahan, sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan di kota pesisir (Lihat, R. Marzuki Irwandi 2015: 2).

2. Pandangan Mapesa menyangkut Penemuan Kompleks Makam Bersejarah dalam Lokasi Proyek IPAL

Pada hakikatnya, Mapesa telah lama menginformasikan kepada masyarakat luas akan pentingnya kawasan muara sungai Krueng Aceh, tepi kiri dan kanannya, dari sisi sejarah dan peninggalannya.

Mapesa telah pula berusaha membentuk publik opini dalam upaya agar TPA di Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, dipindahkan dan direlokasi ke tempat lain berdasarkan berbagai perhitungan, antara lain sebagaimana telah dikemukakan di atas.

Wacana revitalisasi Bandar Aceh Darussalam sebagai upaya pengembalian wajah kesejarahan Kota Banda Aceh pun telah lama dilontarkan dan sampai kini masih dipikirkan.

  1. Maka, menyangkut penemuan situs makam bersejarah di lokasi proyek IPAL, Mapesa menilai:
    1. Makam-makam dengan penandanya berupa batu-batu nisan Aceh itu dapat diyakini setidaknya berasal dari sekitar abad ke-18/ke-19, dan merupakan benda cagar budaya yang wajib dilindungi dan dilestarikan menurut Undang-undng yang berlaku di Republik Indonesia.
    2. Sepanjang pengamatan Mapesa menyangkut penemuan makam-makam bersejarah di Aceh (bahkan di luar Aceh untuk kasus makam-makam berbatu nisan Aceh), tidak ada satu pun kompleks makam bersejarah yang tidak memberikan petunjuk bahwa di sekitarnya akan ditemukan beberapa kompleks makam lainnya. Semua kompleks makam itu kemudian secara signifikan memberitakan akan adanya sebuah permukiman kuno yang akan berasosiasi dengan permukiman-permukiman lain di sekitarnya, biasanya dihubungkan oleh aliran air baik sungai maupun alur, atas oleh jalur-jalur yang akan tampak lewat pengamatan seksama terhadap topografi bentang lahan (lansekap).
    3. Temuan kompleks makam dalam lokasi Proyek IPAl merupakan sebuah temuan yang penting setidaknya dari sisi arkeologis, geomorfologis dan sejarah. Penemuan ini akan menjelaskan tentang perubahan-perubahan geomorlogis yang terjadi di kawasan muara Krueng Aceh dan pesisir Kota Banda Aceh secara umum, memberikan informasi-informasi tentang bagaimana benda-benda bersejarah tersebut terdeposisi di kedalaman tersebut sehingga dapat diperkirakan apa yang mungkin akan ditemukan pada waktu mendatang.
    4. Lain itu, dari sisi sejarah, dokumen sejarah yang dimiliki sampai saat sebelum penemuan itu tidak menunjukkan tentang adanya permukiman bersejarah dengan makam-makamnya di sebelah utara kanal Arosan (Arusan) sejak tidak kurang dari 100 tahun yang lalu. Penemuan di lokasi Proyek IPAL memberi keputusan yang konkrit bahwa di bagian itu terdapat permukiman dan makam-makam. Dengan demikian, pemindahan batu-batu nisan dari kompleks makam tersebut ke tempat lain sebelum dilakukan penelitian oleh pihak yang berwenang adalah tindakan yang kiranya telah melanggar Undang-undang yang berlaku.
    5. Secara budaya, kompleks makam tersebut memiliki arti penting bagi masyarakat Aceh.

3. Pandangan Mapesa menyangkut Dampak Buruk TPA, IPTL, IPAL di Lokasi Tersebut

TPA, IPTL, IPAL sekalipun memiliki manfaat besar bagi masyarakat secara umum, namun penempatan lokasi untuk itu semua sebagaimana yang terjadi hari ini di Banda Aceh adalah sesuatu yang akan memberikan berbagai dampak buruk, antara lain:

  1. Mengakibatkan rusaknya lansekap peninggalan sejarah di kawasan muara Krueng Aceh dan bahkan akan tambah membenamkan dan menghilangkan bukti-bukti permukiman kuno dari zaman Aceh Darussalam. Dan dalam hal ini perlu dicatat bahwa kerusakan dan kehilangan peninggalan sejarah adalah sesuatu yang tidak akan pernah dapat digantikan untuk selamanya.
  2. Mengakibatkan kawasan serta gampong-gampong yang memiliki potensi kesejarahan dan alam sebagaimana telah diuraikan di atas sebagai kawasan kumuh dan lingkungan pinggiran (kampong belakang) dari Kota Banda Aceh.
  3. Secara pasti memberi kesan buruk bagi Krueng Aceh dan kawasan muaranya yang memiliki nilai sejarah yang penting dan sumber kebanggaan masyarakat Aceh.
  4. Ikut merusak lingkungan muara sungai dan pantai yang diharamkan dalam Syari’at Islam, sekaligus memeberikan contoh buruk dalam memperlakukan lingkungan sungai dan pantai bagi masyarakat, terutama generasi masa muda.
  5. Hilangnya kesempatan untuk memanfaatkan kawasan itu sebagai salah satu destinasi pariwisata edukasi dan sejarah yang penting di Kota Banda Aceh.

C. Kesimpulan

Dari berbagai pandangan yang telah dikemukakan di atas, Mapesa berkesimpulan bahwa:

Penempatan Tempat Pembuangan Akhir (TPA), Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) adalah sebuah kebijakan yang ahistoris serta berseberangan dengan nilai-nilai yang dianjurkan dalam Syari’at Islam menyangkut pemeliharaan sungai dan areal tepi sungai (harim an-nahr); bertentangan dengan maksud dan tujuan Undang-undang pelestarian cagar budaya yang berlaku di Republik Indonesia; tidak mengindahkan hal-hal yang memiliki nilai penting dalam sejarah dan budaya masyarakat Aceh; mengabaikan nilai-nilai keindahan serta tradisi “meusaneut” dan “beu-muslihat” dalam etika kehidupan masyarakat Aceh yang Islami.

Baca: Pemerintah Lanjutkan Proyek IPAL di Kawasan Situs Gampong Pande

D. Rekomendasi dan Saran

Kesimpulan tersebut di atas mendorong Mapesa untuk merekomendasikan kepada Pemerintah Kota Banda Aceh untuk:

  1. Segera menghentikan pelaksanaan Proyek IPAl.
  2. Segera memindahkan dan merelokasi TPA, IPTL, IPAL ke tempat lain dengan terlebih dahulu melakukan kajian-kajian yang saksama dalam berbagai aspek yang perlu diperhitungkan sehingga kesalahan semisal ini tidak terulang lagi di masa mendatang.
  3. Segera menormalisasi lokasi tersebut sedapat mungkin kepada keadaan semula.
  4. Sekaligus menyarankan agar:
    * Segera merancang penataan ulang wilayah Kecamatan Kutaraja secara umum, dan gampong-gampong di kawasan pesisirnya berbasis pada konsep kawasan peninggalan sejarah Aceh Darussalam demi peningkatan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut.
    * Segera menjadikan kawasan itu sebagai pusat kawasan pengembangan ilmu pengetahuan sejarah yang untuk selanjutnya menjadi destinasi wisata sejarah Aceh Darussalam yang dilengkapi dengan berbagai sarana yang dibutuhkan.
    * Segera melakukan berbagai proses yang diperlukan dalam upaya menjadikan kawasan tersebut sebagai salah satu kawasan perlindungan warisan sejarah umat manusia oleh lembaga internasional.[]
spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS