Oleh: De Jong Atjeher
Aceh yang hampir phak luyak membutuhkan suara lantang pok pok drien sebagai pengawas pembangunan. Sudah saatnya intelektual Aceh bersuara, tidak melulu lalai dengan boh drien tupe kap.
Dulu ketika durian mulai berbunga, sampai selesai panen, kita sering mendengar suara pok pok. Alat ini digunakan penunggu atau pemilik kebun durian untuk mengusir tupai atau monyet. Dua binatang ini menjadi hama utama durian dari berbunga sampai berbuah.
Pok pok dibuat dari seruas bambu. Ukuran panjangnya kira kira 1 meter atau lebih. Ruas itu dibelah dua dengan rapi. Kemudian diberi tali di pangkal atasnya. Dan diberi tali di salah satu bilahnya. Pok pok dinaikkan ke atas pohon. Digantung di sana. Tali panjang di salah satu bilah di tarik sampai ke rangkang. Tali inilah yang secara berkala ditarik, lalu dilepas, suara beradu kedua bilah bambu ini lumayan besar. Ini akan menakuti hama, sehingga selamat durian sampai panen.
Dalam kontek Aceh hari ini. Kita butuh pok pok drien. Kita tahu sejak tsunami dan perdamaian, aceh berlimpah anggaran. Berlimpah program. Nyatanya sampai dana Otonomi Khusus mau habis. Impian dan janji janji kesejahteraan tak jua sesuai harapan.
Banyak korban konflik dan warga miskin belum juga terberdayakan. Mereka sampai kini legee glang lam uroe tarèk. Para penguasa masih asyik dengan retorika bohong. Memoles citra melalui mulut dan ekpose yang nyatanya tak ubah bagai cilet meulisan bak rueng.
Maka di sinilah dibutuhkan banyak pok pok drien. Mereka yang bersedia menyoraki penguasa. Meneriaki ketimpangan dalam pelaksanaan menyelenggarakan urusan publik. Menunjukkan kebohongan mereka yang selalu mengatasnamakan rakyat.
Kenyataan timpangnya penguasa, harus menjadi penarik tali. Sehingga pok pok bisa bersuara. Jika selama ini medsos saja yang menyoraki mereka. Maka ke depan kita harapkan para intelektuallah yang lebih sering bersuara. Baik mereka yang dari kampus, maupun yang dari dayah. Mereka yang dari kampus bersekolah tinggiitinggi dengan gelar yang mentereng, tidak lagi cukup mengajar atau mencari SK, menjadi tenaga ahli atau penasehat penguasa, sekedar dapat sedikit honor dan SK mentereng.
Mereka harus keluarkan segala ilmu demi memperbaiki keadaan Aceh. Yang sudah phak luyak. Mereka harus malu pada ilmunya yang tidak memberi manfaat bagi publik. Sejarah membuktikan intelektuallah garda terdepan kemajuan. Bahkan revolusi selalu dimulai oleh kaum ini. Di Aceh saat ini bertabur kampus. Ribuan intelektual bahkan lulusan kampus ternama. Di mana mereka sekarang?
Begitu juga kaum Dayah. Para ulama yang jadi panutan ummat, tidak lagi sekedar menjadi tukang stempel bagi kekuasaan, dimanfaatkan untuk sekedar faktor electoral, lalu dibaikan setelah mereka berkuasa. Dalam kontek Aceh. Kaum agamawan adalah pemegang legelitas perjuangan paling militan di masa lalu. Belanda mereka buat kocir kacir. Bahkan ketika raja ditaklukkan, ketika sebagian kaum bangsawan menyerah dan menerima jabatan sebagai uleebalang administratur Belanda.
Jika dulu ruang pok pok drien yang sempit, kini media yang bisa digunakan melimpah. Medsos yang menghegemoni ruang maya, mimbar mimbar yang begitu bebas, sangat mungkin digunakan untuk meluruskan dan membetuli keadaan, agar mereka yang berkuasa, kembali ke khittah sebagai pelayan rakyat. Tidak membiarkan para penguasa, mengambil hak hak rakyat, kemudian dibagi sedikit untuk membungkam kaum ini.
Jadi kaum terpelajar, baik di dayah, kampus atau di mana saja, harus bersedia menjadi poh pok drien mengusir hama anggaran, agar durian pembangunan Aceh bisa dinikmati oleh rakyat secara ranum. Jangan sampai sikula panyang, beuet meuribee kita, tapi lale ngon boh drien tupe kap.[]