BANDA ACEH | ACEH INFO – Muara Krueng Aceh memegang peranan besar dalam sejarah peradaban Islam di Asia Tenggara. Namun sayangnya, kawasan itu saat ini dinodai dengan berbagai limbah manusia. Sekonyong-konyong, pemerintah pun hendak melanjutkan proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di lokasi tersebut. Padahal sebelumnya, infrastruktur berupa Instalasi Pengelolaan Lumpur Tinja (IPLT) dan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah saja sudah menuai masalah.
Berbagai instalasi yang berkaitan dengan kotoran manusia tersebut dibangun pasca Aceh dihumbalang tsunami. Dana pembangunan pun bersumber dari donor luar negeri yang dibungkus dalam paket rekonstruksi.
Hingga saat ini, tiga instalasi tersebut terus menjadi sorotan. Teranyar rencana pemerintah untuk melanjutkan proyek tertunda IPAL yang anggarannya mencapai Rp100 miliar. Proyek tersebut sebelumnya telah direkomendasi untuk dihentikan sementara.
Permintaan penghentian proyek IPAL tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya di kawasan yang saat ini sudah bersalin rupa dengan gunung sampah, IPLT dan belakangan IPAL tersebut diduga menyembunyikan struktur kuno di bawahnya. Struktur kuno yang dimaksud itu adalah sebuah benteng tua era kerajaan Aceh.
Baca: Pemerintah Lanjutkan Proyek IPAL di Kawasan Situs Gampong Pande
Penghentian proyek IPAL belakangan menjadi lebih tegas setelah adanya penemuan beberapa pasang batu nisan dari era kerajaan Aceh, di lokasi. Keberadaan nisan ini turut memperkuat teori bahwa di sekitar kawasan terdapat pemukiman tua yang seharusnya dieskavasi untuk kepentingan ilmu pengetahuan anak bangsa.
Dugaan keberadaan benteng tua dari masa kerajaan Aceh ini kemudian diperkuat dengan peta kuno Portugis dalam beberapa manuskrip yang diterbitkan pada tahun 1646. Tentang adanya benteng tua itu belakangan diungkap oleh Irfan M Nur, salah seorang pegiat di Aceh Darussalam Academy.
“Buku deskripsi benteng dan kota di India Timur, dibuat pada 1635 dan diterbitkan pada 1646, adalah manuskrip antik diyakini sebagai karya António Bocarro dengan pelukis ilustrasi oleh Pedro Barreto de Resende,” ungkap Irfan M Nur yang juga dikenal aktif sebagai tim peneliti di Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Rabu, 9 Februari 2022 dinihari.
Baca: Proyek IPAL Dilanjutkan 2022, Peusaba: Terkutuk!
Di dalam peta itu terlihat dua buah benteng mengapit kawasan muara Krueng Aceh. Berdasarkan peta itu, terdapat satu benteng tua yang kawasannya berada tepat di lokasi TPA, IPLT dan IPAL sekarang. Sementara satu benteng lain di mulut Krueng Aceh itu berada tepat di kawasan TPI Lampulo saat ini.
Peta tentang keberadaan dua unit benteng Aceh itu, menurut Irfan, diperoleh dalam buku versi digital yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Portugal (Biblioteca Nacional de Portugal) berjudul “Descrições das fortalezas da Índia Oriental”.
Selain di buku tersebut, peta yang sama juga dapat ditemukan dalam versi manuskrip lainnya termasuk “Livro do Estado da India Oriental” (c. 1636) oleh Pedro Barreto de Resende sendiri, yang saat ini dapat ditemukan di Perpustakaan Nasional Prancis di Paris. Naskah terakhir tertanggal 1646 dan disimpan di British Library, London.
“Descrições da ilha do Achem (Deskripsi pulau Aceh) merupakan satu bagian dalam manuskrip itu pada halaman 785 dan petanya pada halaman 788 diberi judul Demonstração Da Fortaleza De Achem (Demonstrasi Benteng Aceh). Saya menggunakan versi digital dari manuskrip koleksi Perpustakaan Nasional Portugis untuk mencoba mencari tahu apakah pernah ada dermaga di mana kapal dagang dapat berlabuh sebagai penghubung jalur darat atau untuk keperluan berkomunikasi dengan penanggung jawab pelabuhan (Syahbandar) di daratan Bandar Aceh Darussalam, diantara keperluannya yaitu administrasi terkait pembayaran ‘usyur (sepersepuluh; bea cukai) muatan sebuah kapal,” ungkap Irfan yang juga dikenal sebagai seorang kartografer karena ketekunannya mencari dan mengumpulkan peta-peta kuno, serta membandingkannya dengan peta saat ini.
Baca: Proyek IPAL Dilanjutkan, Mizuar: Sikap Mapesa Belum Berubah
Dari peta itu diketahui, ada dua aliran anak sungai masuk ke Krueng Aceh di sebelah barat, seperti terlihat pada peta. Sesuai dengan tahun pembuatan peta pada tahun 1635 gambarannya sangat cocok untuk zaman itu, Istana sultan yang juga dikenal dengan Istana Daruddunia ini terletak di sebelah selatan Masjid Raya.
“Jadi, untuk saat ini, saya akan mengatakan kedua anak sungai itu adalah Krueng Daroy dekat istana Sultan dan Krueng Arusan terletak di dekat muara Krueng Aceh,” kata Irfan yang akrab disapa Cek Pan tersebut.
Baca: MSI: Usulan Kawasan Cagar Budaya Muara Krueng Aceh Ibarat Lingkaran Setan
“Saya mencoba menerjemahkan beberapa informasi di peta yang ditulis dalam bahasa Portugis. Dalam hal penempatan dermaga, saya fokus pada tulisan “Ribeira”, yang dilambangkan dengan simbol tiga garis berkelok-kelok ditempatkan di kiri dan kanan di dekat muara sungai Aceh. Lokasi titik central kawasan terletak di muara Krueng Arusan dekat TPA (Tempat Pemrosesan Akhir Sampah), IPLT (Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja), dan IPAL (Instalasi pengolahan air limbah), Kota Banda Aceh,” tambahnya lagi.
Dari hasil pencocokan peta kuno yang digambar oleh Portugis tersebut, maka Irfan M Nur berkesimpulan bahwa lokasi itu perlu dilestarikan. “Tidak boleh diganggu dengan alat berat sampai kawasan itu telah diteliti secara menyeluruh untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Studi tersebut dapat menunjukkan interaksi internasional antar bangsa-bangsa di seluruh dunia,” pungkas Irfan M Nur dalam diskusi tersebut.[]