Teuku Umar, Teungku Muhammad Amin (Mat Amin) dan Teungku Chik Kutakarang adalah tiga tokoh legendaris dalam perang Aceh. Ketiganya pernah menampakkan sikap permusuhan, politik yang membuat upaya Teuku Umar mengelabui Belanda berjalan dengan baik.
E Gobee dan C Adriaanse dalam buku Nasihat-Nasihat C Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, seri khusus jilid II, Jakarta, 1990, Indonesian Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) menulis bahwa Snouck Hurgronje dalam nasehatnya mengungkapkan antara Teungku Mat Amin dan Teungku Chik Kutakarang beda pendapat soal dana perang (uang sabil) dan penduduk di wilayah kekuasaan Belanda. Teungku Mat Amin dianggap terlalu keras dalam menarik uang sabil dari penduduk, sementara Teungku Chik Kutakarang sebaliknya.
Mat Amin juga menganggap orang-orang Aceh yang sudah hidup dan bergaul dengan Belanda di wilayah kekuasaan Belanda dan menolak ikut berperang, merupakan orang-orang yang murtad dan harus diislamkan kembali dengan kekerasan. Sementara Teungku Chik Kutakarang menilai para penduduk di wilayah kekuasaan Belanda bisa dimanfaatkan untuk menyebarkan mata-mata.
Baca Juga: Perang Surien dan Kisah Tragis Letnan van Der Zee
Perbedaan sikap Teungku Mat Amin dengan Teungku Chik Kutakarang ini kemudian dimanfaatkan oleh Teuku Umar yang saat itu sudah “memihak” kepada Belanda. Perbedaan sikap dua ulama ini digambarkan sebagai permusuhan.
Di masa Teungku Chik Di Tiro ayahnya Teungku Mat Amin masih hidup, Teungku Chik Kutakarang tidak bisa berbuat banyak, Teungku Chik Di Tiro juga sangat tegas dalam urusan uang sabil, malah penduduk dari daerah Mukim XXV daerahnya Teungku Chik Kutakarang ikut menyumbang, ia tidak bisa berbuat banyak karena kalah pengaruh dengan Teungku Chik Di Tiro.
Setelah Teungku Chik Di Tiro syahid dan perannya digantikan oleh putranya Teungku Mat Amin, baru Teungku Chik Kutakarang menampakkan sikapnya. Perbedaan sikap Teungku Mat Amin dengan Teungku Chik Kutakarang itu kemudian dibesar-besarkan oleh Teuku Umar dalam laporannya kepada Pemerintah Hindia Belanda di Aceh.
Untuk meyakinkan pemerintah Belanda, Teuku Umar juga melarang penduduk dan uleebalang menyerahkan uang sabil kepada kelompok Teungku Mat Amin. Malah Teuku Umar dan kelompoknya yang didukung Belanda menghalau kelompok Teungku Mat Amin untuk masuk ke wilayah Mukim VI.
Baca Juga:Pembentukan Korps Marsose dan Upaya Penaklukkan Aceh
Hal yang sama juga dilakukan Teuku Umur terhadap kelompok Teungku Chik Kutakarang, ketika pasukan Belanda akan memperluas kekuasaan dan harus melewati wilayah Teungku Chik Kutakarang, Teuku Umar diutus untuk melakukan pembersihan, memerangi Teungku Chik Kutakarang dan kelompoknya. Teuku Umar dan pasukannya benar-benar mampu membuah wilayah itu bersih dari pejuang, tapi Belanda tidak pernah menanyakan bagaimana Teuku Umar melakukannya. Belanda benar-benar terpengaruh dengan politik permusuhan Teuku Umar tersebut. Tentang itu Snouck Hurgronje menulis:
“Setiap kali, setelah ia berbuat begitu atau merugikannya dengan cara yang lebih licik, suruhan-suruhannya yang datang ke kantor pemerintah di Kutaraja menegaskan bagaimana Teuku Umar, meski belum juga diampuni, sekarang pun, tanpa diminta, membantu Kompeni dan melawan musuhnya. Mereka cukup bijaksana untuk benar-benar menyembunyikan berita bahwa mereka dan anak buahnya sebaliknya membantu musuh utama Kompeni, Teungku Chik Kutakarang yang menetap di daerah Mukim IX, dengan uang dan anak buah…Teuku Umar menggunakan muslihat yang biasanya dipakai oleh semua orang Aceh bila mereka secara kebetulan berselisih…Tentu saja tidak pernah timbul perang atau sengketa antar ulama mengenai asas mana pun… ajaran yang sama-sama mereka anut tidak membiarkan keraguan sedikitpun…”
Baca Juga: Kematian Tragis Tentara Marsose Belanda di Aceh
Pemerintah Belanda tidak pernah menanyakan mengapa ketika Teuku Umar membebaskan suatu wilayah, jumlah korbannya hampir tidak ada sama sekali. Baik ketika berhadapan dengan kelompok Teungku Mat Amin maupun dengan kelompok Teungku Chik Kutakarang.
Kenyataannya menurut Snouck Hurgronje, Teuku Umar bukan memerangi para pejuang Aceh itu, tapi mendesak mereka untuk mundur sesaat. Teuku Umar dan pengikutnya lihai membuat sandiwara perang untuk menarik simpati Belanda, sehingga ia memperoleh berbagai fasilitas, baik dana maupun persenjataan, yang dengan itu semua ia kemudian balik memerangi pemerintah Belanda.
Politik Teuku Umar ini sejalan dengan konsep Teungku Chik Kutakarang, yang menyatakan bahwa Belanda hanya bisa diperangi dengan senjata yang sama dengan yang mereka gunakan. Teuku Umar yang kemudian berhasil kembali membelot dan membawa lari senjata beserta amunisi milik Belanda mungkin merupakan bagian dari politik dan sandiwara tersebut.
Baca Juga: 17 Juli 1880 Belanda Kembali Menyerang Benteng Kuta Glee Batee Iliek
Untuk meyakinkan Belanda, pasukan Teuku Umar malah membuat scenario menyerang tempat Teungku Chik Kutakarang, karena pemerintah Kolonial Belanda akan melewati wilayah tersebut. Snouck Hurgronje mengungkapkan Teuku Umar sudah lebih dulu meminta Teungku Chik Kutakarang untuk pergi, kemudian ia mengambil kampak dan membelah pintu gerbang, lalu melepaskan tembakan sekitar 30 kali ke kediaman Teungku Chik Kutakarang.
Ketika pasukan Belanda tiba dan melihat bekas tembakan, serta wilayah itu telah dikuasai oleh Teuku Umar, Belanda semakin yakin tentang kemampuan Teuku Umar membantu Kompeni. Dan yang mengesankan adalah, orang-orang sekitar Teuku Umar mampu memainkan sandiwara tersebut dengan apik. Sejarah mencatat Belanda pada akhirnya masuk dalam perangkap Tipu Aceh ala Teuku Umar.[]