Di Kampung Surien dan Blang Oi banyak kubu-kubu pertahanan kecil milik pejuang Aceh. Jenderal Pell sangat ingin merebut kedua kampung tersebut. Pasukan Kompeni Belanda saat itu sudah membangun benteng di Pantee Ceureumen, Uleelheu.
Pada 26 Juli 1874, pukul empat pagi, satu kolone serdadu Belanda yang dipimpin Mayor Gross keluar dari benteng untuk patroli. Mayor Gross membawa pasukan setengah dari batalyon tiga, dua meriam, dan orang minoeran. Para serdadu kompeni Belanda ini akan patroli ke Blang Oi. Satu pasukan lagi dari batalyon dua yang dipimpin Mayor Phaff.
Setelah dua jam patroli, pukul enam pagi pasukan Mayor Gross sampai di pinggiran kampung Blang Oi, pasukan ini kemudin dibagi dua, satu bagian untuk penyerangan, satu bagian lagi sebagai pasukan reserp, kekuatannya satu kompi setengah. Pasukan reserp dipimpin Mayor Phaff, sementara pasukan penyerangan dipimpin Mayor Gross. Merekan akan menyerang Gampong Surien sebagaimana perintah Jendral Pell.
Baca Juga: Pembentukan Korps Marsose dan Upaya Penaklukkan Aceh
Pukul setengah tujuh pasukan Belanda sudah mulai menembakkan meriah, pukul tujuh terompet ditiup sebagai tanda perintah kepada pasukan voorswaarts dan para serdadu kolone untuk maju. Pasukan voorhoede diperkuat dua meriam. Sementara pasukan voortroep diperintah oleh Letnan Satu Van der Zee, dengan satu onderopsir (opsir bawahan) Belanda dan aprikan, delapan serdadu Belanda dan delapan serdadu aprikan, serta minoeran.
Namun untuk masuk ke Gampong Surien tidak mudah, jalan sempit dan banyak pagar. Pagar-pagar itu harus dipotong dulu agar pasukan Belanda bisa lewat. Di antara kampung itu juga ada hamparan sawah. Pasukan voorhoede untuk maju melalui sawah. Namun ketika berada di tengah sawah, mereka ditembaki oleh kelompok pejuang Aceh.
Melihat pasukan itu diserang, pasukan Belanda dari kolone lain kemudian menembakkan meriam ke pinggir kampung, melindungi pasukan voorhoede bisa sampai ke pinggir kampung. Sampai di sana pasukan kompeni itu juga tak bisa masuk karena rapatnya pagar, setelah satu pagar dilubangi, mereka masuk dan kembali menemukan pagar yang lebih tinggi. Pagar itu juga kembali coba dilubangi, tapi mereka kembali ditembaki orang-orang Aceh.
Baca Juga: Nasib Tragis Para Kurir Jenderal Van Swieten Dalam Perang Aceh
Setelah melewati pagar kedua itu, pasukan kompeni Belanda terus masuk sampai kemudian menjumpai sebuah hamparan tanah lapang, di seberang lapangan itu terdapat kubu pertahanan pejuang Aceh, dari sanalah mereka terus ditembaki.
Letnan Van der Zee dan pasukannya mencoba menyerang kubu pertahanan orang Aceh itu dari belakang, mereka akan memutar. Tapi itu juga susah, karena kubu pertahanan itu dibatasi dengan pagar yang tinggi. Letnan Van der Zee mencoba merayap sediri, hingga kemudian ia berhasil membuat lubang pagar dan masuk ke dalam. Tapi ketika ia menoleh ke belakang tak ada satu pun serdadu kompeni Belanda itu yang mengikutinya. Semua serdadu Belanda masih di depan pagar itu.
Letnan Van der Zee mencoba naik ke atas kubu pertahanan tersebut, pasukannya meminta ia untuk turun, tapi tak digubrisnya. Dia terus naik dengan pedang di tangan kanan dan pistol di tangan kirinya.
Baca Juga: Kematian Tragis Tentara Marsose Belanda di Aceh
Pasukan Belanda lainnya yang dipimpin Kapten Perelaer juga sudah sampai di sana, ia juga meminta Letnan Van der Zee untuk turun, tapi sudah terlambat. Belum sampai ke atas, leher Letnan Van der Zee sudah dibacok dengan kelewang oleh pejuang Aceh, tangan kiri, paha dan dadanya ditembak, pistol ditangannya jatuh, dadanya juga ditusuk dengan tombak, tubuh perwira Belanda itu jatuh, sementara topi dan pistolnya tertinggal di dalam benteng.
Melihat tubuh Letnan Van der Zee jatuh beberapa pejuang Aceh melompat ke bawah, mereka menyerang pasukan kompeni Belanda yang sudah mulai panik. Di tengah kepanikan itu, beberapa serdadu Belanda menarik tubuh Letnan Van der Zee dan membawanya lari.
Kapten Perelaer kemudian memerintahan peniup terompet untuk meniup terompet, memberi kode mundur. Serdadu-serdadu kompeni Belanda itu mundur dan menyelamatkan diri, bersembunyi dari tembakan pejuang Aceh.
Ketika perang sudah agak reda, terompet kembali ditiup, kali ini pasukan kompeni Belanda diperintahkan untuk kembali menyerang. Mereka kembali mengepung benteng, orang-orang Aceh yang masih bertahan di benteng itu diminta untuk menyerah, tapi pasukan kompeni Belanda itu malah diolok-olok.
Baca Juga: 17 Juli 1880 Belanda Kembali Menyerang Benteng Kuta Glee Batee Iliek
Perang kembali pecah, pasukan Belanda semakin banyak yang datang, beteng pejuang Aceh itu ditembak dengan meriam sehingga beberapa bagian mulai terbuka, dan serdadu-serdadu Belanda masuk, kini di dalam benteng bukan lagi tembak-menembak yang terjadi tapi perang dengan pedang dan kelewang, saling bacok dan saling pukul. Banyak korban yang jatuh dari kedua pihak, sampai kemudian benteng itu berhasil direbut Belanda.
Letnan Van der Zee yang mengalami banyak luka dalam perang itu, ternyata berhasil diselamatkan oleh pasukannya, tapi ia tak lagi bisa dinas militer. Ia dikirim ke Belanda untuk diobati. Trauma dari perang Aceh tetap menghantuinya sampai akhir hajat. Kisahnya bisa dibaca dalam buku Tjerita-Tjerita Dari Atjeh yang ditulis oleh perwira Belanda yang terlibat dalam perang Aceh, Letnan Schoemaker. Buku ini diterbitkan pada tahun 1891 di Batavia oleh penerbit G Kolff & Co.[]