BANDA ACEH | ACEH INFO – Penundaan Musyawarah Daerah (Musda) X dinilai sebagai perbuatan melawan hukum (onrechmatige daad) karena melabrak sejumlah aturan, bahkan melanggar undang-undang dan AD/ART Gerakan Pramuka itu sendiri.
Hal tersebut diungapkan pengacara senior Aceh, Yahya Alinsa menanggapi polemik penundaan Musda X Pramuka Aceh yang santer diberitakan di beberapa media. Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Bustami Hamzah selaku Ketua Majelis Pembimbing Daerah (Ka Mabida) Gerakan Pramuka Kwartir Daerah (Kwarda) Aceh diharapkan bersikap bijak terkait hal tersebut.
Yahya Alinsa yang juga Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advocat Indonesia (Peradi) Rumah Bersama Advocat (RBA) Banda Aceh ini juga menyarankan agar Pengurus Pramuka Kwarda Aceh melanjutkan saja tahapan Musda sesuai perintah AD/ART dan undang-undang.
“Seharusnya Musda itu dilanjutkan saja, apa lagi saya dengar sudah ada dua nama bakal calon, jangan sampai ini berlarut-larut dan menimbulkan konsekwensi hukum lainnya, termasuk soal penggunaan anggaran,” ungkap Yahya Alinsa.
Baca Juga: Pj Gubernur Aceh Lakukan Penandatanganan PKS Penyelanggaraan PON XXI di Kemenpora
Yahya Alinsa menambahkan, jika Musda X Pramuka Aceh tetap ditunda, maka berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 12 tentang Gerakan Pramuka, dan menyalahi Keputusan Musyawarah Nasional (Munas) Gerakan Pramuka XII tahun 2023 Nomor 07/Munas/2023 tentang AD/ART Gerakan Pramuka, serta menabrak Keputusan Kwartir Nasional Gerakan Pramuka Nomor 222 tahun 2007 tentang Petunjuk Penyelenggaraan Organisasi dan Tata Kerja Kwartil Daerah Gerakan Pramuka.
“Itu merupakan norma hukum postif yang mengikat bagi pengurus organisasi gerakan pramuka, termasuk bagi pengurus pramuka Kwarda Aceh, jadi ketiga aturan itu tidak boleh dikesampingkan dalam menjalankan roda organisasi kepramukaan di Aceh,” jelas Yahya Alinsa.
Selain itu kata Yahya Alinsa, sesuai dengan pasal 30 ayat 4 dan 6 Undang-undang Gerakan Pramuka, Musda selain sebagai forum pertanggungjawaban organisasi, juga merupakan wadah pemilihan dan penetapan kepengurusan serta rencana kerja organisasi.
“Penundaan Musda yang tidak berdasarkan norma hukum bisa dikatakan sebagai bentuk kesewenang-wenangan dan arogansi dalam menjalankan organisasi, itu merupakan perbuatan melawan hukum,” tambah Yahya Alinsa.
Baca Juga: Kementerian ATR BPN dan Pemerintah Aceh Percepat Penyediaan Lahan Untuk Mantan Kombatan GAM
Jika pun Musda tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, maka kata Yahya Alinsa, tetap harus kembali pada AD/ART Gerakan Pramuka, yang dalam Pasal 64 ayat (10) huruf b dan e Anggaran Rumah Tangga (Keputusan Munas Gerakan Pramuka XII Tahun 2023 Nomor 07/Munas/2023) mengatur apabila musyawarah daerah tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, maka 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa bakti kepengurusan.
Kemudian Kwartir Nasional berkoordinasi dengan Ketua Majelis Pembimbing Daerah untuk segera membentuk caretaker kwartir daerah. Selanjutnya paling lambat dalam waktu 3 (tiga) bulan, caretaker kwartir daerah yang dibentuk harus melaksanakan musyawarah daerah dan menjalankan tugas rutin kwarda.
Karena itu pula Yahya Alinsa menilai penundaan Musda dengan pertimbangan pelaksanaan PON XII di Aceh serta pemilihan kepada daerah serentak (Pilkada) bukanlah alasan yang tepat, apa lagi sebelumnya sudah ditetapkan bahwa Musda Pramuka Aceh diagendakan pada 19 hingga 22 Juli 2024. Penundaan Musda tersebut melanggar pasal 119 ayat (1) dan ayat (3) anggaran rumah tangga yang merupakan Keputusan Munas Gerakan Pramuka XII tahun 2023 Nomor 7/Munas/2023.
“SK Kwarnas Gerakan Pramuka Nomor 083 Tahun 2024 tertanggal 12 Juni 2024 yang pada pokoknya memberikan perpanjangan waktu kepada Kwarda Aceh dalam melaksanakan Musda sampai dengan dilantiknya Gubernur Provinsi Aceh hasil Pilkada dan memperpanjang masa bakti kepengurusan Kwarda Aceh masa bakti 2018-2023 sampai dengan terbentuknya kepengurusan hasil musyawarah daerah adalah suatu keputusan (beschikking) yang mengandung cacat yuridis karena proses penerbitannya bertentangan dengan UU Gerakan Pramuka, AD/ART Gerakan Pramuka juncto Keputusan Munas Gerakan Pramuka,” nilai Yahya Alinsa.
Baca Juga: Bank Aceh Raih Penghargaan Kampanye Pariwara Antikorupsi dari KPK
Masih menurut Yahya Alinsa, jikapun Musda tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, maka Pj Gubernur Aceh Bustami Hamzah selaku Ka Mabida berwewenang untuk membentuk caretaker Kwarda Aceh dan berkoordinasi dengan Kwarnas, kemudian mengusulkan lima orang anggota carateker dari Kwarda Aceh untuk ditetapkan salah satunya sebagai caretaker.
“Lebih jauh lagi Pj Gubernur Aceh selaku Ka Mabida bisa membentuk tim untuk melakukan investigasi dan memberikan rekomendasi kepada Dewan Kehormatan Gerakan Pramuka, agar anggota Gerakan Pramuka yang terlibat dalam upaya menunda pelaksanaan Musda secara melawan hukum diperiksa, guna menilai sikap dan perilaku yang melanggar Kode Kehormatan Pramuka atau merugikan nama baik Gerakan Pramuka,” pungkas Yahya Alinsa.[]