24.9 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Pengakuan Presiden Terkait Pelanggaran HAM Berat Dinilai Hanya Gula-gula

BANDA ACEH | ACEH INFO – Pengakuan Presiden RI Joko Widodo terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu dinilai hanya retorika belaka. Pernyataan yang berangkat dari rekomendasi Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu PPHAM tersebut pun dikhawatirkan hanya sebagai gula-gula—yang menempatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat hanya mendorong pada mekanisme non-yudisial.

Demikian catatan yang disampaikan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menyikapi merespons Pidato Presiden Joko Widodo yang disampaikan pada Rabu, 11 Januari 2023 di Istana Negara perihal pengakuan dan penyesalan terhadap kasus pelanggaran HAM.

“Meskipun banyak pihak menganggap pernyataan ini sebagai sebuah langkah maju, kami memandang bahwa pengakuan dan penyesalan yang disampaikan Presiden Joko Widodo tentu tidak ada artinya jika tidak diikuti dengan langkah konkret pertanggungjawaban hukum dan akuntabilitas Negara dalam menyelesaikan kasus Pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti.

Pada dasarnya, kata Fatia, rekomendasi perihal pengakuan atas adanya kejahatan kemanusiaan bukanlah hal baru. Sejak tahun 1999, Komnas HAM sudah menyampaikan rekomendasi serupa kepada pemangku jabatan Presiden saat itu, bahkan tidak hanya sekedar pengakuan melainkan permintaan maaf, mengingat pelanggaran HAM berat adalah akibat penyalahgunaan kekuasaan badan/pejabat pemerintahan.

“Tentu saja pengakuan dan permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM berat masa lalu tidak dapat berdiri sendiri. Pengakuan dan permintaan maaf harus ditindaklanjuti dengan rangkaian tindakan untuk memberikan hak-hak korban secara keseluruhan berupa pengungkapan kebenaran dan upaya pemulihan sesuai dengan hukum, tidak sekedar jaminan sosial,” ujar Fatia.

Baca: Presiden Akui Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Amnesty International: Tidak Ada Arti

Namun, sejauh catatan dan pemantauan KontraS, selama ini model pemulihan yang terjadi terdapat indikasi bahwa muatannya menyalahi prinsip keadilan, misal dengan tidak berpihak kepada korban sebagai pemangku utama kepentingan. Pemerintah di sejumlah kesempatan juga disebutkan KontraS, tertangkap tangan membuat peraturan dan kegiatan yang seolah ingin pelanggaran HAM berat selesai, tetapi tidak sesuai dengan standar penegakan HAM yang berlaku secara universal.

Terlebih lagi, kata dia, perihal rekomendasi berupa rehabilitasi fisik, psikologis, jaminan kesehatan, beasiswa bahkan nama baik juga telah direkomendasikan berbagai lembaga Negara sejak awal reformasi, mulai dari Komnas HAM, DPR RI, hingga Mahkamah Agung. Pemerintah terus membentuk dan berpindah dari satu tim ke tim lainnya, tetapi sejauh ini tidak pernah sungguh mengimplementasi rekomendasi-rekomendasi yang telah ada.

“Selain itu, beberapa pemulihan seperti rehabilitasi fisik, psikologis, jaminan kesehatan, peningkatan keterampilan serta beasiswa bahkan telah dikerjakan oleh LPSK jauh sebelum Tim PPHAM dibentuk,” ungkap Fatia.

Baca: Ini Pelanggaran HAM Berat di Aceh yang Diakui Jokowi, yang Lain Gimana?

Jauh sebelum hal itu terjadi, kata Fatia, pembentukan tim untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah lama dilakukan oleh Presiden Jokowi beserta jajarannya. Tercatat, ada beberapa tim yang pernah dibentuk Presiden untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dia mencontohkan Komite Rekonsiliasi dan Komite Pengungkapan Kebenaran yang dibentuk pada tahun 2015. Kemudian Dewan Kerukunan Nasional pada tahun 2016 hingga Tim Gabungan Terpadu Tentang Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu pada tahun 2018.

Keseluruhan tim tersebut disebutnya terbukti gagal menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat secara akuntabel. Fatia bahkan mengatakan tim hanya memperalat korban untuk melegitimasi formalitas “penyelesaian” di permukaan saja, tanpa sungguh-sungguh mempedulikan substansi penyelesaian kasus masa lalu.

KontraS menekankan terdapat seperangkat kewajiban yang memberikan dasar pentingnya permintaan maaf secara resmi dari negara kepada para korban. Menurut hukum yang berlaku universal, kata Fatia, kewajiban itu berupa kewajiban mengingat (duty to remember), kewajiban untuk menuntut pidana (duty to prosecute), kewajiban untuk mengembalikan keadaan korban (duty to redress) serta kewajiban untuk menjamin tak ada lagi repetisi pelanggaran HAM (non-recurrence).

“Ini semua dalam rangka menghadirkan keadilan korban, memberi fondasi dasar bagi pencapaian hak-hak korban atas kebenaran (truth), keadilan (justice) dan pemulihan (redress). Pada level tersebut, kami menguji tanggung jawab negara dari hasil rekomendasi berbagai tim yang telah terbentuk. Sayangnya, sejauh ini kerap kali tataran implementasinya jauh panggang dari api yang pada akhirnya melahirkan konsekuensi panjang kepada korban yang selalu diberikan harapan palsu. Semestinya ya patut digarisbawahi dan menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah yakni pengungkapan pola, pelaku dan rantai impunitas yang selama setidaknya 20 tahun gagal untuk diungkapkan oleh negara,” lanjut Fatia.

Baca: Presiden Diminta Tidak Beri Isapan Jempol Terhadap Masyarakat Korban Pelanggaran HAM Berat di Aceh

Selain itu, KontraS menilai jaminan ketidak berulangan tanpa akuntabilitas dan reformasi sektor keamanan hanya menjadi retorika belaka karena selama ini tidak pernah terjadi inisiatif untuk mereformasi Polri dan TNI baik secara struktural maupun kultural. Nyatanya, kata dia, selama ini masih terjadi impunitas terhadap pelaku pelanggaran HAM, tidak adanya kontrol sipil terhadap militer dan institusi keamanan.

“Hal lain yang menjadi catatan diamnya reformasi sektor keamanan ditunjukkan dengan tidak berjalannya vetting mechanism sebagai mekanisme integral untuk tidak menempatkan aktor yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat mengalami kenaikan pangkat dan jabatan,” tambahnya lagi.

Hal lain yang turut mendapat sorotan KontraS terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo yang juga menyinggung empat pengadilan HAM—yang disebut kurang bukti sehingga mengakibatkan terdakwa bebas. Pada konteks tersebut, kata dia Negara seharusnya justru menjamin kepastian pertanggungjawaban hukum terlaksana dengan memastikan aparat penegak hukum kompeten dalam mengumpulkan bukti yang cukup dan membuktikannya.

“Bebasnya Terdakwa bukan berarti tidak ada pelanggaran berat HAM, melainkan menjadi tugas utama dari aparat penegak hukum untuk mengumpulkan alat bukti yang kuat dan membuktikan unsur kejahatan di hadapan Pengadilan agar pelaku kejahatan bertanggung jawab secara pidana dan tidak melenggang bebas,” tambah Fatia.

Terlebih, kata dia, rekomendasi Tim PPHAM hanya memberi rekomendasi atas 12 kasus dan menihilkan korban Tanjung Priok 1984, Timor Timur 1999, dan Abepura 2000. Setelah membiarkan semua Terdakwa bebas, Negara masih membiarkan korban ketiga kasus tidak menerima apapun, baik keadilan, pengungkapan kebenaran, pemulihan atau memorialisasi.

Padahal, kata dia, pada masa kampanyenya sebelum menjadi Presiden, Joko Widodo berjanji melalui Nawacita untuk “menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.. seperti: Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talangsari Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965” serta “menghapus semua bentuk impunitas dalam sistem hukum nasional, termasuk di dalamnya merevisi UU Peradilan Militer yang pada masa lalu merupakan salah satu pelanggaran HAM”.

“Pada akhirnya, pernyataan Presiden Joko Widodo yang berangkat dari rekomendasi Tim PPHAM kami khawatirkan sebagai gula-gula yang menempatkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat hanya mendorong pada mekanisme non-yudisial sekaligus mewajarkan praktik pengabaian terhadap pengadilan HAM yang buruk terjadi selama ini. Ditambah pembiaran terhadap tidak dilakukannya reformasi kelembagaan yang selama ini menjadi aktor pelanggaran HAM berat. Dengan kata lain, pengakuan, penyesalan, serta pernyataan Presiden Joko Widodo lainnya atas rekomendasi hasil Tim PPHAM tidak lebih dari pembaruan terhadap janji lama,” pungkas Fatia.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS