BANDA ACEH | ACEH INFO – Pemerintah kembali merencanakan keberlanjutan proyek pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) di kawasan situs Gampong Pande-Gampong Jawa, Banda Aceh. Proyek tersebut sebelumnya sempat ditunda lantaran munculnya protes dari warga setelah ditemukannya makam yang diduga milik tokoh Aceh di masa lalu, di salah satu kolam IPAL.
“Pembangunan IPAL akan dilanjutkan. Pak Menteri juga mengintruksikan pembangunan yang mangkrak harus dilanjutkan. Maka pembangunan IPAL di Banda Aceh dilanjutkan tahun ini,” kata Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah Aceh (BPPW Aceh) Mohd Yoza Habibie, seperti dilansir Waspada, Jumat, 4 Februari 2022.
Dia mengungkapkan proyek IPAL sempat tertunda sejak 2017 lalu ketika pihak pelaksana menemukan beberapa batu nisan di lokasi. “Pada saat ditemukan itu pihak pelaksana ini memiliki niat bagus, sehingga dia melapor supaya situs ini bisa diselamatkan. Tidak tahunya, malah menjadi polemik,” kata Mohd Yoza Habibie.
Pembanungan IPAL di kawasan situs Gampong Pande-Gampong Jawa dimulai sejak 2015. Proyek ini disebutkan sudah berjalan 70 persen dengan total anggaran mencapai Rp100 miliar.
“Kita tetap komitmen, bahwa IPAL ini tetap kita manfaatkan, dengan catatan situs ini juga kita pindahkan dan ditempatkan pada posisi awal ditemukan situs dan di tempat itu juga akan kita buat taman,” jelasnya.
Selain itu, pihaknya menjanjikan pembangunan IPAL dengan pembaruan teknologi.
Menurut Mohd Yoza, penduduk Kota Banda Aceh membutuhkan pembangunan instalasi pengolahan limbah. Namun, di sisi lain penyelamatan situs makam yang diduga bernilai sejarah dan Cagar Budaya perlu dilestarikan. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.
Seperti diketahui, kawasan Gampong Pande, Gampong Jawa dan Peulanggahan memiliki sebaran situs cagar budaya berupa nisan-nisan era kesultanan Aceh masa lalu. Selain itu, di kawasan yang berbatasan langsung dengan aliran Krueng Aceh tersebut juga terdapat Tugu Titik Nol Banda Aceh.
Dari kondisi di lapangan itu, maka kawasan ini patut diduga masuk dalam klasifikasi sebagai Kawasan Situs Cagar Budaya seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (6) UU No 11/2010.
Dalam pasal itu disebutkan, “Kawasan Cagar Budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.”
Jika merujuk pada hal tersebut, maka bagi pihak-pihak yang merusak kawasan Cagar Budaya juga berpotensi terjerat pidana. Hal ini seperti diatur dalam Pasal 101 UU No 11/2010 yang bunyinya, “Setiap orang yang tanpa izin mengalihkan kepemilikan Cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah.”
Selanjutnya pada Pasal 102 UU No 11/2010 juga disebutkan, “Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan temuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”[]