Sebuah dokumen laporan militer (Militaire Tijdschrift) tentang sisi gelap perang Aceh, berhasil diungkap. Dokumen yang ditutup rapat-rapat oleh Pemerintah Belanda itu, dibongkar kembali oleh penulis Belanda sendiri, HC Zentgraaff dalam buku “Atjeh”.
Karena itu pula, ketika buku ini pertama kali diterbitkan di Batavia oleh Koninklijke Drukkerij De Unie, dianggap sebagai “gondam” yang memukul wajah Belanda sendiri. Zentgraaff yang kala itu menjabat sebagai Redaktur di surat kabar Java Bode merupakan mantan perwira Belanda yang pernah bertugas di Aceh. Reportase perang yang dilakukannya selama di Aceh, ditambah dengan berbagai dokumen laporan militer, membuat buku Atjeh yang ditulisnya menjadi catatan sejarah yang sangat bernilai.
Salah satunya adalah tentang pembantai 79 warga yang sedang menggelar kenduri. Peristiwa itu terjadi pada 31 Desember 1901 di Gampong Blang Jeurat. Patroli marsose Belanda yang dipimpin Hayne sudah berminggu-minggu kelaparan dan kelelahan akibat perang.
Baca Juga: Tenggelamnya Pasukan Letnan De Kok di Sampoiniet
Ketika melewati Blang Jeurat mereka mencium aroma makanan di sebuah rumah tempat keramaian. Sebuah kambing besar disembelih untuk acara itu, pasukan Hayne mengepung rumah itu dari atas lereng bukit. Pasukan marsose yang sudah kehabisan akal itu segera menyerang. Sasaran utamanya adalah kambing besar yang sudah disembelih itu.
Karena khawatir tidak mendapat bagian dari kambing itu, para marsose saling sikut dan berebut makanan. Tapi usaha mereka itu mendapat perlawanan dari orang-orang kampung tersebut. Seorang marsose asal Ambon bernama Mruku mendapat luka parah dua kali sabetan pedang di badannya. Letnan Berger yang melihat Mruku terluka segera menariknya, tapi ia terlepas dan kembali berkelahi untuk mendapatkan kambing tersebut.
Orang-orang kampung di tempat kenduri itu kemudian diberondong. Mereka ditembaki secara brutal, hanya karena khawatir tak mendapatkan makanan. 79 orang yang hadir pada kenduri itu tewas. Sementara di pihak marsose dua orang meninggal dan 24 orang luka-luka. Kambing dan makanan di acara kenduri itu kemudian disantap habis oleh pasukan Hayne yang kelaparan.
Baca Juga: Perangkap Aceh dan Kematian Tragis Komandan Marsose
Mereka kemudian bergerak pulang, membawa mayat dua marsose yang mati. Jalan mereka sangat lambat karena membawa tandu 24 marsose yang terluka. Mendekati tengah malam mereka sampai di Lampahan, karena letih dan kehabisan tenaga, kawanan marsose itu istirahat di bawah kolong rumah penduduk, dan saling mengucapan selamat tahun baru 1 Januari 1902.
Besoknya, mereka melanjutkan perjalanan ke Peusangan dengan perut kosong, dan terus menggotong mayat kawannya dan mengangkut 24 marsose yang terluka. Jenazah kedua marsose itu kemudian dimakamkan di Peusangan di dekat rumah warga.[]
Baca Juga: Beragam Versi Alasan Pembelotan Teuku Umar