JAKARTA | ACEH INFO – Reputasi buruk netizen Indonesia di media sosial rupanya sudah mendunia. Serbuan komentar negatif warganet +62 -julukan untuk netizen Indonesia- beberapa kali memakan korban.
Namun dalam kehidupan sehari-hari, orang Indonesia justru diakui sangat ramah dan baik.
Damian Hoo, pembuat konten asal Australia yang rajin membuat video tentang perjalanannya keliling Indonesia mengunggah video di akun Youtube-nya tentang pengalaman ditolong warga lokal saat berada di Bandara Yogyakarta. Video itu ditonton tiga juta kali dan mendapat 6.000 lebih komentar.
Tapi Damian menemukan banyak komentar miring soal netizen Indonesia. Salah satunya: “Orang Indonesia baik di kehidupan nyata tapi mengerikan di media sosial.”
Dalam video di akun TikTok @hoointheworld, Damian mengaku terkejut dengan banyaknya komentar serupa. Dia melakukan riset dan menemukan penelitian yang dirilis Microsoft bahwa netizen Indonesia berada di peringkat ketiga terbawah dari 32 negara soal kesopanan di dunia maya.
“Orang Indonesia yang sangat sopan dan baik ke ke saya, ternyata jahat di dunia maya. Dan ternyata bukan anak muda (netizen muda) yang jahat, tetapi orang dewasa,” ujarnya.
Damian menelusuri penyebab netizen Indonesia mendapat penilaian seperti itu. Dari sekian banyak alasan yang dia dapatkan, Damian menyoroti faktor pola pikir.
“Menurutku, banyak orang Indonesia yang terjebak dalam mentalitas yang kolot. Terjebak dalam pemikiran kalau mereka percaya itu benar, itulah yang benar dan itulah satu-satunya cara yang benar,” ungkapnya.
“Apa yang mereka percaya itu benar, berarti semua hal lain salah,” imbuhnya.
Dengan pola pikir seperti itu, Damian menyebut banyak netizen Indonesia dengan mudah berkelompok dan bertengkar di dunia maya melawan hal yang mereka anggap salah.
Netizen yang Maha Benar
Barbie Kumalasari stres. Hujatan di kolom komentar akun instagram @barbiekumalasari miliknya tak kunjung berhenti. Gara-garanya, dia dituding memakai tas merk Hermes palsu.
Barbie, artis sinetron yang sering dicibir netizen dan mendapat julukan ‘Ratu Halu’ mengunggah foto bersama anaknya di dalam mobil. Foto itu menunjukkan Barbie memakai sebuah tas Hermes berwarna hijau.
Oleh akun @hermes_selebriti, foto itu kemudian disandingkan dengan sebuah foto tas hermes asli.
“Pada gambar sebelah kiri di atas terdapat sangat banyak perbedaan. Dari tali, warna, bentuk dan warna hardware sangat terlihat palsu jadi saya tidak perlu menjelaskan terlalu banyak,” tulis akun pencinta tas Hermes itu, Minggu (18/2/2019).
Akibat unggahan akun @hermes_selebriti itu, foto di akun Barbie ramai-ramai dihujat netizen. Barbie mengaku bukan mempermasalahkan tasnya yang dihujat, tapi wajah anaknya yang diunggah ulang tanpa disamarkan.
“Di situ aku sampai sakit hati banget, karena mungkin kalau foto anak aku di-blur enggak apa-apa. Jadi aku merasa ini keterlaluan,” ujarnya dalam perbincangan dengan merdeka.com, Rabu (9/2) lalu.
Dalam foto itu, Barbie mengaku hanya menautkan akun resmi merk Hermes. “Kecuali aku bilang tas ini misalnya aku harga pasarannya Rp100 juta, aku jual Rp500 juta mungkin aku bisa di-bully, atau aku menipu orang aku di-bully. Itu enggak pantes banget sih, apalagi ada foto anak,” tuturnya.
Hujatan itu membuat Barbie tertekan. Dia tidak berani keluar rumah selama sepekan dan berhenti memposting foto dan video di akun instagram-nya. Awalnya Barbie membalas satu per satu komentar yang dia nilai sangat keterlaluan. Tapi justru netizen malah makin ramai menghujatnya hingga akhirnya dia memutuskan mengabaikan.
“Ah kalau gue sampai gini terus, kasihan fisik juga, mental aku juga. Mau sampai kapan aku harus tersiksa gara-gara komentar, toh aku juga enggak kenal mereka. Yang komentarnya jelek, aku merasa ah ya sudahlah bodo amat, aku mulai kuat setelah melewati itu semua,” tuturnya.
Di mata Barbie, sikap netizen Indonesia unik. Untuk konten positif, dia menyebut netizen tidak terlalu peduli. Tapi jika menyangkut hal yang dianggap salah, sikap netizen langsung menghakimi.
“Ada sesuatu keanehan atau hal-hal yang mungkin belum tentu benar, mereka tuh meyakini bahwa itu benar, kan maha benar netizen, mengalahkan Tuhan. Dan mereka kompak gitu ya. Siapa yang lagi di atas angin itu yang dibela mati-matian,” ujarnya.
Barbie berharap netizen Indonesia lebih bijak lagi. Dia mengingatkan ada UU ITE yang bisa menjerat netizen.
“Boleh kita julid tapi jangan terlalu julid, maksudnya tetap dengan moral dan etika yang baik. Jadilah netizen yang bijak, mungkin kalau ada hal yang enggak suka, bicara atau komentar tidak terlalu melakukan penghinaan, tidak menghina. Jadi bersifat bijaklah, gitu,” tutup Barbie.
Anonimitas dan Penyaluran Perasaan
Pengamat sosial yang juga dosen Universitas Indonesia Devie Rahmawati mengungkapkan, berdasarkan berbagai studi terdapat kesenjangan perilaku masyarakat Indonesia di dunia offline dan online.
Devie menyebut, teknologi telah menyediakan fitur-fitur yang mampu memanjakan seseorang untuk dapat menjadi apa saja dengan fitur anonimitas. “Masyarakat digital sering terjebak pada ‘kepalsuan’ yang didorong kehadiran teknologi filter (foto) dan sebagainya,” ujarnya kepada merdeka.com.
Dengan menggunakan anonimitas tadi, Devie menyatakan, individu terdorong menjadikan ruang digital sebagai katalis (penyaluran) dari khayalan, keinginan, termasuk perasaan yang tidak dapat diekspresikan di ruang nyata.
Selain itu, lanjut dia, masyarakat Indonesia mengalami lompatan dari masyarakat tradisi lisan ke masyarakat digital, tanpa pernah melalui masa pencerahan dengan tradisi tulisan yang bercirikan obyektifitas dan verifikasi.
“Sehingga, ketika memasuki ruang digital, tetap membawa perilaku lisan, yang tidak berlandaskan verifikasi, obyektifitas yang menjadi ciri utama masyarakat yang sudah memasuki masa tradisi tulisan yang kuat,” ujarnya.
Alhasil, kata Devie, apapun yang disampaikan di ruang digital terjadi tanpa ada upaya memilih dan memilah apakah tepat, berdaya guna dan bermanfaat.
Devie menambahkan, yang patut juga disoroti dari studi Microsoft terkait kesopanan netizen, perilaku tidak santun tersebut justru didominasi oleh populasi kalangan dari usia yang senior. Ini menjadi temuan penting, dalam karakter sosial masyarakat Indonesia yang bersifat patron-klien. Sang patron (lokomotif sosial) menjadi teladan bagi klien (gerbong sosialnya).
“Ketika para senior tadi berperilaku yang kurang pantas, inilah yang berpotensi diikuti oleh generasi yang lebih junior,” ungkapnya.
Dampak pandemi Covid-19 telah membuat fenomena ini, menurut Devie, tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Semenjak 2020, seluruh penduduk dunia menjadi mendadak digital.
“Banyak yang tidak siap memasuki kehidupan di ruang digital,” tukasnya.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM Prof Koentjoro mengingatkan kembali budaya Jawa, tepo seliro, sebagai pedoman bagi netizen Indonesia berperilaku di dunia maya. Setiap orang harus memikirkan ulang apa yang dia ucapkan atau tulis di media sosial apakah akan menyinggung orang lain atau tidak.
“Merenung dulu. Kalau saya dicubit sakit, ya jangan mencubit. Jangan menyinggung, kita menahan diri gitu lho. Kalau itu bisa kita berikan, kita akan sangat manis. Dan kalau kita bicara dengan santai, enak itu sebetulnya menjadi adem,” ujarnya.
Sedangkan pengamat media sosial dan aktivis digital Enda Nasution meminta penggunaan media sosial harus dibarengi dengan kontrol diri. Jangan pernah mengunggah apa pun dalam kondisi emosional.
“Mungkin lagi sedih, kita lagi marah, itu yang biasanya jadi sesuatu yang kita sesali kemudian. Pada saat sesuatu yang kita sampaikan pada saat emosional, lebih baik kita tidak memposting. Jadi jangan jadikan sosial media itu tempat sampah,” ujarnya.
Enda juga mengingatkan, selalu ada konsekuensi dari setiap perbuatan. Setiap unggahan bisa memunculkan reaksi positif dan negatif, selalu ada yang mendukung selalu ada yang menghujat. Apalagi bagi para selebriti yang memiliki pengikut yang banyak, mereka memiliki tanggung jawab sosial yang besar.
“Bisa jadi bahaya bagi diri sendiri atau orang lain. Bisa jadi mengancam nyawa, membahayakan bentuk fisik seperti bangunan, rumah bisa dirusak, dan membahayakan keselamatan jiwa juga,” ujarnya.
Enda membagikan tips penggunaan media sosial yang sehat.
“Gunakan sesuai kebutuhan. Kalau memang kita gunakan sebagai tempat hiburan, ya kita terhibur. Menyerang orang selalu ada konsekuensi atau risiko. Jadi selalu sadar apa yang kita posting, apa yang kita lakukan di media sosial selalu ada konsekuensinya,” pungkasnya.[]