BLANGPIDIE | ACEH INFO — Warga Kecamatan Babahrot, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) meminta kepada Calon Gubernur (Cagub) Muzakir Manaf untuk membantu mereka selesaikan sengketa lahan dengan perusahaan sawit PT Due Perkasa Lestari (PT PDPL).
Saat ini 28 kelompok usaha perkebunan sedang melayangkan gugatan terhadap izin perusahaan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banda Aceh. Warga yang tergabung dalam 28 kelompok tersebut dengan jumlah sekitar 250 orang lebih berharap, Cagub yang mendapatkan suara terbanyak sementara agar tutun tangan untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
Tak hanya itu, mereka juga meminta kepada Calon Bupati (Cabup) Abdya, Safaruddin yang mendapat suara terbanyak agar setelah dilantik nantinya memprioritaskan menyelesaikan sengketa lahan tersebut.
“Kami meminta kepada Mualem (sapaan akrap Muzakir Manaf) dan Safaruddin agar membantu kami untuk menyelesaikan sengketa lahan dengan PT DPL, kami ini semua pendukung Mualem dan Safaruddin dalam pemilu, jadi mohon bantu kami,” pinta Koordinator Kelompok, Rusli Ali, Sabtu (30/11/2024).
Baca Juga: Satgas Pasti Terima 91 Aduan Investasi Ilegal dan Pinjol dari Aceh
Sebelumnya warga bersama Forum Bangun Investasi Aceh (Forbina) dan MRM & Associates Law Firm selaku kuasa hukum telah mendaftarkan gugatan pada Jumat 22 November 2024 dengan nomor perkara No.45/G/2024/PTUN.BNA. Kata Yahwa, sapaan akrap Rusli A menyebutkan, gugatan ini dilakukan sebagai langkah untuk mendapatkan keadilan untuk mendapatkan kembali hak tanah mereka yang diduga diambil oleh PT DPL.
“Ini kami mencari keadilan agar tanah kami bisa dikembalikan, kami hanya menuntut tanah kami sekitar 800 hektar dari 2.600 hektar yang dikuasai oleh PT DPL,” ungkap Yahwa.
Yahwa mengatakan, warga sudah berjuang sejak 2012 lalu untuk mendapatkan kembali lahan yang diduga diserobot oleh PT DPL. Karena warga memiliki bukti kepemilikan surat tanah – bahwa sekitar 800 hektar lebih itu milik warga yang diambil oleh PT DPL. Melalui gugatan ini, pemilik lahan berharap bisa mendapatkan kembali tanah mereka yang sudah digarap sejak lama sebelum lahan itu dikuasai oleh PT DPL.
“Kami punya bukti kuat dengan surat-surat tanah masa lalu, sekarang bukti itu sudah kami kumpulkan untuk menghadapi gugatan di PTUN Banda Aceh,” tegasnya.
Baca Juga: Tak Penuhi Kewajiban Modal Minimum OJK Cabut Izin BPRS Kota Juang
Karena lahan PT DPL tersebut sedang dalam proses sengketa di PTUN Banda Aceh, puluhan warga terdampak memasang spanduk di 10 titik lokasi. Bunyi spanduk tersebut “Lahan Ini dalam Sengketa Hukum Nomor Perkara 45/G/2024/PTUN.BNA. Masyarakat Bersama Forbina Menggugat Gubernur Aceh Atas Izin Usaha Perkebunan No.P2TSP.525/4828/2007 PT Due Perkasa Lestari:.
Pemasangan spanduk tersebut dilakukan pada Sabtu 30 November 2024 didampingi langsung oleh kuasa hukum sekaligus Direktur Eksekutif Forbina Muhammad Nur, SH. Selama pemasangan spanduk berjalan lancer. Puluhan warga menggunakan sepeda motor dan dua mobil pick-up masuk ke lokasi lahan sengketa tersebut dan memasang spanduk serta berfoto bersama.
Direktur Eksekutif Forbina, Muhammad Nur, SH mengatakan, pada tahun 2007, Gubernur Aceh memberikan izin kepada PT. DPL melalui keputusan nomor P2TSP.525/4828/2007 tanggal 27 Desember 2007 tentang Izin Usaha Perkebunan Budidaya, seluas 2.600 hektar. Berdasarkan fakta dilapangan, bahwa izin tersebut berada di lahan yang dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan oleh masyarakat melalui 28 kelompok tani.
“Dampak dari izin tersebut, kelompok tani hilang wilayah kelola, dan tidak dapat diusahakan/dimanfaatkan lagi untuk sumber perekonomian, karena pihak perusahaan terus memperluas lahan untuk penanaman kelapa sawit,” kata Muhammad Nur.
Baca Juga: Pendapatan PBN di Aceh Capai Rp584 Triliun
Padahal kelompok tani tersebut sebelumnya menjadi subjek dari program pemerintah pusat memberdayakan ekonomi mantan kombatan GAM dan korban konflik, melalui pembagian 63.000 bibit dilahan 2.600 Ha. Kemudian pada lahan tersebut diterbitkan izin oleh Gubernur Aceh kepada PT. DPL, sehingga apa yang diprogramkan oleh Presiden SBY ketika itu tidak berjalan maksimal.
Selain persoalan lahan, hasil kajian Forbina juga menemukan bahwa izin yang diberikan cacat prosedural dan cacat hukum, karena lokasi yang ditetapkan tidak sesuai dengan objek di lapangan. Selain dua persoalan tersebut, masih banyak temuan lain yang menjadi dalil memperkuat gugatan ini.
“Nanti kita akan bongkar semua di pengadilan atas cacat procedural dan cacat hukum tersebut, terlebih warga memiliki bukti kuat dengan surat tanah yang warga miliki,” jelas Muhammad Nur.
Kata Muhammad Nur, apa yang dilakukan oleh Gubernur Aceh melalui pemberian izin kepada PT. DPL yang cacat hukum dapat dianggap sebagai perbuatan perampasan tanah rakyat demi kepentingan investasi. Seharusnya, ditengah krisis lapangan pekerjaan, kemiskinan, paska konflik dan bencana, Gubernur Aceh melindungi hak – hak masyarakat, bukan justru dengan kebijakan ambisiusnya menghilangkan wilayah kelola masyarakat.
Forbina bersama tim pengacara berharap kepada pihak PT. DPL untuk menghormati proses hukum dan menghentikan segala aktifitas di lapangan selama proses hukum ini berlangsung. Begitu juga halnya Gubernur Aceh untuk mempertanggungjawabkan di muka hukum atas penerbitan kebijakan yang dapat merugikan masyarakat banyak. []