BANDA ACEH | ACEH INFO – Bagi masyarakat Aceh, meugang bukan hanya tradisi, tapi juga sudah melembaga. Tempo dulu, dari meugang pula dikenal cara pengawetan daging menjadi dendeng seperti yang kita kenal sekarang.
Meugang merupakan sesuatu yang sangat khusus bagi masyarakat Aceh. Ini tercermin dalam hadihmaja sithon mita sibeuluen pajoh. Hasil usaha selama satu tahun dinikmati dalam satu bulan yakni bulan Ramadhan. Dan meugang merupakan puncak dari itu.
Tradisi meugang sudah melembaga sejak zaman dahulu di Aceh. Pada masa kerajaan Aceh Darussalam, penguasa (raja) dan orang kaya (uleebalang) akan menyembelih sapi dan dagingnya dibagi kepada penduduk fakir, miskin dan anak yatim. Tujuannya, pada hari menyambut puasa tersebut seluruh rakyat harus menikmati masakan daging.
Orentialis barat ahli ketimuran berkebangsaan Belanda Snouck Hurgronje dalam bukunya De Atjeher (Aceh di Mata Kolonial) menyebutkan, tradisi meugang dalam masyarakat Aceh mampu membantu para pejuang untuk bergerilya. Daging meugang diolah melalui pengasinan dan pengawetan sederhana hingga tahan lama, seperti apa yang sekarang kita kenal sebagai dendeng.
Pada hari meugang, seluruh pelosok Aceh memotong sapi secara besar-besaran. Hanya sebagian dari daging tersebut yang dimasak oleh warga di rumahnya masing-masing, selebihnya diawetkan bisa dikonsumsi dalam waktu lama.
Meugang juga membangun kebersamaan, sebelum hari meugang para perangkat gampong seperti keuchik, tuha peut, imuem dan tuha lapan akan melakukan musyawarah di meunasah membahas tentang dana untuk penyembelihan sapi di hari meugang.
Bila dana tidak cukup akan dilakukan ripe atau meuripe, yakni mengumpulkan uang bersama untuk membeli sapi atau kerbau yang akan dipotong pada hari meugang. selain memperoleh daging dari hasil meuripe, masyarakat juga membeli daging yang dijual di pasar. Pasar daging dadakan di hari meugang inilah yang membuat harga daging di Aceh termahal dari daerah lainnya sepanjang masa.
Penyembelihan sapi dilakukan di perkarangan meunasah oleh panitia yang telah ditunjuk oleh keuchik dan teungku imum selaku pimpinan desa. Panitia akan membagi daging tersebut dengan porsi yang sama, mulai dari daging, tulang hingga jeroan. Jumlah pembagian tergantung jumlah penduduk kampung tersebut.
Namun selain meugang gampong, penyembelihan besar-besaran pada hari meugang biasanya dilakukan di lapangan terbuka di pasar. Para pria akan berbondong-bondong ke pasar membeli daging untuk dibawa pulang ke rumah. Bagi anak muda ini merupakan momen untuk menafkahi keluarga sebelum ia melangkah ke jenjang perkawinan. Sementara bagi lintobaro (pengantin pria) yang baru menikah momen meugang bisa merupakan uroe meubalah (berbalas) yakni membalas pemberian mertua pada hari pesta dengan mebawa pulang daging pada hari meugang.
Bagi anak-anak, siang hari setelah daging-daging siap di masakkan, mereka akan meminta orang tuanya membungkus nasi dan lauk untuk dinikmati bersama rekan sejawat di tempat tempat tamasya, biasanya di pantai bagi masyarakat pesisir dan di perbukitan dan lubuk bagi masyarakat pegunungan. Tradisi makan bersama kawan-kawan ini disebut meuramien. Pada hari ini anak-anak yang meuramien akan menyantap makanan sepuasnya karena esok harinya mereka akan menjalani ibadah puasa yang harus menahan diri dari lapar dan dahaga.
Sementara Ali Hasjmy menyebutkan, pada masa Kerajaan Aceh Darussalam, tradisi meugang dilaksanakan di Keraton Darud Dunia dengan dihadiri oleh sultan, para menteri dan pembesar kerajaan, serta alim ulama.
Menjelang upacara tersebut, Syahbandar Seri Rama Setia biasanya akan memberikan hadiah berupa pakaian yang akan dipakai sultan dalam upacara itu. Selain itu, Syahbandar Seri Rama Setia juga akan menyediakan karangan bunga yang ditempatkan di makam para sultan.
Pada hari itu, sultan juga memerintahkan kepada Imam Balai Baitul Fakir/Miskin (yaitu lembaga yang bertugas menyantuni kaum dhuafa dan yatim piatu) untuk membagikan daging, pakaian, dan beras kepada fakir miskin, orang lumpuh, dan para janda. Biaya untuk penyantunan fakir miskin pada hari Meugang ini ditanggung oleh Bendahara Balai Silatur Rahim, yaitu lembaga yang berfungsi mengatur hubungan persaudaraan antar-warga negara dan antar-manusia yang berdiam dalam Kerajaan Aceh Darussalam.
Hingga kini meugang sudah menjadi tradisi yang melembaga dalam masyarakat Aceh yang dilakukan secara turun temurun. Melembaganya meugang di Aceh juga mempengaruhi dunia pemerintahan hingga sekarang. Satu atau dua hari sebelum meugang umum, para pegawai di dinas dan badan pemerintahan juga akan melakukan meugang, apa yang kemudian dikenal sebagai meugang peugawe (pegawai).
Setiap kantor dinas dan badan pemerintahan akan menyembelih sapi untuk dibagikan bersama pegawai lingkungan sekantor. Begitu juga dengan pihak swasta yang akan memberikan kupon daging atau uang meugang kepada karyawannya. Sebuah tradisi religi yang penuh kebersamaan.