25.7 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Meudiwana dan Seumajoh Pada Hari Meugang

Hari meugang bagi masyarakat Aceh tidak hanya sekedar tradisi, tapi juga momentum untuk berkumpulnya keluarga, bertamasya bersama (Meudiwana) memupuk kebersamaan.

Pada hari meugang, baik meugang hari raya Idul Fitri maupun hari raya Idul Adha, para perantau akan pulang kampung untuk makan besar. Makanya daging meugang menjadi sesuatu yang sangat penting, menjadi perekat silaturrahmi dengan saudara-saudara yang baru pulang dari perantauan. Para anggota keluarga besar wareh dan kawom akan melakukan meudiwana (bertamasya) ke objek wisata terdekat. Acara tamasya dan makan bersama ini sering disebut sebagai uroë pajôh-pajôh atau uroë seumajôh.

Sejak zaman Kerajaan Aceh Darussalam dulu, perayaan meugang telah menjadi salah satu momen berharga bagi para dermawan dan petinggi istana untuk membagikan sedekah kepada masyarakat fakir miskin. Kebiasaan berbagi daging meugang ini hingga kini tetap dilakukan oleh para dermawan di Aceh. Tak hanya para dermawan, momen datangnya hari meugang juga telah dimanfaatkan sebagai ajang kampanye oleh calon-calon wakil rakyat, calon pemimpin daerah, maupun partai-partai di kala menjelang Pemilu.

Baca Juga: Melihat Isi Museum Negeri Aceh
Setiap meugang, selain melibatkan sektor pasar, juga belakangan melibatkan sektor pemerintahan, swasta, bahkan lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Setiap lembaga bersama-sama melakukan meugang secara berkelompok, menyembelih sapi atau kerbau dan membagi-bagikannya dagingnya untuk setiap anggota. Ada juga yang sebagaian dikirim ke rumah-rumah anak yatim dan fakir miskin.

Dan momentum hari meugang selalu menjadi sesuatu yang bernilai istimewa, karena meugang selalu dikaitkan dengan nilai-nilai agama Islam, meugang sebelum puasa, meugang sehari sebelum hari raya Idul Fitri, dan meugang sehari sebelum hari raya Idul Adha.

Nilai-nilai adat istiadat dan budaya menyatu dengan nilai-nilai religius, sebagaimana diungkapkan dalam hadihmaja, ungkapan klasik dalam masyarakat Aceh, adat ngôn hukom (Islam) lagèe zat ngon sifeut, sitka han jeut tapisah dua. Bagi masyarakat Aceh, adat dan hukum Islam itu seperti zat dan sifat, tidak bisa dipisahkan. Dan meugang memiliki kedua sisi itu.

Baca Juga:Kisah Atjeh Band dan Juliana Club Tempat Dansa Orang Eropa di Aceh

Hal lainnya dari tradisi meugang adalah menjemput maaf orang tua dan sanak saudara, demi kelancaran ibadah dalam bulan suci Ramadan. Makanya, tradisi membawa pulang daging meugang untuk orang tua, bukan hanya semata-mata tanggung jawab menafkahinya, tapi lebih dari itu, dengan membawa daging meugang untuk orang tua dan sanak-saudara lainnya, saat itu permohonan maaf dilakukan. Saling memaafkan agar hati lapang memasuki bulan Ramadan. Tradisi menjemput maaf pada hari meugang ini sampai sekarang masih diparktekan dalam masyarakat Aceh.

Sementara itu bagi anak muda yang baru menikah, hari meugang juga menjadi momentum untuk menunjukkan tanggung jawab kepada keluarga.  Mereka akan membawa pulang beberapa kilo daging untuk mertua, dikenal dengan sebutan sie linto (daging peganting pria). Malah di daerah tertentu, pengantin pria atau linto baro yang baru pertama menjalani meugang bersama mertua, secara adat diharuskan membawa pulang kepala sapi atau kerbau sembelihan.

Uniknya lagi, khusus bagi linto baro, untuk membuktikan tanggung jawabnya, usai subuh dia akan menuju pasar, membeli daging terbaik untuk mertua, membawanya pulang ke rumah mendahului ayah mertua. Dan biasanya, seorang ayah mertua juga meski sudah duluan ke pasar, akan membiarkan menantunya membawa pulang daging meugang ke rumah mendahuluinya.

Baca Juga: Pesawat Seulawah RI 001 dan Kisah Jamuan Makan Soekarno

Bagi linto baro yang baru pertama kali meugang di rumah mertua, dia bukan hanya membawa pulang daging saja. Tapi juga beberapa kilo gula pasir, sirup, susu dan makanan/kue kering lainya, untuk bekal selama puasa. Malah bagi orang-orang kaya tempo dulu, akan membeli kain untuk bekal baju baru.

Bagi pengantin pria yang tidak mampu membawa pulang daging meugang ke rumah mertua, akan dianggap sebagai “aib” bagi dirinya dan keluarganya, karena seolah menegaskan bahwa si pria yang baru menikah itu belum mampu menafkali keluarga barunya. Makanya di Aceh, semahal apa pun harga daging di hari meugang, setiap pengantin pria akan berusaha membelinya beberapa kilo. Keluarga intinya juga akan membantu, jika dia tidak mempunyai kemudahan untuk itu.

Seorang ayah mertua juga akan merasa malu jika hari meugang tak membeli daging untuk makanan menantu di rumah. Yang repot adalah kaum perempuan, ibu-ibu di rumah. Di kampung-kampung di Aceh, para ibu-ibu biasanya untuk menghadapi hal seperti itu, sudah menyiapkan berbagai bumbu untuk masak sehari sebelumnya.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS