BANDA ACEH | ACEH INFO – “Struktur bangunan tersebut dibangun empat persegi. Dinding luar berupa tembok keras yang dibuat dengan semen yang kokoh. Tinggi tembok mencapai 2,50 meter, tebal 0,65 meter dan panjang rata-rata sejarak 1,50 meter. Di sekitar bangunan tersebut terdapat sawah, lahan tebu, dan ladang tegal yang terdiri dari pohon kelapa, rumpun kampung dan beberapa kuburan tempat para bangsawan istana dikebumikan.”
Bangunan yang dimaksud tersebut adalah Masjid Raya dalam bentuk awal sebelum Belanda membakarnya pada April 1873. Kutipan tersebut merupakan rekaman Frederica Johanna (Frederike) van Uildriks, seorang guru dan penulis Belanda yang lahir di Groningen, 31 Mei 1854. Dia merupakan penulis buku Beelden uit Nederlandsch Indie (Gambar dari Hindia Belanda) yang di dalam salah satu bab membahas tentang perang perebutan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.
Masjid Raya menjadi sangat terkenal dalam perang Belanda di Aceh lantaran di tempat peribadatan ummat Muslim itulah, JHR Köhler yang tercatat sebagai seorang Jenderal–mati ditembus peluru pasukan Aceh. Hal ini pula yang membuat Belanda mengingat betul rekaman bentuk struktur Masjid Raya sebelum dibumihanguskan oleh serdadu mereka.
Frederica Johanna (Frederike) van Uildriks juga menyebutkan, “bangunan tersebut memiliki peran penting di Aceh.”
Medan di dalam tembok-tembok ini ditinggikan dan dibentuk seakan-akan benteng-benteng kecil, tempat di mana orang bisa melihat dan menembak. Di tengah, area tinggi di antara dinding-dinding ditutupi dengan batu-batu yang memikul bangunan masjid yang terbuat dari kayu. Bagian atasnya ditutupi dengan dua atap yang meruncing. Interior masjid yang luas dapat menampung hingga 2.000 orang.
Masjid itu kemudian dibakar dalam perang yang berlangsung pada suatu pagi, di sekitar pukul 07.00, dalam suhu yang begitu panas mencapai 100 F hingga tidak memunculkan bayangan di permukaan tanah.
MATAHARI belum tepat di atas kepala ketika 13 tembakan meluncur dari moncong meriam. Suaranya gaduh, riuh, dan memekakkan 6.000 pasang telinga manusia yang menyaksikan peristiwa hari itu. Tembakan salvo dari belasan meriam Belanda tersebut merupakan seremoni atas peresmian pembangunan ulang Masjid Raya Baiturrahman pada 27 Desember 1881.
Sebelumnya Gubernur Jenderal Karel van der Heyden sempat berpidato tentang harapan perdamaian di Aceh setelah pembangunan kembali Masjid Raya tersebut. “Kami berharap ini bisa menjadi suatu tanda perdamaian dan kemakmuran bagi masa depan Aceh. Semoga Tuhan memberkati,” kata Heyden.
Dia juga mengungkapkan bahwa pemerintah kolonial Belanda menghormati agama orang Aceh.
Pada hari itu pula Belanda menyerahkan kunci masjid kepada Teungku Malikul Adil. Sementara pengurusan masjid diserahkan kepada Teungku Syekh Marhaban, seorang ulama asal Pidie.
Upacara peresmian bangunan baru Masjid Raya tersebut diakhiri dengan kenduri besar. Tokoh Belanda dan Aceh duduk bersama dalam satu meja. Momen itu kelak diceritakan oleh penulis Belanda, J Kreemer dalam tulisannya “De Groote Moskee te Koeta Radja.”
Belanda membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman untuk mengambil hati orang Aceh yang dikenal teguh dalam membela agama. Belanda pernah salah menduga bahwa Masjid Raya merupakan bangunan istana sang sultan sehingga memfokuskan serangan ke kawasan tersebut. Kesalahan itu kemudian ditebus dengan peletakan batu pertama pada 9 Oktober 1879, setelah pemerintah kolonial Belanda menguasai sebagian kecil kawasan ibukota.
Belanda sempat kesulitan dalam membangun ulang Masjid Raya tersebut karena mendapat penolakan dari warga Aceh. Terlebih masyarakat menilai salat di masjid yang dibangun oleh Belanda tidak sah. Belanda kemudian mencoba merangkul warga Aceh untuk ikut membangun masjid tersebut. Namun, tidak ada yang ikut serta hingga akhirnya kontrak pembangunan masjid dipercayakan kepada Lie A Sie, salah seorang China yang berpangkat Letnan dalam ketentaraan Belanda. Sementara arsitek yang menangani pembangunan masjid itu adalah J.J.J De Bruin si perancang bangunan Bank Indonesia di Batavia. Sumber lain menyebut sang arsitek itu adalah Gerrit van Bruins, seorang kapten angkatan darat Belanda.
Proyek pembangunan Masjid Raya Baiturrahman menghabiskan duit besar dalam anggaran pemerintahan Hindia Belanda masa itu.
Nominalnya mencapai 200.000 gulden sehingga mendapat sorotan tajam dari politikus di Negeri Belanda sendiri. “Een ledig monument onzer dwaasheld (sebuah monumen yang gagal, hasil dari kebodohan kita),” tulis Snouck Hougronje kelak pada tahun 1899.
Pembangunan ulang Masjid Raya Baiturrahman masa itu juga tidak berjalan mulus. Selain mendapat penolakan dari warga Aceh, perang masih saja meletus di daerah tersebut. Ini pula yang membuat Belanda pusing untuk mencari bahan baku bangunan hingga memesannya dari berbagai negara.
Gaya pembangunan masjid yang dirancang Bruin jauh berbeda dengan bentuk awal rumah ibadah warga Aceh itu. Tidak ada lagi atap piramida berlapis seperti corak masjid pada umumnya di kawasan Tanah Melayu. Dia menggantinya dengan satu kubah yang menggelembung seperti bawang dengan ujung runcing di atas. Bruin juga menambahkan teras kecil di pangkal kubah dengan pagar besi bermotif. Dari sejumlah referensi penulis Belanda, Bruin juga menempatkan satu jam bundar di atas gerbang pintu masuk. Jam bundar itu diapit oleh relief dua mawar berkelopak delapan.
Setiap orang yang masuk ke masjid juga diharuskan melewati lima lengkungan yang tinggi; tiga teras di depan dan dua lainnya pada setiap sisi pintu masuk. Gerbang dengan lengkungan di atas itu ditopang pilar penyangga bulat yang bagian atasnya dihiasi ornament. Di atas lengkungan terdapat tulisan yang diukir dalam aksara Arab. Selain itu, atap masjid di bawah kubah dilengkapi dengan ventilasi berbentuk lingkaran. Lantai bangunan ditutup marmer putih.
Di sayap kiri dan kanan masing-masing dilengkapi tiga jendela yang dilapisi jerusi besi dan ornament. Di bagian belakang, ruangan yang tertutup dinding mihrab digunakan sebagai ruang siding oleh kadi. Di ruang ini ada sebuah tangga panjang yang menuju ke lantai dua, tempat teras kecil di sekeliling kubah. Ada 15 jendela kecil di bagian kubah itu.
Bruin juga mendesain mihrab berbentuk ceruk di dinding belakang yang mengarah ke kiblat dengan hiasan berlapis emas. Sebuah kursi ukiran ditempatkan di ceruk mihrab untuk khatib membawakan khutbah saban Jumat. Tak hanya itu, Bruin juga melengkapi Masjid Raya dengan lampu kandil yang dananya menelan 5.000 gulden.
Seorang peneliti Belanda, Wilhelmina dalam tesisnya menulis, gaya Masjid Raya Baiturrahman yang dibuat Bruin lebih menyerupai bangunan-bangunan fenomenal di Eropa. Peneliti asal Univesity of Victoria, Kanada, itu mencontohkan tiga lengkungan setengah lingkaran di pintu masuk Masjid Raya yang ditopang tiang bulat menyerupai The Court of Myrtles, salah satu bagian Alhambra, istana raja sekaligus benteng di kota Granada, Spanyol. Wilhelmina juga menemukan pola nyaris sama dengan Masjid Cordoba di Spanyol.
Sementara penulis Belanda KFH van Langen justru membandingkan Masjid Raya dengan Hagia Sophia di Istanbul. Meskipun demikian para peneliti sepakat bahwa ada percampuran budaya, baik dari Eropa, Asia, maupun Afrika dalam bentuk bangunan Masjid Raya yang dibangun Belanda masa itu.
Corak bangunan tersebut jauh berbeda dengan struktur awal Masjid Raya Baiturrahman seperti sketsa yang dibuat Peter Mundy, seorang pengelana Eropa. Mundy yang mampir di Aceh pada 1637 tersebut menggambarkan Masjid Raya sebagai bangunan persegi yang terbuat dari kayu. Atapnya berlapis empat piramida berjenjang yang makin ke atas kian mengerucut. Tak ada menara di sampingnya. Bangunan itu juga dikelilingi pagar di sekelilingnya serupa benteng. Jika diilustrasikan saat ini, corak bangunan Masjid Raya tak jauh berbeda dengan Masjid Tuha Indrapuri di Aceh Besar.
SKETSA Masjid Raya yang digambarkan Peter Mundy maupun bangunan karya Bruin tersebut kini telah bersalin rupa seiring perkembangan zaman. Bangunan Masjid Raya Baiturrahman telah beberapa kali mengalami renovasi. Dulu Masjid Raya hanya seluas 624 meter persegi, sementara sekarang mencapai 4.000 meter persegi. Semula bangunan itu hanya mampu menampung 2.000 jamaah, tetapi kelak menjadi 13 ribu hingga 24 ribu jamaah dengan adanya penambahan payung di halaman depan seperti gaya Masjid Nabawi di Madinah.
Renovasi pertama Masjid Raya Baiturrahman dilakukan semasa pemerintahan Soekarno, ketika Aceh sudah melebur menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, tahun 1957. Saat itu, Soekarno memperluas masjid dengan menambahkan dua buah kubah baru. Kemudian dibangun juga dua menara masjid dengan 280 tiang penyangga.
Perluasan Masjid Raya Baiturrahman ini membuat bangunan di sekitar masjid tergusur, seperti bangunan toko-toko di pasar Aceh. Perluasan masjid dilakukan dengan peletakan batu pertama pembangunan oleh menteri agama KH Muhammad Ilyas, bersama Gubernur Aceh Ali Hasymi. Perluasan pembangunan ini dilakukan selama empat tahun.
Renovasi terhadap Masjid Raya kembali dilakukan pada tahun 1980-1982. Ini dilakukan dalam rangka persiapan Musabaqoh Tilawatil Qur’an (MTQ) Nasional. Ada penambahan ornamen-ornaman pada interior masjid. kemudian penambahan plaza di bagian depan masjid.
Selanjutnya renovasi kembali dilakukan pada tahun 1992-1995. Bangunan masjid kembali direnovasi dan diperluas dengan menambahkan dua kubah. Total kubah masjid kemudian menjadi tujuh dan memiliki lima menara. Halaman masjid juga diperluas hingga menjadi 3,3 hektar.
Penataan ulang Masjid Raya Baiturrahman kembali dilakukan setelah tsunami menerjang Aceh. Saudi Charity Campaign dan masyarakat ikut menyumbang untuk perbaikan masjid raya tersebut. Kali ini donor membuat fasilitas umum seperti tempat wudhu di sisi utara, penataan lansekap bangunan, dan juga kolam sebagai monumen. Total dana renovasi tersebut mencapai Rp20 miliar dan baru selesai pada 15 Januari 2008. Pun demikian, penataan ulang ini tidak menggusur halaman Masjid Raya dan juga pohon geulumpang yang menjadi tugu peringatan tempat Kohler merenggang nyawa.
Kelak, pada Mei 2015, halaman dan pohon geulumpang yang juga disebut pohon Kohler, tempat Jenderal Belanda meregang nyawa dalam agresi pertama ke Aceh itu, hilang. Gubernur Zaini Abdullah melakukan renovasi besar dan berencana menyulap Masjid Raya Baiturrahman menggunakan anggaran sebesar Rp1,4 Triliun untuk memasang 12 unit payung raksasa. Halaman masjid yang semula ditanami rumput pun dipasangi marmer untuk menghindari genangan air.
Zaini pada masa menjabat sebagai Gubernur Aceh juga merenovasi pembangunan lantai bawah tanah Masjid Raya untuk lapangan parkir, dengan kapasitas 254 mobil dan 343 unit sepeda motor.
Pada masa ini pula basement Masjid Raya dibangun fasilitas tempat wudhu, toilet pria dan wanita yang semua bahannya terbuat dari batu marmer dari Italia atau Spanyol.
Pada pinggiran halaman atas ditanami pohon kurma dan di tengah halaman ditanami rumput hijau serta berbagai jenis bunga warna warni, dengan fungsi untuk memberikan kesejukan dan keindahan.
Masjid besar itu kini telah memiliki 308 titik tempat wudhu, terdiri untuk pria 163 unit dan perempuan 145 unit. Ada pula tempat penitipan sepatu dan sendal bagi para jamaah. Sementara bagi penyandang disabilitas dibangun lift yang mudah diakses sehingga nyaman untuk beribadah.
Ada juga kolam air pancur yang pada malam harinya ditembak dengan lampu warna warni di halaman masjid tersebut. Mega proyek untuk renovasi pada Masjid Raya Baiturrahman tersebut dimulai sejak Juli 2015. Sementara renovasi selesai dikerjakan PT Waskita Karya pada Mei 2017. Anggaran yang habis dipakai pun sebesar Rp 458 miliar.
JUMAT, 11 Februari 2022 pagi. Selusin payung raksasa seperti yang ada di Masjid Nabawi Madinah itu masih terlihat kuncup. Cahaya matahari keemasan pun menerabas di sela-sela tiang payung dan memantul di lantai marmer halaman masjid kebanggan orang Aceh itu. Sekumpulan orang hilir mudik di halaman masjid yang kini dipenuhi marmer. Beberapa diantaranya terlihat sibuk memotret bangunan masjid yang telah menjadi landmark Aceh sejak lama.[]