JAKARTA | ACEH INFO – Jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 terus menurun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melaporkan menurunnya jumlah kredit restrukturisasi berdampak positif bagi penurunan rasio Loan at Risk menjadi 12,55 persen.
Jumlah kredit restrukturisasi Covid-19 yang bersifat targeted 44,5 persen dari total porsi kredit restrukturisasi Covid-19 atau sebesar Rp145,25 triliun dari 1,46 juta nasabah. Jumlah tersebut jauh menurun dari Februari 2023 yang tercatat sebesar Rp427,7 triliun dari 1,93 juta nasabah.
OJK juga menilai kualitas kredit perbankan tetap terjaga dengan rasio NPL net perbankan sebesar 0,79 persen (Juli 2023: 0,80 persen) dan NPL gross sebesar 2,50 persen (Juli 2023: 2,51 persen). Pemulihan ekonomi yang terus berlanjut di sektor riil mendorong penurunan kredit restrukturisasi Covid-19 sebesar Rp12,97 triliun menjadi Rp326,15 triliun (Juli 2023: Rp339,12 triliun), dengan jumlah nasabah turun 10 ribu menjadi 1,46 juta nasabah (Juli 2023: 1,46 juta nasabah).
Baca Juga: Market Share Perbankan Syariah Tumbuh Konsisten
Seiring risiko kredit yang menurun, jumlah Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) yang telah dibentuk bank relatif stabil, dengan nilai CKPN kredit pada Agustus 2023 tercatat sebesar Rp346,7 triliun atau naik sebesar Rp0,8 triliun secara mtm dengan coverage CKPN restru Covid-19 diestimasikan naik ke level 30,0 persen.
“Hal ini merupakan cerminan antisipasi perbankan dalam memitigasi potensi risiko kredit pada saat kebijakan restrukturisasi kredit akibat dampak lanjutan pandemi Covid-19 akan berakhir pada Maret 2024,” jelas Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar melalui siaran tertulis OJK baru-baru ini.
Secara keseluruhan OJK menilai sektor perbankan mampu menunjukkan resiliensi dengan permodalan yang tinggi serta didukung dengan risiko kredit yang terjaga di tengah tekanan higher for longer tingkat suku bunga global. Industri perbankan secara umum memiliki permodalan yang solid ditinjau dari Capital Adequacy Ratio (CAR) industri perbankan yang tinggi sebesar 27,66 persen.
Fungsi intermediasi perbankan juga berjalan dengan normal dalam menopang perekonomian baik disisi pembiayaan (perkreditan) maupun dalam penghimpunan dana. Pada Agustus 2023, pertumbuhan penyaluran kredit meningkat sebesar 9,06 persen yoy (Juli 2023: 8,54 persen yoy) menjadi Rp6.739,40 triliun, dengan pertumbuhan tertinggi pada kredit investasi sebesar 11,25 persen yoy. Di sisi kepemilikan, pertumbuhan kredit terbesar tercatat dari Bank Umum Swasta Domestik yang tumbuh sebesar 12,34 persen yoy.
Baca Juga: Nilai Perdagangan Karbon di Bursa Baru Rp29,21 Miliar
Di sisi lain, pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) pada Agustus 2023 tercatat sebesar 6,24 persen yoy (Juli 2023: 6,62 persen yoy) atau menjadi sebesar Rp8.082 triliun, dengan kontribusi terbesar dari Giro yang tumbuh sebesar 8,02 persen yoy. Pertumbuhan DPK yang termoderasi antara lain karena meningkatnya konsumsi masyarakat paska pencabutan status pandemi Covid-19.
Likuiditas industri perbankan pada Agustus 2023 dalam level yang memadai dengan rasio-rasio likuditas yang terjaga. Rasio Alat Likuid/Non-Core Deposit (AL/NCD) dan Alat Likuid/DPK (AL/DPK) yang meskipun sedikit turun masing-masing menjadi 118,50 persen (Juli 2023: 118,37 persen) dan 26,49 persen (Juli 2023: 26,57 persen), namun tetap jauh di atas threshold masing-masing sebesar 50 persen dan 10 persen.
Di tengah peningkatan dan fluktuasi tingkat imbal hasil surat utang AS, risiko pasar juga relatif terjaga. Posisi Devisa Neto (PDN) tercatat stabil rendah sebesar 1,72 persen (Juli 2023: 1,75 persen), jauh di bawah threshold 20 persen. Peningkatan yield SBN diantisipasi Perbankan antara lain dengan memperpendek durasi SBN serta melakukan rebalancing jenis portfolio baik yang bersifat held to maturity maupun available for sale sehingga potensi kerugian dari perubahan nilai wajar surat berharga tidak mengganggu permodalan bank.
“Tinginya permodalan perbankan diyakini mampu menyerap potensi risiko yang dihadapi dan OJK akan terus mendorong kinerja intermediasi dengan tetap menjaga keseimbangan antara pertumbuhan pembiayaan dan terjaganya likuiditas,” tambah Mahendra Siregar.
Baca Juga: Pembiayaan Perbankan di Aceh Capai Rp36,47 Triliun
Meski demikian Mahendra mengimbau agar perbankan mencermati dampak lanjutan dari tingginya ketidakpastian perekonomian maupun geoplitikal global khususnya karena kebijakan moneter global yang masih ketat (hawkish) dan termoderasinya perekonomian Tiongkok sehingga dapat meningkatkan sentimen terhadap risiko likuiditas maupun risiko pasar.
Sehubungan dengan hal tersebut, perbankan akan didorong untuk meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan pembentukan pencadangan secara memadai. Dalam rangka mengukur ketahanan bank, selain melakukan stress test industri Perbankan secara periodik, OJK juga meminta perbankan secara rutin melakukan stress test secara mandiri guna memastikan kekuatan tingkat permodalannya untuk mengukur kemampuannya dalam menyerap potensi penurunan kualitas kredit restrukturisasi.
“OJK senantiasa berupaya memperkuat mitigasi risiko secara berkelanjutan dalam menghadapi tantangan ke depan dengan melakukan peningkatan kualitas pengawasan yang diiringi penguatan regulasi. Dalam kaitan tersebut, berbagai upaya OJK dalam melakukan konsolidasi perbankan diharapkan dapat terus menjaga industri perbankan yang tetap tangguh dan memberikan kontribusi baik bagi perekonomian dan masyarakat. Konsolidasi Perbankan tersebut juga diperkuat dengan upaya peningkatan integritas sistem keuangan secara keseluruhan melalui penerbitan POJK No.17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola Bagi Bank Umum yang merupakan tindak lanjut dari amanat UU P2SK,” tambahnya.
Selan itu, kata Mahendra, dalam menjaga integritas sistem perbankan, OJK akan bertindak tegas serta bekerjasama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) & PPATK untuk menindak pihak-pihak yang memanfaatkan bank untuk tujuan-tujuan yang melawan hukum.[]
Baca Juga: Anak Muda Aceh Bergeliat di Pasar Modal