30.1 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Kisah Wapres Hatta Membujuk PDRI di Aceh

Sikap Aceh dinilai sangat penting untuk perundingan Indonesia dengan Belanda, Apalagi Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) saat itu berkantor di Aceh setelah wilayah lain dikuasai Belanda termasuk pusat pemerintahan Yogyakarta. 

Pada 5 Juni 1949, Wakil Presiden Muhammad Hatta bersama beberapa pejabat tiba di Banda Aceh, melakukan pertemuan dengan Ketua Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) Syafruddin Prawiranegara.

Mereka tiba di Banda Aceh dengan menumpang pesawat Dakota milik Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) yang dikenal sebagai United Nations Commission for Indonesia (UNCI) atau Komisi Jasa-Jasa Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia. Dalam misi itu PBB mengutus Komisi Tiga Negara untuk menyelesaikan konflik dan perang Indonesia dengan Belanda.

Saat itu ibu kota PDRI sudah dipindahan dari Bukittinggi ke Banda Aceh, dampak dari agresi militer Belanda. Selain itu Banda Aceh juga menjadi ibu kota Provinsi Sumatera Utara setelah dipindahkan dari Sibolga akibat gempuran Belanda.

Baca Juga:Bireuen Agreement Awal Mula Bireuen jadi Kota Juang

Sehari sebelum kedatangan rombongan Wakil Presiden Muhammad Hatta, rakyat Aceh sudah mengetahuinya melalui siaran radio Belanda di Jakarta. Ketika pesawat Dakota milik DK-PBB mendarat di lapangan terbang Blang Bintang (kini Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda) rakyat Aceh berduyun-duyung menyambutnya.

Di lapangan terbang Blang Bintang, Wakil Presiden Muhammad Hatta disambut oleh Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Jendral Mayor Tituler Teungku Muhammad Daod Beureu’eh, Gubernur Sumatera Utara MR SM Amin, Residen Aceh Tuanku Mahmud selaku ketua penyambutan, serta para pejabat sipil dan militer dan sekitar 10.000 rakyat Aceh.

Dari Blang Bintang rombongan melalui rute Puekan Seuneulop, Montasiek, Sibreh, Lambaro, Lueng Bata, baru masuk ke Banda Aceh menuju ke Meuligoe Keresidenan Aceh, di sana rombongan disambut oleh Residen Aceh TT Muhammad Daodsyah bersama para kepala jawatan, tokoh masyarakat dan alim ulama, serta perwakilan masyarakat.

Wakil Presiden Muhammad Hatta menegaskan bahwa, ia ke Banda Aceh karena pendapat dan keputusan PDRI harus didengar langsung, karena ia mempunyai wewenang selaku pemerintah, yang menjalankan pemerintah darurat, setelah ibu kota Republik Indonesia, Yogjakarta dikuasai Belanda sejak agresi militer 19 Desember 1948.

Baca Juga: Pesawat Seulawah RI 001 dan Kisah Jamuan Makan Soekarno

Saat itu bersama Wakil Presiden Muhammad Hatta ikut serta beberapa pejabat negara, antara lain: Dr Soekiman Wirjosandjojo, Mr Nazir Dt Pamontjak, MR Ali Sastroamidjojo, Muhammad Natsir, serta empat tokoh lainnya dari pusat.

Soekiman dan Muhammad Nasir merupakan dua tokoh Partai Masyumi, partai terbesar pada masa itu. Sementara MR Ali Sastroamidjojo merupaka tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI). Kemudian MR Nazir Dt Pamontjak tokoh yang berpengalaman dalam diplomasi luar negeri.

Tujuan utama kedatangan mereka ke Banda Aceh adalah untuk membujuk Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Syafruddin Prawiranegara agar bersedia dan mau menerima penyelesaian sengketa dengan Belanda lewat Konferensi Meja Bundar alias KMB.

Selain membujuk Syafruddin Prawiranegara, Wakil Presiden Muhammad Hatta juga berusaha meyakinkan para pejabat di Aceh dalam hal yang sama, karena sikap Aceh dinilai Hatta sangat penting sebab posisi dan peranan Aceh saat itu sebagai daerah modal perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Aceh satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak bisa dimasuki Belanda pada agresi kedua.

Wakil Presiden Muhammad Hatta menegaskan, banyak resolusi yang muncul dari Aceh untuk Pemerintah Pusat maupun untuk PDRI yang menolak perundingan dengan Belanda, kalau bukan atas dasar pengakuan kemerdekaan 100 persen.

Menyambut kedatangan Wakil Presiden Muhammad Hatta tersebut, malamnya digelar Rapat Samoedra yang dihadiri oleh sekitar 60.000 orang dari Banda Aceh, Aceh Besar dan sekitarnya.

Baca Juga: Jejak Atjeh Bioscoop Dalam Fragmen Sejarah

Pada hari yang sama, 5 Juni 1949, radio Belanda di Jakarta menyiarkan berita tentang kunjungan Wakil Presiden Muhammad Hatta dan rombongan ke Banda Aceh. Belanda menjelaskan, kunjungan Hatta ke Aceh untuk menjelaskan mengenai persetujuan yang baru tercapai antara Indonesia dengan Belanda dalam perundingan antara MR Mohammad Roem dari pihak Indonesia dengan Dr van Royen di pihak Belanda, kemudian dikenal dengan sebutan Perundingan Roem Royen.

Siaran Radio Belanda itu menyatakan bahwa, Pemerintah Republik Indonesia menganggap perundingan itu sangat penting, sehingga Wakil Presiden Muhammad Hatta langsung datang ke Banda Aceh, tempat kedudukan PDRI. Belanda juga mengakui, sebelumnya militer Belanda selalu mencari keberadaan PDRI tapi mereka tak mengetahui di mana kedudukannya.

Lebih jelas tentang itu bisa dibaca dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken yang ditulis oleh pelaku sejarah perjuangan kemerdekaan di Aceh Teuku Alibasjah Talsya. Buku ini diterbitkan oleh Lembaga Sejarah Aceh (LSA) atas bantuan Menter Koperasi saat itu Bustanil Arifin yang juga pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh.[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS