Teungku Syik Di Tunong, suami kedua Cut Meutia, yang menggelorakan peperangan di wilayah Keureutoe, Aceh Utara dan sekitarnya, bahkan hingga ke Simpang Ulim, Aceh Timur. Ia dieksekusi mati pada 5 Maret 1905 di Pantai Lhokseumawe.
Teungku Chik Di Tunong ditangkap saat hendak menuju Lhokseumawe oleh Letnan Van Vuuren. Ini siasat Belanda yang mengundangnya untuk suatu pertemuan soal gencatan senjata. Sebagai panglima bagi pasukannya, Teungku Chik Di Tunong datang memenuhi hajat damai Belanda itu. Tapi celakanya, itu tipu daya, ia ditangkap.
Beberapa tuduhan yang sudah disiapkan jauh-jauh hari pun dibacakan. Ada puluhan penyerangan terhadap patroli marsose Belanda yang dilakukan di wilayah kekuasaan Teungku Chik Di Tunong. Semua tak dibantah, karena memang ia berada di balik semua serangan tersebut.
Baca Juga: Kisah Syahidnya Teungku Di Cot Plieng
Pengadilan kolonial memutuskan, Teungku Chik Di Tunong dihukum mati. Caranya, dia akan digantung. Tapi, Belanda sendiri ragu dengan hukuman itu. Mereka belum pernah menerapkan hukuman seperti itu di Aceh. Ditambah lagi dengan kekaguman Belanda bagi perjuangan Teungku Chik Di Tunong. Keputusannya diubah oleh Gubernur Militer Van Daalen dari hukuman gantung menjadi hukuman tembak mati. Teungku Chik Di Tunong dinilai berhak mendapat kematian yang layak dan terhormat sebagai pejuang.
Penulis Belanda, HC Zentgraaff mengisahkan, salah satu penyeragan pasukan Teungku Chik Di Tunong yang menggemparkam Belanda terjadi pada 26 Januari 1905. Kala itu satu pasukan berisi 17 marsose Belanda yang dipimpin Vollaers melakukan patroli ke desa Meurandeh Paya. Saat istirahat di meunasah, mereka diserang pejuang Aceh. Vollaers sendiri mati mengenaskan bersama 15 pasukannya.
Hanya satu marsose yang selamat melarikan diri ke Lhokseumawe. Dan memang begitu tabiat pejuang Aceh, selalu menyisakan satu musuh yang trauma untuk memberi efek goncangan mental bagi pasukan lainnya. Maka, muncullah kisah-kisah marsose gila menembak pasukan dan komandannya. Ini ada di buku besar marsose Belanda.
Baca Juga: Perang Aceh dan Mistik Pawang Rimueng
Satu marsose yang selamat dari penyerangan Meurandeh Paya itu dengan susah payah tiba di Lhokseumawe. Butuh waktu lama bagi Belanda untuk menenangkannya, hingga kemudian bisa menceritakan peristiwa yang menimpa kawan-kawannya.
Dari Lhokseumawe Belanda mengutus pasukan marsose lain di bawah pimpinan Kapten Swart untuk menuju Meurandeh Paya. Tapi segalanya sudah terlambat, mereka hanya menemukan 16 jenazah yang tercincang dengan sabetan pedang yang mengerikan.
Darah-darah sudah mengering, senjata-senjata dan amunisi milik pasukan Vollaers sudah berpindah tangan ke pasukan Teungku Chik Di Tunong. Kapten Swart tak bisa berbuat banyak, selain mengumpulkan mayat-mayat itu dalam menguburkannya secara massal.
Itulah salah-satu peristiwa yang membuat Belanda begitu marah kepada Teungku Chik Di Tunong. Banyak lagi peristiwa-peristiwa lain sepanjang perjuangannya bersama Cut Meutia yang ditulis tinta emas sejarah. Bukan hanya oleh bangsanya sendiri, tapi juga oleh Belanda, musuh bubuyutannya.[]
Baca Juga: Kisah Belanda Membuat Sayembara Kepala Teuku Umar