Pada 15 Juni 1896, Perempuan Denmark, Nyonya Hansen ditawan oleh kelompok Teuku Umar di Reugaih, Aceh Barat. Dibebaskan setelah Belanda membayar tebusan 25.000 dolar.
Hansen merupakan kapten kapal Hoc Canton, penyelundup senjata ke Aceh dengan kedok pedagang rempah-rempah, ia mencoba menangkap Teuku Umar dengan imbalan 25.000 dolar dari Belanda. Tapi Hansen bersama kawannya masinis Robert Mc Gulloch dan Lanberker asal Jerman, mati ditembak Teuku Umar di atas kapal mereka sendiri.
Sementara masinis kapal kedua John Fay bersama istri Hansen dan enam awak kapal ditahan. Inilah awal mula kisah perempuan Denmark itu menjadi tahanan perang Teuku Umar. Kisah nyonya Hansen yang ditawan Teuku Umar itu kemudian ditulis oleh Redaktur surat kabar Java Bode yang terbit di Batavia, HC Zentgraaf dalam buku Atjeh. Ia mengungkapkan peristiwa itu terjadi pada 15 Juni 1896.
Nyonya Hansen dan kawan-kawannya ditahan di Reugaih, Aceh Barat. Pemerintah Kolonial Belanda di Aceh mengerahkan pasukannya ke Reugaih untuk melakukan pembebasan. Armada Belanda yang dipimpin Jenderal Van Teijn berangkat dari Kutaraja menuju Aceh Barat.
Baca Juga: Jejak Atjeh Bioscoop Dalam Fragmen Sejarah
Jenderal Van Teijn mengultimatum Teuku Umar, Reugaih akan dibumihanguskan jika Nonya Hansen dan awak kapal Hoc Canton tidak dibebaskan. Tapi Teuku Umar tidak gentar, ia balik mengultimatum Jenderal Van Teijn, jika Reugaih diserang maka Nyonya Hansen dan awal kapal Hoc Canton akan dibunuh.
Inilah yang tidak diinginkan Jenderal Van Teijn dan pemerintah Kolonial Belanda, jika perempuan Denmark itu mati, masalahnya akan lebih rumit. Belanda akan dikecam luar dalam, terutama dari Inggris. Masalah itu juga sudah menjadi pembicaraan di Eropa, setelah surat kabar Penang Gazatte di Semenanjung Melayu memberitakannya. Bahkan organisasi perdagangan Penang Association di Malaysia menilai Belanda tidak bisa mengendalikan situasi di Aceh.
Tak ingin masalah itu menjadi lebih rumit, maka Jenderal Van Teijn memerintahkan armada perangnya untuk kembali ke Kutaraja. Selanjutnya, penyelesaian secara diplomasi dilakukan. Teuku Umar meminta bayaran 40.000 dolar, tapi Belanda menyanggupinya 25.000 dolar, setara dengan nilai hadiah sayembara penangkapan Teuku Umar yang diinginkan Hansen.
Teuku Umar benar-benar mendapat bayaran atas nilai sayembara kepalanya sendiri. Uang tebusan itu diserahkan kepada Teuku Umar pada September 1896. Tiga bulan setelah upaya penangkapan dan pembunuhannya dirancang oleh Hansen atas sayembara dari Belanda. Nyonya Hansen dan John Fay bersama para awak kapal Hoc Canton kemudian dibebaskan. Mereka sampai di Kutaraja pada 6 Oktober 1896.
Baca Juga: Awal Mula Hubungan Militer Aceh Dengan Turki
Menariknya, selama tiga bulan ditahan Teuku Umar, Nyonya Hansen sudah bisa berbahasa Aceh. Perempuan Denmark itu mengaku diperlakukan sangat baik oleh Teuku Umar. Selama menjadi tawanan perang, Nyonya Hansen dititip Teuku Umar di rumah Teungku Haji Darwis Reugaih. Sementara untuk mediasi pembebasan para tawanan perang itu, Teku Umar menunjuk Nyak Pirang, tokoh masyarakat Reugaih.
Setelah dibebaskan, Nyonya Hansen bercerita kepada Chirstiaansen, seorang perempuan yang juga berkebangsaan Denmark. Sesama orang Denmark, Nyonya Hansen berbicara apa adanya. Ia mengaku selama dalam tawanan diawasi dan dijaga sangat ketat oleh orang kepercayaan Teuku Umar. Meski demikian, ia mengaku diperlakukan sangat baik.
Nyonya Hansen hanya mengalami luka kecil saat suaminya mencoba menangkap Teuku Umar di kapal Hoc Canton. Meski demikian, kepada Chirstiaansen ia mengaku sangat sedih atas kematian suaminya itu.[]