Presiden Soekarno “ngambek” menolak makan di Aceh jika tokoh masyarakat Aceh tidak membelikan pesawat untuk kebutuhan diplomasi Republik Indonesia.
Usai memberikan kuliah umum dan pidato politiknya kepada kaum perempuan Aceh di Atjeh Bioskop pada 16 Juni 1948, pukul 14.00 siang Presiden Sokerno dijamu makan di Aula Atjeh Hotel di sisi selatan Masjid Raya Baiturrahman oleh Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (Gasida).
Dalam pertemuan itu Presiden Soekarno meminta rakyat Aceh untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia, karena Aceh sebagai satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak bisa dimasuki oleh tentara Sekutu/NICA pada agresi kedua, merupakan modal untuk mempertahankan Republik Indonesia. Soekarno meminta kepada tokoh masyarakat Aceh untuk memberikan dukungan moril maupun materil.
Sebelum makan malam Presiden Soekarno meminta kepada masyarakat Aceh untuk membeli sebuah pesawat terbang untuk kebutuhan perjuangan kemerdekaan. Soekarno menolak makan jika keinginannya itu tidak dipenuhi. “Saya tidak makan malam ini, kalau dana untuk itu belum terkumpul.”
Baca Juga: Kisah Rapat Samoedra di Esplanade Koetaraja
AK Jakobi dalam buku Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, pada halaman 277 mengungkapkan, menghadapi sikap Soekarno itu, para saudagar dan tokoh masyarakat Aceh saling melirik, siapa yang harus memulai.
Tanggapan pertama ternyata datang dari Ketua Gasida, Muhammad Djuned Joeseof. Demi Soekarno mau makan malam dalam jamuan itu, para saudagar Aceh dalam waktu itu juga berhasil mengumpulkan dana 12.000 dolar dan 20 kilogram emas. Cukup untuk membeli dua pesawat terbang jenis Dakota. Dalam sumbangan itu sudah termasuk sumbangan dari Residen Aceh Teuku Muhammad Daudsyah dan Wakil Residen Aceh Teuku Muhammad Ali Panglima Polem.
Tapi dari jumlah dana yang terkumpul itu pemerintah hanya membeli satu pesawat. Presiden Soekarno menamai pesawat itu “Seulawah RI-001” nama sebuah gunung antara Kabupaten Pidie dan Aceh Besar. Nama Seulawah ditebalkan pada pesawat itu sebagai penghormatan kepada sumbangan masyarakat Aceh.
Sisa dana itu kemudian digunakan untuk membiayai diplomasi para wakil Indonesia di luar negeri, diantaranya duta Indonesia di Singapura, Penang, India, Manila, perwakilan Indonesia di PBB, membiayai perjalanan H Agus Salim ke Timur Tengah, serta untuk biaya para wakil Indonesia yang mengikuti konferensi Asia di New Delhi, India.
Presiden Soekarno juga menyampaikan pidato singkat di hadapan saudagar dan pejabat Aceh. Ia menegaskan bahwa saudagar-saudagar sebagai tonggak ekonomi bangsa, karena itu diminta untuk membantu usaha dan rancangan Pemerintah Pusat dalam pembangunan ekonomi.
Baca Juga: Jejak Atjeh Bioscoop Dalam Fragmen Sejarah
Isi pidato Seokarno itu bisa dibaca dalam buku Modal Perjuangan Kemerdekaan yang ditulis Teuku Alibasjah Talsya pada halaman 337-338, sebagian dari pidato itu seperti kutipan di bawah ini:
“…Alangkah baiknya apa bila kaum saudagar berusaha menyelenggarakan perhubungan-perhubungan antara satu pulau dengan pulau yang lain, antara satu daerah dengan daerah yang lain, karena hal ini terasa oleh saya dalam perjalanan ini betapa sukarnya perhubungan itu.
Antara satu kota dengan kota yang lain saja, sudah diceraikan oleh rimba raya yang memisahkan kota-kota tersebut dengan jarak beratus-ratus kilometer. Sebab itu saya anjurkan, sebelum kita memperkuat dan memperbaiki jalan-jalan mobil dan kereta api, ataupun perhubungan di laut, sekarang kita usahakan membuka hubunga lalu-lintas di udara.
Di sini saya anjurkan supaya kaum saudagar akan membeli kapal udara, sebaiknya Dakota, dan saya tidak berkeberatan tuan-tuan akan memberikan namanya sendiri untuk pesawat terbang tersebut, di daerah-daerah yang saya kunjungi, telah disanggupi oleh daerah tersebut untuk membeli kapal terbang untuk daerahnya. Kapal terbang itu dapat dipergunakan oleh saudagar-saudagar guna keperluannya juga.
Yang sebaik-baiknya seluruh daerah mengumpulkan uang dan sekaligus membeli pesawat-pesawat tersebut dari Amerika, yaitu pesawat-pesawat baru dan terjamin, yang mana pembelian ini akan dilakukan oleh Pemerintah Pusat sendiri yang mempunyai ahli-ahlinya yang cukup, supaya kita jangan terkicuh dan mendapat barang yang usang, afgekeurd, yang semestinya sudah masuk ke kuburan pesawat-pesawat udara. Satu Dakota harganya hanya 25 kilogram emas…”
Meski dalam pidatonya itu Soekarno menyatakan bahwa daerah-daerah lain telah menyanggupi untuk membelikan pesawat, sejarah kemudian mencatat bahwa hanya Aceh yang benar-benar membeli pesawat udara untuk pemerintah pusat. Sesuai janji Presiden Soekarno rakyat Aceh diberi hak untuk memberi nama pesawat terbang yang dibeli tersebut. Maka dinamailah pesawat Dakota itu Seulawah RI 001. []