Pada 25 Agustus 1945 untuk pertama kalinya kapal perang Sekutu berlabuh di Pelabuhan Pulau Weh, Sabang. Wakil Adminar Jepang Hirose bersama stafnya naik ke kapal tersebut menandatangani penyerahan Pulau Weh kepada Sekutu.
Dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan yang ditulis T Alibsjah Talsya dijelaskan, usai penandatanganan, Hirose turun dari kapal diiringi sepasukan tentara dari angkatan laut Inggris. Sejak hari itu bendera Inggris dan bendera Belanda dikibarkan di Sabang. Angkatan laut Inggris siaga melakukan ronda dan pegawasan di sekitar pelabuhan. Saat penyerahan Pulau Weh dari Jepang kepada Sekutu tersebut, kekuatan tentara Jepang di Sabang ada sekitar 10.000 tentara.
Pada hari yang sama di Banda Aceh di kantor Gunseibu dilakukan rapat umum oleh para pembesar Jepang atas perintah S Iino selaku Kepala Pemerintahan Jepang di Aceh (Aceh Syu Chokang). Rapat yang juga dihadiri oleh kalangan pegawai pribumi itu berlangsung hening. Para pegawai pribumi semuanya berdiam diri, sementara para pembesar dan pejabat Jepang tidak lagi menampakkan wajah keras dan sangar seperti hari-hari sebelummya.
Baca Juga: Kisah Pemuda Revolusioner Membentuk IPI di Redaksi Atjeh Sinbun
S Iino selaku Chokang bertindak sebagai pembicara tunggal mengumumkan bahwa “Peperangan sudah selesai dan sekarang sudah diadakan peletakan senjata secara damai antara Nipon (Jepang) di satu pihak dan Sekutu di pihak lainnya.”
Namun dalam rapat tersebut S Iino sama sekali tidak menyebutkan tentang kekalahan Jepang. Ia hanya mengatakan, “Jepang akan menyerahkan kembali daerah-daerah yang pernah ditaklukkannya kepada pemerintah semula, karena telah diperoleh permufakatan antara pucuk pimpinan tertinggi pihak-pihak yang berperang, bahwa Kerajaan Jepang sekarang hanyalah meliputi wilayah asalnya saja.”
Di hadapan para pembesar Jepang yang hadir, dengan suara serak diiringi linangan air mata, S Iino melanjutkan. “Nipon sebetulnya sanggup berperang puluhan tahun lagi, tetapi karena Tenno Heika sayang kepada rakyat supaya tidak terus menerus menjadi korban, maka peperangan dihentikan.”
Baca Juga: Radio Rimba Raya Dalam Balutan Sejarah
Setelah penyerahan kedaulatan Jepang kepada Sekutu itu, tentara-tentara Belanda dari kalangan pribumi yang ditugaskan di Aceh dalam barisan tentara Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL) yang ditangkap dan dipenjara di kamp-kamp konsentrasi masa pendudukan Jepang dibebaskan kembali. Diantara bekas-bekas tentara KNIL di Aceh itu berasal dari suku Ambon, Manado, Jawa, dan Madura.
Surat kabar Atjeh Sinbun yang telah dihentikan penerbitannya oleh Pemerintah Jepang, kantornya tetap dibuka dan dijadikan sebagai pusat informasi bagi rakyat Aceh. Mereka yang mengelola Redaksi Atjeh Sinbun waktu itu adalah Ali Hasjmy selaku Pemimpin Redaksi, bersama para redaktur yang terdiri dari Abdullah Arif, T Alibasjah Talsya, AG Mutyara, Ibnu Rasyid, Abdul Manaf dan T Usman Basyah.
Kantor redaksi Atjeh Sinbun yang sebelumnya merupakan surat kabar propaganda Jepang di Banda Aceh, kini berubah menjadi markas pejuang kemerdekaan. Mereka mencetak buletin-buletin dan selebaran yang diserbarkan secara rahasia ke seluruh daerah Aceh.
Baca Juga: Kematian Paling Romantis Dalam Perang Aceh
Setelah Jepang menyerah kalah pada Sekutu, kini rakyat Aceh dihadapkan pada perjuangan baru, berjuang menolak masuknya kembali Belanda ke Aceh yang memboncengi tentara sekutu. Hal ini berhasil dilakukan pejuang Aceh, sehingga Aceh menjadi daerah satu-satunya di Indonesia yang tidak berhasil dimasuki Belanda pada agresi kedua.
Karena itu pula Aceh disebut Presiden Soekarno sebagai daerah modal, karena ketika Konferensi Meja Bundar (KMB) digelar di Den Haag Belanda pada 23 Agustus hingga 2 September 1949, Pemerintah Kolonial Belanda menyebutkan Indonesia tidak punya wilayah, karena semua daerah telah diduduki kembali oleh Belanda setelah agresi kedua. Perwakilan Indonesia menggelar peta dan menunjuk Aceh. Belanda tak bergeming, karena Aceh memang tidak pernah bisa ditaklukkan oleh Belanda.[]
Baca Juga: Keuchik Maha dan Kisah Pembunuhan Para Cuak