Kapten J Paris merupakan salah satu perwira Belanda yang fasih berbahasa Aceh. Ia tewas dalam pertempuran jarak dekat dengan pasukan Cut Ali di Bakongan, Aceh Selatan pada 3 April 1926.
Dalam pertempuran tersebut, Kapten Paris tidak mati sendiri, bersamanya juga tewas dua orang kadet dan tiga orang marsose, sementara sisanya 12 orang marsose luka parah. Kisah kematian Kapten Paris ini dicertakan oleh Tjoetje, mantan pegawai Bestuur Meulaboh, Aceh Barat.
Tjoetje dalam buku Peutjut Kerkhoff Mengungkap Tabir Kepahlawanan Rakyat Aceh menceritakan, berbeda dengan para opsir dan perwira Belanda lainnya yang tewas di Aceh, yang dikuburkan di Kerkhof Peucut, jenazah Kapten Paris dari Bakongan dibawa ke Kutaraja lalu ke Sabang dan dengan kapal Samoedra dibawa pulang ke Inggris atas permintaan istrinya dan dikuburkan di Kota Hastings di selatan Inggris.
Baca Juga: 500 Pemuda Bireuen Bentuk Pasukan Siap Sedia
Pada kuburan Kapten Paris diukir dua kepingan suratan. Satu dalam bahasa Inggris dari istrinya, satu lagi dalam Bahasa Belanda dari tiga komandan marsose di tiga bivak, yakni Komandan bivak Jeuram, komandan bivak Lamie, dan komandan bivak Kuala Bhee. Ketiga bivak ini tunduk kepada Divisi Marsose I Meulaboh tempat Kapten Paris pernah menjadi komandannya.
Tentang kisah kematian Kapten Paris, Tjotje menulis. Pertempuran jarak dekat antara pasukan Kapten Paris dengan pasukan pejuang Aceh yang dipimpin Cut Ali itu terjadi di Gampong Sapek, Bakongan, Aceh Selatan.
Cut Ali merupakan pemimpin gerilyawan perang Aceh di bagian barat selatan yang sangat membuat Belanda kerepotan. Mereka sering menyerang patroli Belanda secara tiba-tiba, kemudian meninggalkan jenazah tentara Belanda begitu saja dan membawa lari senjata-senjatanya. Karena itu pula Belanda menjuluki kelompok Cut Ali ini dengan sebutan “de jahat” di Bakongan.
Baca Juga: Sejarah Sekutu NICA Menguasai Sabang
Kelompok Cut Ali pula yang membuat Kapten Paris tewas. Ia dibacok dengan kelewang oleh pejuang Aceh. Kelewang merupakan pedang khas Aceh yang sangat tajam. Pedang-pedang tersebut menyerupai pedang-pedang Turki yang banyak dipasok ke Aceh pada masa lalu ketika perang mengusir Portugis di Selat Malaka.
Tebasan pertama kelewang Aceh itu mengenai lengan Kapten Paris. Oleh Belanda ini disebut sebagai eerster houw atau bacokan kelewang yang pertama. Sementara tebasan selanjutnya disebut houw bovenop yakni tebasan puncak dari leher membelah rongga dada.
Pejuang Aceh sangat lihat dalam perang jarak dekat, tebasan houw bovenop sebagaimana diakui oleh mantan marsose HC Zentgraaff dalam buku Atjeh, sangat ditakuti oleh Belanda. Bacokan how bovenop ini pula yang menyebabkan Kapten Paris mati.
Baca Juga: Mantan Gyugun Aceh Membentuk Angkatan Bersenjata
Bacokan pertama mengania lengan Kapten Paris, selanjutnya bacokan kedua tepat di tengkuknya. Bacokan kedua inilah yang menyebabkan Kapten Paris hoyong dan jatuh tak berdaya. Sebelumnya, Kapten Paris yang sering selamat dalam beberapa pertempuran, diisukan memiliki ilmu kebal. Namun hal itu dibantah oleh Kolonel Du Croo dan Scmidt dalam buku Generaal Swart, Pacipicator Van Atjeh.
Bantahan yang sama juga ditulis HC Zentgraaff dalam buku Atjeh, serta dalam buku Peringatan 50 Tahun Marsose Aceh yang ditulis oleh panitia khusus yang dipimpin Redactuerschap Mayor P Doup.[]
Baca Juga: Kisah Pemuda Revolusioner Membentuk IPI
Sebaiknya penulis kroscek lagi tentang Tentang tewasnya Kapten Paris. Faktanya bukan tulisan penjajah, tapi pusara sang Syuhada yg membunuh kapten yg KEBAL INTAN itu. Alamatnya, Gampung Sapik,kecamatan Kluet Timur Kab.Aceh Selatan,prov.Aceh. atau “Sejarah tewasnya Kapten Paris di Padang Kelulum” di you tube.