25.2 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Keuchik Maha dan Kisah Pembunuhan Para Cuak

Tak terhitung jumlah mata-mata (cuak) yang mati selama perang Aceh dengan Belanda berlangsung. Dan, kematian mereka sungguh sangat tragis. Khusus di Tangse, Pidie, saja, Belanda mencatat 20 cuak mati disembelih pejuang Aceh dalam setahun.

Penulis Belanda HC Zentgraaff mencatat beberapa kisah pembunuhan mata-mata Belanda itu dalam buku Atjeh. Ia yang bekerja sebagai Redaktur surat kabar Java Bode yang terbit di Batavia kala itu menulis peristiwa pembunuhan cuak itu seperti terjadi di desa Pulo Kawa, ada seorang mata-mata Belanda bernama Banta. Pada malam hari dalam bulan Juli 1910, Keuchik Maha dan pengikutnya datang mencari Banta. Pencarian pertama dilakukan ke rumah istri tua Banta.

Keuchik Maha yang bertubuh kekar dan besar itu, bertanya pada istri tua Banta. “Mana suamimu?” Perempuan itu menjawab “Dia tidak ada di sini.” Keuchik Maha memeriksa seisi rumah, Banta memang tidak ada. Ia kemudian duduk di sebuah kursi. “Cuci kaki saya,” perintahnya pada istri pertama Banta.

Baca Juga: Sejarah Pertama Kali Bendera Merah Putih Dikibarkan Secara Resmi di Aceh

Perempuan itu bangkit mengambil pasu berisi air, mencuci kaki Keuchik Maha, dan mengambil selembar kain untuk pengelap. Tapi ketika perempuan itu hendak melap kaki, Keuchik Maha berkata lagi. “Keringkan dengan rambutmu!”

Perempuan itu mengurai rambut panjangnya dan menyapu kaki Keuchik Maha. Ketika kakinya sudah kering, Keuchik Maha mengambil rencong di pinggangnya, menusuk mata perempuan tersebut. Ia menjerit kesakitan, pengikut Keuchik Maha masuk dan mencincang tubuh perempuan itu hingga mati. Begitulah Keuchik Maha memperlakukan keluarga cuak, pengkhianat terhadap perjuangan dan tanah airnya.

Dari rumah itu kemudian Keuchik Maha dan pengikutnya menuju rumah istri muda Banta, si mata-mata Belanda itu juga akan dihabisi. Kali ini Keuchik Maha berpura-pura sebagai pasukan kompeni Belanda. Ia memanggil Banta dengan bahasa Melayu. “Agam turun.”

Baca Juga: Kisah Teungku Chik di Tunong Dieksekusi Belanda

Dalam keadaan gelap malam, Banta membuka pintu menuruni tangga ke halaman. Saat masih di tangga, kakinya dipukul dengan popor senapan. Tubuh Banta terguling jatuh ke tanah. Tubuhnya ditusuk rencong dan dicincang dengan kelewang, pedang panjang khas Aceh. Mula-mula kedua tangannya dipotong, kemudian kedua kakinya, setelah itu kepalanya juga disembelih, dipisahkan dari tubuhnya.

Potongan tubuh Banta si mata-mata Belanda itu disebarkan ke mana-mana. Pagi hari, setelah mendapat informasi tentang pembunuhan Banta, pasukan marsose Belanda datang ke sana, mengumpulkan kembali bagian-bagian tubuh Banta yang berserakan.

Malam itu bukan hanya Banta dan istrinya yang disembelih, tapi juga Keuchik Pulo Seunong dan istrinya. Jasad mereka juga dimutilasi. Zentgraaff menyebutkan, ketika pasukan marsose sampai ke sana, dan mengumpulkan kembali potongan-potongan tubuh yang berserakan itu, hal itu sebagai suatu pemandangan yang sangat memualkan. “Para marsose bersumpah untuk menuntut balas terhadap Keuchik Maha,” tulis Zentgraaff.

Di dekat potongan mayat Banta dan istrinya, komandan pasukan marsose bersumpah, bahwa Keuchik Maha juga akan dibuat mati seperti itu. Lalu pengejaran dan pemburuan terhadap Keuchik Maha dan pasukannya dilakukan marsose. Keuchik Maha menjadi buruan nomor wahid di Tangse.

Baca Juga: Kisah Syahidnya Teungku di Cot Plieng

Bagi Pemerintah Kolonial Belanda di Pidie, kekejaman Keuchik Maha terhadap informan Belanda (cuak) itu, telah membuat Belanda susah mendapat informan baru. Setiap ada informan baru, Keuchik Maha pasti mengetahuinya, karena Keuchik Maha juga punya mata-mata untuk menyelidiki siapa saja warga yang sudah berkhianat dengan menjadi informan Belanda.

Menurut Zentgraaff, mudahnya Keuchik Maha mendeteksi setiap informan Belanda di Pidie adalah, akibat dari keteledoran informan itu sendiri, yang tidak mampu menyembunyikan banyaknya imbalan yang diterimanya dari Belanda.

“Karena kelalaiannya sendiri kerja sama ini bocor sedikit. Biasanya para mata-mata kita (Belanda-red) tidak bisa menutup rahasia, dan royal dengan uang yang diterimanya dari Kompeni. Dan hal ini segera pula diketahui oleh penduduk sebuah kampung, di mana setiap orang tahu apa yang dimiliki oleh orang lain,” ungkap Zentgraaff.

Setahun setelah peristiwa pembunuhan mata-mata Belanda di Pulo Seunong itu. Pasukan marsose Belanda mendapat kabar, Keuchik Maha yang tak ditemukan saat diburu hingga ke relung hutan, kini akan pulang ke Pulo Seunong ke rumah istrinya.

Baca Juga: Perang Aceh dan Mistik Pawang Rimueng

Mendapat kabar itu, Belanda menyiapkan dua pasukan infrantri. Dan pada Maret 1911, Keuchik Maha dan pasukannya benar-benar turun ke Pulo Seunong. Sekitar pukul lima sore ia muncul di tepi hutan. Ia memperhatikan gerak-geraik pasukan infantri yang dipimpin Sersan Van Dongelen.

Hanya dalam hitungan menit saja, berlangsunglah perang sengit. Pasukan Keuchik Maha dikepung oleh dua pasukan infantri. Dan, dalam perang yang sangat tidak berimbang itu, Keuchik Maha tewas bersama pasukannya.

Dalam laporan resmi pasukan marsose Belanda tanggal 24 Maret 1911 ditulis. “Sebuah tembakan yang tepat dari sersan Ambon Van Dongelen, gugurlah kepala gerombolan yang terkenal kejam dan sudah lama dicari itu.”[]

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS