BANDA ACEH | ACEH INFO – Ketua Badan Legislasi (Banleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Mawardi, meminta Pemerintah Pusat untuk menghormati kewenangan Aceh. Terlebih kewenangan tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
“Kewenangan Pusat sudah ditetapkan dan kewenangan Aceh juga sudah dijelaskan dalam UU No.11/2006. Semestinya kita menghormati ketentuan yang sudah kita buat, apalagi berkenaan dengan pengelolaan sumber daya alam, bahwa Pemerintah Aceh memiliki kewenangan khusus dalam hal pengelolaan mineral dan batu bara,” kata Mawardi atau akrab disapa Teungku Adek, Rabu, 12 Oktober 2022.
Permintaan tersebut disampaikan Teungku Adek tersebut setelah keluarnya kebijakan Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahli Lahadalia, yang mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Linge Mineral Resources nomor 20220405-01-92695 tanggal 5 April 2022. Menteri Bahli kemudian secara sepihak dan berpotensi digugat sebagai perbuatan melawan hukum lantaran mengaktifkan kembali IUP PT LMR dengan mengeluarkan SK nomor 202220829-08-01-0043 tertanggal 30 Agustus 2022, tanpa mempertimbangkan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Padahal, menurut Teungku Adek, kewenangan untuk mencabut dan membatalkan IUP ada di tangan Pemerintah Aceh.
Baca: Menteri Bahlil Lahadalia Diduga Kangkangi UUPA Terkait IUP PT Linge
“Semestinya, pak Bahlil menunjukkan intelektualitas kepemimpinannya, sehingga kita dapat belajar dari kepemimpinan elit pusat yang menghargai kewenangan Aceh. Namun, kita pahami juga bahwa banyak kepentingan harus dijalankan, maka kita minta untuk segera koreksi dan jangan mengulanginya lagi kedepan,” kata Teungku Adek.
Dia menduga apa yang dilakukan Menteri Bahlil berkaitan dengan kepentingan pemilik modal sehingga mempengaruhi kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Sayangnya kebijakan tersebut justru menciderai kewenangan Aceh seperti yang telah diatur dalam UU No.11 Tahun 2006 atau kerap disebut UUPA.
“UUPA ini kan sudah berjalan selama 16 tahun, semestinya semua pejabat Pusat (Jakarta-red) memahami substansi Undang-Undang yang menjadi titik temu antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut sehingga menyudahi konflik selama 35 tahun di Tanoh Rencong,” tambah Teungku Adek.
UUPA juga menjadi acuan penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dengan pembagian kewenangan serta segala kekhususannya. “Inilah titik temu dan pola relasi tata kelola pemerintah yang semestinya kita jalankan. Jangan coba-coba melanggar komitmen bersama di Helsinki yang sudah disepakati,” tegas Teungku Adek.
Sebagai Ketua Banleg, tambah Teungku Adek, pihaknya perlu mengevaluasi semua aturan yang sudah disahkan terutama Qanun, Peraturan Pemerintah (PP), dan bahkan Peraturan Presiden (Perpres), sepanjang aturan-aturan tersebut memiliki korelasi dengan kewenangan Aceh atau sebaliknya. Menurut Teungku Adek, evaluasi tersebut juga diperlukan agar antar regulasi yang ada tidak saling melemahkan atau jauh dari imajinasi politik pembangunan kesejahteraan dan kemakmuran Aceh.
“Kami sadari bahwa DPR Aceh menjadi lokomotif politik yang dapat mempengaruhi arah kebijakan pembangunan Aceh. Kami akan menjalankan fungsi legislasi demi menemukan kembali kerangka pembangunan Aceh yang tidak lepas dari nilai-nilai dan agenda perjuangan kemakmuran Aceh,” kata Teungku Adek lagi.
Anggota Fraksi Partai Aceh ini meminta secara tegas agar Menteri Investasi/Kepala BPM untuk mencabut kembali dan membatalkan SK nomor 202220829-08-01-0043 tertanggal 30 Agustus 2022.
“Selanjutnya, kami mendukung langkah Kadis ESDM untuk menjaga kewenangan yang dimiliki Aceh dalam hal pengelolaan sumber daya mineral. Kita harus kerja keras untuk memberi pemahaman pada pemimpin pemerintah pusat atas kewenangan yang dimiliki Aceh,” tegas Mawardi.[]
EDITOR: BOY NASHRUDDIN AGUS