26.2 C
Banda Aceh
spot_img
spot_img

TERKINI

Keluarga Korban Simpang KKA Sebut  Penyelesaian Pelanggaran HAM Masih Gelap

LHOKSUKON | ACEH INFO – Keluarga korban menyebut tragedi Simpang KKA masih menyisakan trauma yang berat bagi korban meskipu peristiwa tersebut terjadi pada 23 tahun lalu.

Hal itu disampaikan keluarga korban tragedi Simpang KKA yang tergabung dalam Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA dalam doa bersama dan ziarah pada Selasa, 3 Mei 2022. Kegiatan tersebut dihelat bersama sejumlah lembaga lainnya di Aceh.

“Tentunya kejadian itu masih menyisakan trauma yang berat bagi kami, hari ini bertepatan dengan 23 tahun persitiwa itu, maka menggelar doa bersama dan berziarah ke kuburan korban tragedi Simpang KKA,” ujar Koordinator Forum Komunikasi Korban dan Keluarga Korban Tragedi Simpang KKA (FK3T-SP.KKA), Murtala, Selasa, 3 Mei 2022.

Menurut Murtala mengenang peristiwa Simpang KKA merupakan hal penting, karena untuk melawan lupa sekaligus menggambarkan sikap pemerintah yang terus ingkar untuk memenuhi keadilan bagi korban dan keluarga korban.

Kondisi tersebut menurutnya telah meninggalkan luka traumatis yang mendalam pada diri korban dan semakin mempertebal rasa ketidakpercayaan korban terhadap pemerintah, akibat tidak adanya penuntasan kasus.

“Perlu diingat, pada 26 Juni 2016 lalu, Komnas HAM telah selesai melakukan penyelidikan projustisia dan menyatakan adanya dugaan pelanggaran HAM berat. Namun sayangnya, Kejaksaan Agung sampai detik ini belum membentuk tim penyelidikan,” tutur Murtala.

Padahal pada saat kampanye Pilpres tahun 2014, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas. Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita.

Menurut Murtala salah satu poin penting dalam prioritas Nawa Cita adalah Joko Widodo berjanji akan menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

“Saya selaku korban sekaligus Koordinator FK3T-SP.KKA menilai, arah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di tangan rezim Presiden Jokowi sama sekali tidak jelas dan cenderung gelap,” kata Murtala.

Tragedi Simpang KKA juga dikenal dengan nama Insiden Dewantara, terjadi kala konflik berkecamuk di Aceh. Dalam peristiwa tersebut, sejumlah aparat keamanan menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa, yang merupakan buntut penganiayaan terhadap warga pada 30 Maret 1999 di Cot Murong, Lhokseumawe.

Dilansir dari berbagai sumber menyebutkan, tragedi Simpang KKA imbas dari hilangnya anggota TNI dari Kesatuan Den Rudal 001/Pulo Rungkom pada 30 April 1999. Prajurit tersebut diduga menyusup ke acara peringatan 1 Muharram yang sedang diadakan warga Cot Murong. Dugaan ini diperkuat oleh kesaksian warga yang saat itu sedang mempersiapkan ceramah.

Hilangnya anggota TNI ini membuat Detasemen Rudal menggelar operasi pencarian skala besar dengan melibatkan berbagai satuan, termasuk Brimob. Operasi tersebut berujung pada penangkapan sekitar 20 orang warga yang diduga mendapat siksaan berat. Mereka dipukuli, ditendang bahkan diancam bunuh oleh aparat.

Warga yang mengetahui hal itu belakangan mengirimkan utusan untuk bernegosiasi. Sang komandan yang menerima utusan warga berjanji untuk tidak mengulangi lagi kejadian serupa. Namun, janji itu tidak ditepati.

Satu truk tentara bahkan memasuki Desa Cot Murong dan Lancang Barat pada 3 Mei 1999, yang kemudian diusir oleh warga. Kedangan tentara itu, membuat warga marah karena menganggap Kesatuan Den Rudal tidak menepati janji. Warga pun menggelar unjuk rasa dan menuntut janji kepada komandan TNI.

Para pengunjuk rasa kemudian memusatkan aksinya di persimpangan KKA, Krueng Geukueh. Lokasinya tak jauh dari markas Korem 011. Warga sempat mengirimkan utusan untuk menemui komandan TNI di sana. Namun, di sela-sela diskusi berlangsung, jumlah tentara yang mengamankan aksi kian bertambah.

Suasana menjadi panas sehingga berakhir dengan kerusuhan. Warga melempari batu ke markas Korem 011 dan membakar dua unit sepeda motor. Belakangan Korem 011 mendapat bantuan pasukan dari Detasemen Rudal 001/Lilawangsa dan Yonif 113/Jaya Sakti yang menjaga Artileri Pertahanan Udara (Arhanud). Para tentara yang baru datang itu menembaki massa.

Peristiwa yang terjadi tepat pada 3 Mei 1999 itu mengakibatkan 46 warga sipil meninggal dunia, 156 mengalami luka tembak dan 10 orang hilang. Tujuh dari korban tewas merupakan anak-anak.[]

PEWARTA: MUHAMMAD AGAM KHALILULLAH
EDITOR: BOY NASHRUDDIN AGUS

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS