Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA) Jamaluddin menekankan pentingnya keihklasan dalam bekerja. Ia mengutip konsep Mahabbatullah sufi Rabiah al-Adawiyah. Baginya BRA bukanlah kapal yang ditambat di dermaga, karena sejatinya kapal dibuat untuk menerjang lautan memecah gelombang.
Tamsilan itu disampaikan Jamaluddin dalam sambutannya pada acara buka puasa bersama BRA, Sabtu, 15 Maret 2025. Sebagai “Kapten” Jamaluddin tidak mau BRA menjadi lembaga yang statis, ia mengajak untuk sama-sama bergerak, sehingga BRA bisa menyelesaikan berbagai persoalan reintegrasi sebagaimana dimanatkan dalam kesepahaman bersama Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.
“Kalau diibarakan sebagai kapal, BRA bukanlah kapal yang dibuat untuk ditambat di dermaga, bukan pajangan, karena sejatinya kapal dibuat untuk membelah ombak dan mengarungi lautan. Ombak itu bisa jadi merupakan berbagai persoalan yang masih mengganjal yang belum terselesaikan terkait reintegrasi itu sendiri,” ujar Jamaluddin.
Jamaluddin mengajak untuk sama-sama bergerak dalam merawat dan menjaga perdamaian Aceh yang sudah berjalan selama dua dekade. Sebagai “Kapten” ia ingin membawa BRA terasa keberadaannya dalam menyelesaikan berbagai pesoalan reintegrasi Aceh.
“Sejauh mana kita mampu berlayar untuk menjawab berbagai persolan terkait pemenuhan hak-hak anak bangsa, korban konflik, tapol/napol dan sebagainya. Untuk itu tentu saja butuh ketulusan hati dan keihklasan kita bersama dalam bekerja di lembaga ini,” tegas Jamaluddin.
Baca Juga: Sunnyl Mualem Ditunjuk Sebagai Ketua Tim Pemenangan Said Rizqi Saifan Caketum HIPMI Aceh
Terkait keihklasan, Jamaluddin kemudian mengutip konsep Mahabbatullah dalam syair perempuan sufi Rabiah al-Adawiyah yang menukil, “Jika sujudku pada-Mu karena takut neraka, Bakar aku dengan apinya. Bila sujudku pada-Mu karena damba surga, tutup untukku surga itu. Namun bila sujudku demi Engkau semata, jangan palingkan wajah-Mu. Aku rindu menatap keindahan-Mu.”
Jamaluddin menjelaskan, Rabiah al-Adawiyah adalah teladan dalam keihklasan beribadah. Ibadahnya bukan karena mengharapkan surga atau takut pada neraka, tapi semata-mata untuk mencari keridhaan Allah.
“Jadi, kalau kita menjadikan pekerjaan sebagai ibadah, maka kita akan melakukan hal-hal baik, dan menolak penyelewengan dan hal-hal yang tidak baik lainnya. Kita perlu berkaca pada Rabiah al-Adawiyah,” pungkas Jamaluddin.
Baca Juga: Tangis Marlina Melepas Kepergian Juru Mudi Pribadi
Pada acara buka puasa bersama itu, BRA juga menyantunyi sejumlah anak yatim dari Gampong Lamteumen Timur, Kecamata Jaya Baru, Kota Banda Aceh, yang dilanjutkan dengan tausiah oleh Teungku Muhammad Yunus. Senada dengan Jamaluddin, Abon Yunus dalam ceramahnya juga menyampaikan pentingnya belajar dari kesufian Rabiah al-Adawiyah.
“Beliau perempuan sufi yang memperoleh derajat Waliyullah, karena keciantaannya kepada Allah menolak untuk menikah sepanjang hidupnya, meski dipinang oleh Hasan Basarah yang juga seorang Waliyullah, ahli ibadah dan toke permata. Ditolak oleh Rabiah al-Adwiyah, karena beliau hanya ingin menyibukkan hidupnya untuk beribadah semata,” ungkapnya.
Teungku Muhammad Yunus juga berharap, dengan meneladani konsep Mahabbatullah sufi Rabiah al-Awiyah dalam bekerja penuh keihklasan, ia yakin ke depan BRA akan lebih baik dalam menjalankan berbagai tugas dan kewenangannya terkait reintegrasi dan merawat perdamaian Aceh. “BRA ke depan beujroh, beujeut mengcover berbagai kepentingan kombatan dan korban konflik,” harapnya.[]