PEKAN terakhir Desember warga Jakarta dan sekitarnya sempat dibuat ketakutan. Ada seorang ahli dari BRIN yang mengatakan akan ada badai disertai hujan deras, sehingga dianjurkan masyarakat untuk tidak ke luar rumah. Berita itu kemudian diluruskan BMKG, dengan mengatakan yang ada hanya hujan saja, gerakan badai malah sudah mengarah ke Timur pulau Jawa. Tetapi tetap banyak warga yang ketakutan dan memilih bekerja dari rumah, WFH, sebagaimana dianjurkan Pj Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono.
Saya yang kebetulan tinggal di kawasan Ciputat dan berkendara ke Jakarta Utara, hanya menemukan udara cerah sedikit gerimis. Lalu lintas tidak terlalu padat. Sampai sore, yang hanya ada hujan kecil disertai angin, di Jakarta bagian Selatan. Banyak yang kesal barangkali, seperti nelayan yang memarkirkan perahunya karena khawatir menjadi korban badai. Atau orang yang terlanjur ngendon di rumah seharian.
Keadaan seperti itulah yang kita harapkan terjadi pada pers Indonesia di tahun 2023. Ramalan mengatakan kehidupan pers bakal makin sulit. Kue iklan banyak tetapi sebagian besar diambil oleh media sosial, yang sebagian besarnya justru mereka yang tidak memproduksi berita tetapi menyebarkan informasi. Media siber tinggal memungut remah-remahnya, menggigiti sedikit daging yang tertinggal di tulang, dalam suasana kompetisi yang mematikan, saling membunuh.
Tetapi berbeda dengan negara lain, Indonesia tahun 2023 memasuki tahapan pemilu, dimulainya pendaftaran calon anggota legislatif, yang jumlahnya bisa puluhan ribu, dari tingkat kabupaten-kota, provinsi, dan nasional. Karena waktu kampanye sedikit, maka berita berbayar menjadi pilihan jitu para kandidat memperkenalkan dirinya, mengemas citranya dengan kegiatan yang layak berita. Televisi, suratkabar, media siber, memiliki kelebihan masing-masing di pengemasan informasi yang memberikan pemasukan. Tentu harus hati-hati agar tidak melanggar PKPU dan disemprot Bawaslu. Sebagaimana di pemilu sebelumnya, kasus pemberitaan yang aturan pemilu, tidak lagi menjadi pidana umum, tetapi pelanggaran etik yang ditangani Dewan Pers. Jadi sebenarnya tidak terlalu masalah kalaupun ada yang menyerempet-nyerempet bahaya.
Inilah salah satu hal yang menggembirakan tahun depan, sampai dengan kuartal pertama tahun 2024, ketika KPU juga memberikan jatah iklan bagi media massa dalam mempromosikan baik calon legislatif maupun calon presiden. Pengelola media harus menyiapkan diri sebaik-baiknya agar dipilih KPU menjadi media mitra, yang terbatas jumlahnya.
Apakah ada kabar baik lainnya?
Salah satu yang menonjol adalah semakin banyaknya wartawan yang mengikuti dan lulus dalam uji kompetensi. Program Dewan Pers menyelenggarakan uji kompetensi gratis bagi wartawan di 34 provinsi, yang jumlahnya ditargetkan 1750 orang—dan biasanya realisasi melebihi target—adalah kabar baik. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) termasuk paling gencar mengadakan UKW di berbagai provinsi, bahkan sampai minggu terakhir Desember masih berlangsung, banyak yang di antaranya atas bantuan pemerintah daerah, sebagai bentuk upaya bersama memajukan kompetensi wartawan.
Sampai akhir tahun ini mungkin jumlah wartawan bersetifikat kompetensi sudah lebih dari 22.000 orang, dari lebih 100.000-an orang yang bekerja dan mengaku sebagai wartawan. Secara teoritis jumlah kuli tinta yang memahami Undang-undang Pers dan Kode Etik Jurnalistik, terus bertambah. Semestinya produk jurnalistik bermasalah akan semakin berkurang, tetapi karena jumlah media siber terus bertambah, dan kompetensi merebut perhatian audiens semakin sengit, bisa jadi berita klikbait makin banyak, dan menutupi berita-berita yang sesuai kaidah jurnalistik. Yang menonjol tetap berita sensasional dan pengaduan ke Dewan Pers pun tidak berkurang dari sebelumnya, dengan media Teradu paling banyak adalah media siber.
***
Selebihnya barangkali, kabar buruk. Pengumuman tutupnya media sudah disampaikan Harian Republika, sehingga mereka hanya akan tampil versi digital, menyusul Tempo dan Suara Pembaruan. Tiga majalah di grup Kompas Gramedia juga berhenti terbit per Desember. Meski masih ada yang bertahan dan beredar di Jakarta seperti Harian Rakyat Merdeka, Kompas, Bisnis Indonesia, Pos Kota, Jawa Pos, Harian Jakarta. Biaya produksi yang semakin tinggi—harga kertas dan biaya cetak—dan kecenderungan masyarakat menikmati berita dari HP dan Ipad, membuat bisnis koran tidak lagi menjanjikan.
Secara nasional di daerah, kelompok Jawa Pos sebagian besar masih eksis di provinsi di pelosok Indonesia, tetapi oplah sudah disesuaikan agar ekonomis, dengan PDF sebagai substitusi untuk mempertahankan pembacanya. Tribunnews grup yang semula gencar berekspansi, kini memang meningkatkan kehadiran di berbagai provinsi, tetapi bentuknya media siber. Di luar kedua grup ini masih ada yang bertahan, tetapi pontang-panting karena tidak mudah beradaptasi dengan biaya operasional dan perubahan pola konsumsi berita masyarakat. Harian Disway yang sempat muncul atas prakarsa Dahlan Iskan untuk mempertahankan jurnalisme koran, akhirnya kerepotan juga, sulit dikembangkan. Akhirnya mau tidak mau ikut masuk dalam platform digital.
Kalau lima enam tahun lalu kita masih dapat menemukan pengecer menjajakan korannya di tepi jalan atau di keramaian, saat ini seperti mencari jarum dalam jerami. Kalaupun ada yang masih menjual pastilah di kios, ataupun mungkin toko pinggir jalan. Koran Jakarta dulu sempat membuat boks koran yang dapat dibeli dengan koin, sesuatu yang mudah kita temukan di Amerika Serikat atau Eropa—duluuuu–, tetapi kemudahan itu sudah tidak ada. Kalau mau terjamin dapat, ya berlangganan. Sulit mencari eceran.
Semakin sedikitnya media cetak karena tutup dan mengecilnya jumlah halaman, pastilah berimbas pada pekerja pers. Tawaran pensiun dini, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), terdengar walau sayup-sayup. Berbeda dengan di AS misalnya, di Tanah Air tercinta ini media cetak apalagi yang pernah harum namanya, tidak mau membuat statement tentang PHK. Dianggap bikin malu, meskipun sebenarnya itu bagus untuk keterbukaan informasi bagi publik. Dewan Pers juga biasanya memperoleh informasi apabila ada masalah di dalam pemutusan hubungan kerja itu, kalau tidak—win win solution– sama sekali tidak tahu berapa banyak wartawan yang berhenti kerja setiap tahunnya.
Ini pulalah yang menjadi penyebab pertumbuhan media siber tidak pernah berhenti. Lepas dari media cetak, daripada nganggur, baik sendiri maupun bersama-sama mereka lalu membuat media siber baru. Dan memang, ada saja orang yang bersedia memberi modal, karena memang julukan “pengusaha pers” merupakan status bergensi. Bisa digunakan untuk membantu bidang usaha lain yang sudah dimiliki. Mungkin ada yang berpikir, siapa tahu bisa masuk HIPMI atau Kadin he..he..he. *** Kabar paling buruk tentu saja disahkannya UU KUHP akhir November lalu, yang secara langsung memuat ancaman terhadap kerja-kerja jurnalistik. Dewan Pers mencatat ada 9 klaster yang membuat produk jurnalistik menjadi tindak pidana yang jelas-jelas menghambat kemerdekaan pers, yang sebenarnya sudah disampaikan ke DPR dan Pemerintah RI melalui Menko Polhukam tetapi tidak digubris. Tentu masyarakat pers akan melakukan judicial review, tetapi itu menjadi beban yang semestinya tidak perlu apabila pers diletakkan sebagai pilar keempat demokrasi yang sudah diakui bersama saat reformasi 1998.
Pasal-pasal tersebut adalah Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara; Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan Presiden dan Wakil Presiden; Pasal 240 dan 241 tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah; Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyerbarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong; Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan; Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan; Pasal 400 Tindak Pidana Penghinaan, pencemaran nama baik; Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran. Banyak terjadi kekerasan terhadap pekerja pers pada tahun 2022 sebagaimana dilansir AJI dan disuarakan KKJ, meski angkanya masih menjadi perdebatan karena definisi kekerasan itu sendiri belum ada kesepakatan. Yang pasti semakin sering terjadi ancaman langsung maupun tak langsung terhadap media dan pekerja media, yang dianggap mengancam kekuasaan. Sesuai perkembangan teknologi, maka media dan wartawan, ditakut-takuti dengan doxing, serangan digital, diretas, sehingga tidak dapat bekerja nyaman.
Media yang kritis, bisa mendadak tidak dapat diakses atau statusnya turun menjadi parah. Dan meskipun diadukan ke penegak hukuman, tidak ada hasil yang jelas dan memuaskan pekerja pers. Di Asia Tenggara bahkan ada wartawan yang terbunuh pada tahun 2022 lalu, 4 di Filipina dan 2 di Myanmar. Di seluruh dunia menurut The Committee to Protect Journalists (CPJ) ada 65 yang tewas dan 363 masuk bui. Lima negara yang menjadi juara penangkapan wartawan adalah Iran, Cina, Myanmar, Turki, dan Belarusia. Kita beruntung tidak mengalaminya pada tahun ini, meskipun Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sampai saat ini masih ada 9 kasus pembunuhan wartawan yang tidak selesai (angka ini menjadi perdebatan karena sejumlah pihak menilai bahwa kasusnya sudah selesai walau tidak memuaskan).
Kita tidak perlu berkecil hati karena profesi wartawan diketahui berisiko tinggi. Oleh karena itu berbagai macam kekerasan akan selalu ada, sehingga wartawan, perusahaan pers, organisasi wartawan, Dewan Pers, harus terus melakukan sesuatu untuk mencegah itu terjadi. Karena sejauh ini parlemen dan pemerintah belum menganggap wartawan sebagai profesi yang menjalankan amanah UU dan perlu perlindungan khusus, sebagaimana aparat penegak hukum misalnya. Yang penting tahu risiko, lalu tahu dan mampu mengendalikannya.
***
Kabar setengah buruk adalah belum jelasnya nasib konsep Media Sustainability yang disusun masyarakat di bawah komando Dewan Pers sejak tahun 2021, untuk mengembangkan jurnalisme bermutu dan berkelanjutan sekaligus melindungi pers nasional dari hegemoni raksasa digital dunia. Sudah ada di tangan pemerintah, konon sedang dicari apa bentuk terbaiknya, apakah berupa Peraturan Pemerintah, digabung ke Undang-undang yang sudah ada seperti ITE, agar dapat cepat diberlakukan, dst. Sibuk mengurusi RUU KUHP, kesannya Dewan Pers menjadi lupa urusan hidup mati bisnis media.
Orang bijak mengatakan, di ujung malam yang pekat, sudah menanti fajar yang terang dan membawa harapan. Di setiap terowongan gelap pasti ada cahaya. Dalam setiap kondisi kita tidak boleh putus asa. Semangat dan optimisme penting terus kita pelihara agar tidak putus asa dalam menjalankan peran yang ditetapkan di Pasal 6 Undang-undang No. 40 tentang Pers. Saya kutip di sini Pasal 6 peran pers nasional adalah:
a. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui
b. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan
c. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akuran, dan benar
d. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum
e. memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu menyertai perjuangan pers Indonesia.[]
Penulis: Hendry Ch Bangun, mantan Wakil Ketua Dewan Pers
Sumber: JMSI