Atjeh Bioscoop merupakan satu-satunya pusat tontonan film-film Eropa di Aceh pada masa kolonial. Pada masa Jepang diubah menjadi Eiga Heikyusya, pasca kemerdekaan dikenal sebagai Garuda Theatre, kini menjadi gedung Samsung IT Learning Centre.
Atjeh Bioscoop dibangun oleh Pemerintah Kolonial Belanda di sisi barat taman Vredespak yang kini dikenal sebagai Taman Sari Bustanussalatin, atau di sisi utara esplanade Koetaradja yang sekarang dinamai lapagan Blangpadang. Tak ada catatan sejarah kapan bioskop tertua di Aceh itu pertama kali dibangun.
Namun antara Vredespak dan esplanade Koetardja di sekelilingnya merupakan bangun perkantoran dan perumahan elit pejabat Kolonial Belanda dari kalangan Eropa. Malah, sebagai pendukung Atjeh Bioscoop sebagai pusat hiburan, di sisi timur Vredespak juga dibangun Juliana Club, tempat bermain musik, pertunjukan drama dan pesta dansa digelar oleh kalangan elit masa itu.
Baca Juga: Solidaritas Dunia di Taman Aceh Thanks to the World
Sementara untuk pejabat kolonial rendahan, serta para serdadu bayaran, mereka mempunyai tempat hiburan tersendiri di sisi selatan Vredespak dan Esplanade Koetaraja, sebuah tempat kumuh bekas kebun tebu yang dibangun seorang Yahudi bernama Bolchover menjadi tempat hiburan dan lokalisasi, dikenal sebagai kebun dan tempat seks liar.
Kemudian tempat hiburan yang terbuka untuk umum saat itu hanya di Pantai Ceureumen, Uleelheu. Di sana dibangun tempat permandian dan kios-kios makanan. Ketika nyonya-nyonya Eropa bertamasya ke sana sering diadakan pertujukan musik oleh Atjeh Band, maski namnya Aceh, tapi pemain musiknya merupakan para perwira Eropa. Atjeh Band ini juga sering mengiringi pesta dansa di Juliana Club.
Hanya pertunjukan sirkus dari Group Sirkus Komedi Kuda Harmston, satu-satunya pertunjukan ala Eropa yang bisa dinikmati sebagai hiburan oleh masyarakat pribumi di Aceh. Group ini berkedudukan di Sigli, Pidie, tapi sering tampil di Koetaraja (Banda Aceh).
Baca Juga: Hutan Kota Tibang Objek Wisata Alternatif di Sudut Banda
Kembali ke Atjeh Bioscoop, ketika kekuasaan Kolonial Belanda beralih ke Jepang, namanya diganti menjadi gedung Eiga Heikyusya. Namun pada masa Jepang, perannya sebagai gedung pertunjukan telah berganti menjadi gedung pertemuan.
Salah satu pertemuan paling bersejarah di Eiga Heikyusya adalah, ketika rakyat Aceh mendesak Jepang untuk menyerahkan kekuasaan kepada Residen Aceh yang dipimpin oleh Teuku Nyak Arief. Tapi, Jepang bersikukuh akan menyerahkan kekuasaannya kepada Sekutu. Tapi karena Sekutu tidak pernah bisa masuk ke Aceh, kekuasaan Jepang akhirnya dilucuti orang rakyat Aceh.
Pada 19 Agustus 1945 berlangsung rapat di Eiga Heikyusya antara pimpinan pemuda Aceh dengan pejabat tinggi Jepang, S Masubuchi. Dalam rapat itu S Masubuchi sebagai pemimpin Fujiwara Kikan menjelaskan bahwa dirinya sebagai “pecinta Aceh” akan menggembleng para pemuda untuk melawan Sekutu, dan kekuasaan Jepang akan diserahkan kepada rakyat Aceh dalam tempo tidak lama, ia menyebutnya dengan kalimat “Sebelum jagung berbuah.”
Namun para pemuda Aceh yang telah membentuk Angkatan Pemuda Indonesia (API) yang dipimpin oleh Syamaun Gaharu, menolak semua hal yang disampaikan petinggi Jepang. Akibatnya, banyak perwira Jepang yang kemudian bunuh diri (hara-kiri) di Aceh. Salah satunya, pemimpin kolonne V yang menembak kepalanya sendiri dengan pistol di rumah dinasnya di Neuseu.
Baca Juga: Benteng Indra Patra Riwayat Patriotik Inong Balee
Sejarawan Aceh, Teuku Alibasyah Talsya dalam buku Batu Karang di Tengah Lautan, yang diterbitkan Lembaga Sejarah Aceh (LSA) tahun 1990 mengungkapkan, saat itu meski kekuasaan Jepang sudah hancur di Aceh, pada 14 Oktober 1945, Residen Jepang (Chokang) di Aceh, Syozaburo Iino mengumpulkan sisa-sisa tentara Jepang di Esplanade Koetaradja, karena insiden anti Jepang semakin meluas.
Hari itu gedung Eiga Heikyusya (Atjeh Bioscoop) sudah dikuasai oleh pemuda Aceh. jarak antara konsentrasi tentara Jepang dengan gedung Eiga Heikyusya tak sampai seratus meter. Di gedung itu ribuan rakyat Aceh yang dimotori oleh Teuku Nyak Arief selaku Residen Aceh bersama Teungku Muhammad Daod Beureu’eh dan Tuanku Mahmud dari Komite Nasional Aceh melakukan show of force menekan pemerintah Jepang yang kekuasaannya sudah tak lagi berjalan di Aceh. Sehari kemudian, 15 Oktober 1945, Kepala Pemerintah Jepang (Chokang ) di Aceh, Syozaburo Iino menyerahkan kekuasaanya kepada rakyat Aceh melalui Residen Aceh, Teuku Nyak Arief.
Dalam masa kemerdekaan nama gedung Eiga Heikyusya diubah lagi menjadi Garuda Theatre. Pada malam 15 Juni 1948 di Garuda Theatre ini Presiden Republik Indonesia Ir Soekarno, menyampaikan pidato politik tentang revolusi nasional di hadapan pejabat sipil dan militer, tokoh masyarakat, dan pemuda Aceh. Sehari kemudian, pada 16 Juni 1948, di Garuda Theatre ini juga selama dua jam Presiden Soekarno membakar semangat perempuan Aceh melalui pidato politiknya, untuk aktif bergerak menumbangkan kapitalisme. Isi pidatonya bisa dibaca dalam buku Perkundjungan Presiden Soekarno ke Atjeh. Buku ini diterbitkan oleh Panitija Penyamboetan Presiden Soekarno di Aceh tahun 1948.
Pasca musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004, bioskop pertama di Aceh itu kemudian dibangun menjadi Gedung IT Learning Centre oleh Pemerintah Kota Banda Aceh atas bantuan Samsung Electronic Co Ltd. Maka, transformasi Atjeh Bioscoop menjadi Eiga Heikyusya berubah menjadi Garuda Theatre berakhir menjadi Gedung Samsung IT Lerning Centre.[]