Geundrang merupakan instrument khusus dalam beragam pertunjukan adat, tradisi dan budaya di Aceh. Suara tabuhannya menjadi pembeda pada setiap perhelatan yang menarik perhatian banyak orang.
Menabuh geundrang pada pertunjukan tidaklah mudah, apa lagi di era modere ini tak banyak lagi penabuh geundrang profesional. Untuk itu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh menggelar pelatihan menambuh geundrang bagi generasi muda, bertajuk Pelatihan Seni Tradisi Kebanggaan Geutanyoe selama tiga hari di Hermes Hotel, Banda Aceh.
Kepala Bidang Bahasa dan Seni Disbudpar Aceh, Nurlaila Hamjah, S.Sos, M.M, mengungkapkan, pelatihan tersebut merupakan salah satu upaya Disbudpar Aceh untuk mengembangkan dan melestarikan seni tradisi Aceh di era globalisasi, serta memperkenalkan kembali seni warisan nenek moyang kepada genarasi muda Aceh, terutama kepada pelajar, sebagai upaya revitalisasi dan pengembangan seni warisan leluhur.
“Kita berupaya agar para pelajar juga bisa menjadi duta atau pelaku dalam menjaga dan memberdayakan seni tradisi yang ada Aceh. pelatihan seni tradisi ini juga sebagai bentuk menumbuhkan semangat generasi muda dalam menjaga budaya serta internalisasi nilai-nilai seni tradisi yang ada di Aceh,” jelas Nurlaila.
Baca Juga: Disbudpar Aceh Gelar Pelatihan Seni Tradisi Untuk Siswa se Banda Aceh dan Aceh Besar
Sementara itu pelatih menabuh geundrang, Zulkifli mengatakan, menabuh geundrang harus dilakukan dengan ritme tertentu, agar menghasilkan suara dan irama sesuai dengan yang diinginkan. Ia sangat mengapresiasi apa yang dilakukan Disbudpar Aceh dalam menjaga nilai-nilai seni tradisi.
“Pelatihan ini sangat penting dan bernilai manfaat bagi generasi muda Aceh dalam menjaga seni tradisi warisan leluhur. Semoga acara seperti ini bisa terus dilakukan di masa-masa yang akan datang, agar seni leluhur ini menjadi lestari sepanjang masa,” harapnya.
Salah satu siswa pelajar peserta juga merasa sangat beruntung bisa mengikuti acara pelatihan tersebut. Bagi pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) ini menabuh geundrang tidaklah semudah yang dibayangkan, bukan hanya asal tabu, ia mengaku senang setelah mendapat pelatihan langsung dari pelatih geundrang, sehingga paham bagaimana menabuh geundrang dengan baik sehingga memunculkan irama yang indah.
“Ini pengalaman yang luar biasa bagi kami pelajar. Jarang-jarang ada pelatihan seperti ini, ini sangat bermanfaat bagi kami para pelajar dalam mengemembangkan sangar-sanggar seni di sekolah. Terimakasih Disbudpar Aceh,” ujarnya.
Baca Juga: Aceh Perlu Qanun Kebudayaan yang Komprehensif
Pemerhati seni tradisi Aceh yang juga anggota Majelis Adat Aceh (MAA) Provinsi Aceh, Saidinur Yusuf menjelaskan, sesuai dengan namanya geundrang merupakan seni suara dengan tabuhan alat musik geundrang yang diiringi dengan nyanyian para penari. Selain tabuhan geundrang dalam permainannya juga ada peniup seurune kale. Pemainnya biasa bejumlah 7 orang, terdiri dari: 2 orang pemukul geundrang, 2 orang penyambut kisah, 2 orang pengangkat kisah, dan 1 orang peniup seurune kale.
“Untuk pertunjukan-pertunjukan besar seni geundrang juga ditambah dengan alat musik lainnya seperti, suleng, bangsi, hareubab, canang, rapai, gong, dan geunta. Tempo dulu geundrang dipertunjukkan dalam berbagai acara kemaramain. Musik atau irama dari tabuhan geundrang dan alat musik pengiring lainnya, membuat kesinian ini menjadi begitu khas, ditambah lagi dengan suara penyanyinya yang indah dan menawan,” jelasnya.
Saidinur menambahka, acara keramaian tempo dulu tidak akan lengkap tanpa pertunjukan Geundrang. Telah merupakan suatu tradisi di Aceh, apa bila malam hari diadakan keramaian, maka sejak petang geundrang sudah ditabuhkan terus menerus sebagai pertanda atau pengumuman adanya pertunjukan untuk masyarakat ramai.
Sebagai variasi saat pertunjukan, diantara nyanyian kisah dan penyambut kisah, sering pula diselingi dengan berbagai pantun, sajak, atau syair dengan tema tertentu, biasanya bertema tentang pendidikan agama, pendidikan, humor, serta kisah-kisah perjuangan.
Baca Juga: Disbudpar Aceh Gelar Pelatihan Seni Tradisi Untuk Generasi Muda
Pada zaman dahulu pada acara pesta pernikahan, intat linto dan preh dara baro, gendrang biasanya dtabuhkan dalam sebuah seueng (bangsal) di perkarangan rumah tempat acara pesta. Ketika pengantin diantar diiringi dengan suara geundrang dan seurune kale.
“Geundrang kadang kala juga dipertunjukkan pada acara kenduri khitanan atau sunat rasul, kenduri melepaskan kaul. Anak-anak yang akan dikhitan diarak keliling kampung sambil diiringi dengan suara tabuhan geundrang,” tambahnya.
Saidinur memperkirakan permainan ini telah ada sejak zaman Kerajaan Aceh dan berasal dari Kebudayaan Hindu. Kebiasaan Bangsa India, memainkan Geundrang, meniup sejenis suling serupa Seurune Kale sambil memainkan Ular Cobra serta diselingi dengan tarian-tarian yang dibawakan oleh penari wanita. Kemudian permainan ini ditiru oleh masyarakat Aceh, dengan beberapa perobahan disesuaikan dengan lingkungan setempat dan kegemaran masyarakat dimasa itu.
Selain itu, saat pertunjuka geundrang, bila memerlukan penari seorang wanita, peranan ini dibawakan oleh seorang pria dengan memakai pakaian wanita disertai perhiasan sehingga menyerupai wanita. “Pelakon yang mengenakan pakaian wanita tersebut diharuskan menari dan bernyanyi sambil berdialog pantun dengan pemukul gendrang. Dalam permainan ini lebih dominant bermusik dari pada bernyanyi dan menari,” tambahnya.[]