BANDA ACEH | ACEH INFO – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengajukan delapan syarat calon Penjabat (Pj) Gubernur yang bakal dipilih Presiden RI. Salah satunya yaitu calon Pj Gubernur merupakan orang Aceh dan beragama Islam.
Terkait sejumlah syarat yang menjadi pandangan dan masukan untuk Presiden RI dari DPRA tersebut disampaikan dalam konferensi pers di ruang Media Center DPRA pada Kamis, 12 Mei 2022.
Selain syarat di atas, DPRA juga merekomendasikan calon Pj Gubernur Aceh nantinya mampu menjalankan syariat Islam serta memahami masalah Aceh, baik sejarah, sosial, politik, kearifan lokal dan budaya Aceh.
“(Calon Pj Gubernur) juga mempunyai komitmen yang kuat untuk menjaga perdamaian, pembangunan berkelanjutan dan memperjuangkan penguatan kewenangan Aceh,” kata Plt Ketua DPRA Safaruddin dalam konferensi pers tersebut.
Selanjutnya, Pj Gubernur Aceh juga memiliki komitmen untuk memperjuangkan dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh melalui revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.
Selanjutnya, sejumlah tanggapan dan rekomendasi yang dihimpun dari usulan setiap fraksi di DPRA tersebut juga merekomendasikan calon Pj Gubernur yang dipilih, mempunyai komitmen untuk pembangunan komunikasi dan kerjasama yang baik dengan semua pihak.
“Terutama dengan Pemerintah Pusat, DPR Aceh, ulama dan seluruh elemen masyarakat Aceh,” lanjut Safaruddin yang didampingi oleh sejumlah Ketua Fraksi di DPRA, kecuali dari F-PKS.
Pj Gubernur Aceh yang bakal dipilih juga diharapkan mempunyai komitmen menjamin netralitas dalam pelaksanaan Pemilu Tahun 2024. Selanjutnya memiliki komitmen dalam menyelesaikan permasalah bendera dan lambang Aceh, serta menuntaskan program reintegrasi Aceh yang belum terlaksana secara tuntas.
DPRA juga meminta calon Pj Gubernur Aceh yang dipilih mampu memperjuangkan program-program strategi nasional untuk meningkatkan perekonomian, menekan angka kemiskinan, meningkatkan kualitas pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia di Aceh.
Fraksi-fraksi di DPRA juga berharap Pj Gubernur Aceh nantinya memiliki komitmen mempertahankan keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA).
“Mempunyai komitmen menjalankan butir-butir MoU Helsinki, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, dan peraturan perundang-undangan lainnya,” kata Safaruddin.
Definisi Pj Gubernur
UU RI sejatinya tidak menyebutkan secara khusus yang dimakasud dengan penjabat kepala daerah. Namun, perihal penjabat kepala daerah diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 35 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelantikan Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah.
Pasal 1 angka 5 Permendagri tersebut menyebutkan, “Penjabat Kepala Daerah adalah Pejabat yang ditetapkan oleh Presiden untuk Gubernur dan Pejabat yang ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Bupati dan Walikota untuk melaksanakan tugas, wewenang dan kewajiban kepala daerah dalam kurun waktu tertentu”.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada khususnya Pasal 201 juga mengatur tentang penjabat kepala daerah.
Aturan itu menyebutkan bahwa penjabat merupakan orang yang ditunjuk untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, atau bupati dan wakil bupati, atau wali kota dan wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya.
“Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada ayat (5), diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024,” bunyi Pasal 201 Ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam UU yang sama juga disebutkan bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan dilantiknya gubernur definitif.
Sementara, untuk mengisi kekosongan jabatan bupati/wali kota, diangkat penjabat bupati/wali kota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan bupati dan wali kota.
Tugas dan Wewenang Pj kepala daerah
Merujuk Pasal 65 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, terdapat sejumlah tugas dan wewenang seorang Pj Gubernur. Pertama, memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
Selanjutnya tugas Pj Gubernur adalah memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat, menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang RPJPD dan rancangan Perda tentang RPJMD kepada DPRD untuk dibahas bersama DPRD, serta menyusun dan menetapkan RKPD.
Tugas lainnya adalah menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD, rancangan Perda tentang perubahan APBD, dan rancangan Perda tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD untuk dibahas bersama.
Kemudian Pj Gubernur mewakil daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tugas lain adalah mengusulkan wakil kepala daerah, serta melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pj Gubernur juga memiliki sejumlah kewenangan jika merujuk Pasal 65 UU Nomor 23 Tahun 2014. Kewenangan pertama adalah mengajukan rancangan Perda, menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD, serta menetapkan Perkada dan keputusan kepala daerah.
Kewenangan lain adalah mengambil tindakan tertentu dalam keadaan mendesak yang sangat dibutuhkan oleh daerah dan/atau masyarakat, serta melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Larangan bagi Pj Gubernur
Penjabat gubernur memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala daerah sementara. Seorang Pj Gubernur atau Pj Kepala Daerah juga dilarang untuk melakukan sejumlah hal, seperti yang tertera dalam Pasal 132A UU PP Nomor 49 Tahun 2008, tentang Perubahan Ketiga atas PP Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Sejumlah larangan tersebut seperti melakukan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat sebelumnya dan/atau mengeluarkan perizinan yang bertentangan dengan yang dikeluarkan pejabat sebelumnya, dan membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan pejabat sebelum.
Selanjutnya, Pj Gubernur atau Pj kepala daerah juga dilarang membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya meski ketentuan terkait larangan dimaksud dapat dikecualikan setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.[]
PEWARTA: TEUKU AUFAQ
EDITOR: BOY NASHRUDDIN AGUS