BANDA ACEH | ACEH INFO – Lumpur kerap dikaitkan dengan hal-hal jorok dan bau. Namun, tidak bagi sebagian daerah yang menganggap lumpur adalah material dasar untuk bahan bangunan. Tak tanggung-tanggung, lumpur bahkan turut digunakan untuk material bangunan masjid megah yang terkenal di beberapa negara.
Berikut beberapa masjid megah yang dibuat dari bahan lumpur, seperti dihimpun acehinfo.id dari berbagai sumber:
Masjid Djinguereber
Masjid Djinguereber terletak di Timbuktu, Mali. Bangunan ibadah umat Islam ini didirikan tahun 1325, atau sebagian sumber menyebutkan tahun 1327. Hingga saat ini, masjid tersebut masih berdiri kokoh sejak dibangun oleh Sultan Moussa I atau dikenal dengan Mansa Musa. Dia merupakan orang paling kaya di dunia pada masa itu. Kekayaan Mansa Musa bahkan disebut-sebut melebihi Mark Zuckenberg, Bill Gates atau Jeff Bezos.
Mansa Musa mulai dikenal dunia ketika dirinya menunaikan ibadah haji seraya memboyong 60.000 orang pengikutnya. Perjalanan tersebut dilaksanakan Mansa Musa sekitar tahun 1324-1325. Bersama rombongan Mansa Musa ikut serta 100 unta, yang masing-masing membawa 100 pon emas.
Masjid Djinguereber dibangun menggunakan jasa Abu Ishaq al-Sahili, seorang arsitek dari Mesir yang disewa Mansa Musa sepulang ibadah haji. Sementara biaya pembangunan Masjid Djinguereber menelan 442 pon emas.
Merujuk catatan seputarlampung disebutkan masjid tersebut dibangun menggunakan batu bata lumpur yang memiliki tiga halaman di bagian dalam. Bangunan masjid memiliki dua menara dan 25 baris pilar yang disejajarkan pada arah timur barat. Sementara ruangan utama bangunan ibadah tersebut mampu menampung 2.000 jamaah pada masanya.
Masjid Djinguereber yang dibangun dari material bata lumpur ini telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 1988.
Grande Mosquee de Dioulassoba atau Masjid Agung Diulasso
Masjid Agung Diulasso atau Masjid Bobo Dioulasso merupakan bangunan kuno yang bercirikan arsitektural Banco Sudaness. Bangunan ini merupakan warisan abad ke-19 di tengah konflik antara Sya dan Kanedougu.
Masa itu, Raja Sya tidak mampu melakukan serangan terkini sehingga berunding dengan kaum muslim. Sebagai imbalannya, Raja Sya membangun masjid tua Bobo Dioulasso pada tahun 1880, yang beberapa sumber lainnya menyebutkan kisaran tahun 1893.
Saat ini Masjid Bobo Dioulasso berada di rue Sadiki Sanou, Bobo-Dioulasso, Provinsi Houet, Republik Burkina Faso. Bangunan masjid tersebut berada di tengah gurun. Materialnya terdiri dari bahan lumpur bertulang kayu yang berasal dari alam sekitar.
Keunikan dan nilai historis masjid ini belakangan menjadikannya sebagai objek wisata menarik bagi turis asing, yang rela menempuh perjalanan ratusan kilometer dari kota Ougadogou.
Masjid Agung Diulasso memiliki dua menara masing-masing di sisi mihrab dan pintu masuk utama. Batangan-batangan kayu yang menjadi salah satu materialnya terlihat menyembul keluar dari dinding lumpur, yang berfungsi sebagai tangga naik dan turun bagi pekerja untuk memperbaiki masjid dari gerusan hujan.
Sayangnya bangunan unik tersebut belakangan tidak lagi memiliki nilai arkeologis karena telah direnovasi dengan bahan serupa semen.
Masjid Agung Djenne
Masjid ini berada di kota Djenne, kota tertua yang dikenal di sub-Sahara Afrika. Kota tersebut berasal dari abad 250 SM dan pernah menjadi mata rantai penting dalam perdagangan emas trans-Sahara. Kota Djenne terletak di tepi Sungai Bani dan Niger di Mali serta pernah mengukir diri dalam sejarah Islam.
Kota yang terletak di pedalaman Delta Niger di Mali tengah ini merupakan pusat penyebaran Islam di Afrika abad ke-15 dan ke-16 Masehi.
Seperti dilansir Middle East Monitor, karakter kota kuno Afrika Barat di Kota Djenne dibentuk oleh penggunaan tanah yang spektakuler dan rumit dalam arsitekturnya. Kota ini juga menjadi pusat sejumlah besar rumah tanah liat yang menawan.
Seperti halnya bangunan-bangunan yang ada di sana, Masjid Djenne juga dibangun menggunakan material lumpur dan menjadi terbesar di dunia. Masyarakat setempat memperbaiki bangunan masjid ini dalam ritual tahunan— yang kemudian dinamai dengan Crepissage de La Grand Mosquee atau bermakna plesteran, sebuah festival tahunan yang turut mengundang wisatawan.
Masjid Djenne menjadi contoh bangunan megah dari arsitektur Sudano-Sahelian. Diduga pembangunan masjid tersebut dimulai ketika Raja Koi Konboro, penguasa ke-26 Djenne dan sultan Muslim pertamanya.
Dari kajian arkeologis, bangunan masjid ini telah beberapa kali dibangun kembali. Penyekatan alami yang disediakan oleh penggunaan lumpur dan tanah liat pada bangunan masjid ini membuatnya tetap sejuk di dalam bahkan selama hari-hari musim panas yang terik. Aula masjid yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO tersebut menjulang setinggi hampir 20 meter.
Masjid Raya Djenne dilengkapi dengan tiga menara yang khas dan ratusan batang pohon palem yang disebut ‘toron’ yang menancap dan menonjol dari fasadnya. Toron tersebut berguna untuk menopang dan membuat plesteran ulang lebih mudah, seperti masjid lainnya yang terbuat dari lumpur di benua Afrika.
Masjid Larabanga
Ciri khas masjid ini seperti umumnya bangunan ibadah di Afrika Barat, terbuat dari lumpur, kayu gelondongan, dan gelagah. Bangunan peribadatan ummat muslim ini berada di Ghana. Beda masjid ini dengan masjid lumpur lain adalah tampilannya yang sederhana. Ukurannya juga hanya seluas 64 meter persegi.
Dilansir dari republika.co.id, ada pintu masuk kecil yang diperuntukan untuk jamaah laki-laki dan perempuan. Kapasitas masjid ini menampung 200 orang. Jelas jumlahnya tidak cukup apalagi saat pelaksanaan salat Jumat yang kadang datang mencapai 4.000 orang.
Seperti halnya masjid bersejarah lainnya, ada beberapa kontroversi mengenai kapan tepatnya masjid itu dibangun, dan siapa yang membangunnya. Masjid tersebut diduga didirikan pada tahun 1421 M.[]
EDITOR: BOY NASHRUDDIN AGUS