Ini kisah Kimun, seorang jongos. Ia hampir mati di tangan gerilyawan Teuku Umar, karena kedapatan membawa surat pasukan Belanda. Dendamnya kepada Teuku Umar sangat memuncak, meski sudah dikirim pulang ke Jawa, ia meminta kembali ke Aceh.
Ketika pertama dibawa ke Aceh oleh Belanda, Kimun merupakan salah satu dari ratusan pekerja paksa. Belanda menyebut mereka sebagai beer, beeren, atau kettingbereb. Orang Aceh menyebutnya simeurante, yakni orang-orang yang dirantai, karena ketika dibawa ke Aceh mereka dirantai.
Untuk mendapatkan keringanan hukuman, para pekerja paksa ini harus mengambil resiko, melaksanakan pekerjaan-pekerjaan antara pertaruhan hidup dan mati. Kimun salah satunya. Ia mengambil resiko itu, dan berharap tak lagi menjadi pekerja paksa, setidaknya bisa menjadi jongos, yakni pembantu atau babu di rumah perwira.
Baca Juga: Beragam Versi Alasan Pembelotan Teuku Umar
Kisah kenekatan Kimun ini ditulis oleh HC Zentgraff dalam buku Atjeh. Kimun dibawa ke Aceh pada tahun 1896 sebagai pekerja paksa, masa hukumannya 20 tahun. Bagi Kimun 20 tahun menjalani kerja paksa di Aceh bukanlah waktu yang singkat. Ia ingin memangkas masa hukumannya dengan berbakti kepada Belanda melebihi para pekerja paksa lainnya.
Suatu ketika, ketika pasukan Belanda dikepung pasukan Aceh, Kimun menawarkan diri mengantar surat dari bivak Belanda tersebut kepada pasukan Belanda di daerah lain. Namun, saat ia mengantar surat itu, ia ditangkap oleh pasukan Teuku Umar. Ia memberontak, mencoba melawan sehingga mengalami luka parah, tubuhnya dibuang ke sungai.
Beruntung bagi Kimun, dalam keadaan yang hampir tak lagi bernyawa itu, tubuhnya yang mengapung di pinggir sungai sekitar Lambaro, Aceh Besar ditemukan oleh pasukan Belanda. Ia kemudian diobati. Setelah sembuh, meski gagal menjalankan tugas, ia dibebaskan dari hukuman kerja paksa. Itulah imbalan yang diidamkan oleh setiap pekerja paksa.
Baca Juga: Kisah Belanda Membuat Sayembara Kepala Teuku Umar
Tapi kini Kimun menolaknya, meski dulu sangat mengharapkannya. Alasannya, ia menaruh dendam kesumat kepada kelompok Teuku Umar yang menyiksanya dengan sabetan pedang, dan membuang tubuhnya ke sungai. Ia kemudian dipekerjakan sebagai jongos di rumah opsir Grasfland.
Ketika Grasfland meninggal dalam perang Aceh. Kimun pindah ke Lhokseumawe bekerja sebagai jongos di rumah opsir Belanda lainya. Suatu ketika saat membeli limun di toko Cina, ia ditangkap polisi karena dikira pekerja paksa yang melarikan diri. Kimun memukul kepala polisi itu dengan botol limunnya. Karena perbuatannya itu Kimun kembali dihukum kerja paksa selama 10 tahun.
Kimun yang tak lagi jadi jongos itu dikirim ke Jambi untuk menjalani kerja paksa, lalu  dikirim ke Manado. Tak lama di sana, ia dikirim kembali ke Surabaya dan dibebaskan dari sisa hukumannya.
Baca Juga: Nisero Quaestie Kisah Raja Teunom Membuat Panik Belanda
Di Surabaya ia menjumpai Veltman, perwira Belanda yang akan bertugas di Aceh. Pada Veltman ia meminta untuk dibawa kembali ke Aceh. Dendam kesumatnya kepada kelompok Teuku Umar belum hilang. Sampai di Aceh, Kimun bekerja sebagai jongos di Tapaktuan. Tugasnya memasak makanan di bivak tentara Belanda.
Namun, tak lama di Aceh, Kimun mengalami gangguan mental. Ia kemudian diambil oleh seorang kadet Belanda, Hein Meijer. Tapi, Kimun yang emosional kembali membuat ulah, Meijer kemudian menghukumnya. Kimun akhirnya mati kutu, ia melarikan diri dari Tapaktuan menuju Sigli melalui pegunungan dan hutan belantara. Tak jelas bagaimana nasibnya kemudian dalam pelariannya itu.[]