SEBUAH pertanyaan sederhana muncul sejak lama. Bagaimana hari-hari selepas G30S di Aceh? Apakah kondisi Aceh paska peristiwa itu serupa dengan Jakarta? Dimana terjadi peristiwa perburuan, penangkapan, penghilangan dan pembunuhan terhadap kader dan orang-orang yang terafiliasi dengan PKI?
Saya mencoba membuat ulasan. Literaturnya ajib punya. Semoga bermanfaat.
Kondisi Umum Aceh Pada 1965
Saat itu, kondisi umum di Aceh, memiliki jumlah penduduk sebanyak 1,8 juta jiwa. Banda Aceh, ibukota provinsi yang baru tiga tahun berganti nama dari Kutaraja, hanya berpenduduk 44 ribu jiwa.
Saat itu Universitas Syiah Kuala hanya memiliki lima fakultas, yakni; Fakultas Ekonomi, Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Fakultas Kehewanan dan Ilmu Peternakan, Fakultas Teknik dan Fakultas Pertanian. Sementara, Fakultas Kedokteran tengah dalam persiapan.
Pucuk pimpinan sipil di Aceh adalah Gubernur Nyak Adam Kamil. Panglima Kodam adalah Ishak Djuarsa. Sementara, terdapat 10 partai politik namun hanya 8 partai politik yang anggotanya duduk di lembaga pemerintahan.
Sebuah laporan militer menyebut kondisi Aceh pada 1965 mengalami tekanan ekonomi akibat perubahan-perubahan politik yang terjadi. Kesulitan yang terjadi di Jakarta, tidak jauh berbeda dengan Aceh.
Harga barang yang melejit antara lima hingga 10 kali lipat adalah salah satu beban berat yang dirasakan masyarakat disini. Walaupun ada upaya penyesuaian upah, tetapi kenaikan harga lebih cepat melampauinya.
Di Aceh, kesulitan ekonomi diperparah juga dengan faktor alam. Banjir akibat hujan terus menerus di beberapa wilayah berdampak pada hasil panen padi tidak sebaik panen sebelumnya.
Pada masa itu, militer terpecah konsentrasinya dalam mengurus dua hal; selain ekses paska G30S, lainnya adalah memastikan bibit api PRRI dan DI/TII yang ternyata belum sepenuhnya padam. Ada beberapa kasus subversif DI/TII dan PRRI yang ditumpas TNI pada tahun tersebut, diantaranya di Bayeun, Aceh Timur dan Jambo Ayee, Aceh Utara.
Aceh Paska 30 September 1965
Dalam sebuah laporan militer mengenai G30S di Aceh yang disebut Gestok (Gerakan Satu Oktober), dijelaskan bagaimana situasi bahwa sebelum pecah peristiwa tersebut, tidak ada kegiatan nyata dari para petinggi PKI di Aceh.
Namun militer mencurigai bahwa telah terjadi persiapan secara tersembunyi, dengan beberapa penemuan, diantaranya; dalam perjalanan anggota DPRD-Gotong Royong Aceh dengan kereta api antara Lhokseumawe dan Langsa, dalam rangka penjemputan Wakil Perdana Menteri I Soebandrio di Langsa beberapa hari sebelum kejadian, Thaib Adamy, pimpinan PKI Aceh –yang berdasarkan buku Atjeh Mendakwa (1964) baru beberapa bulan keluar dari penjara akibat didakwa menghasut dan menyiarkan kabar bohong– mengajak beberapa anggota DPRD-Gotong Royong untuk mendirikan Dewan Revolusi dimulai dari tingkat provinsi hingga tingkat desa.
Info lainnya adalah adanya pertemuan antara petinggi politbiro (organisasi eksekutif) PKI, Njoto dengan para petinggi PKI di Langsa. Ditengarai terjadi pula persiapan pembentukan Pemuda Rakyat sebagai tim keamanan khusus bagi Njoto.
Pada tanggal 1 Oktober, informasi adanya gerakan coup (kudeta) oleh Letkol Untung, telah diterima oleh militer di Aceh. Militer menuding bahwa setelah tersiarnya berita RRI, yang waktu itu dikuasai oleh pasukan Letkol Untung, PKI dan Ormasnya di Aceh segera melakukan pernyataan mendukung gerakan tersebut dan berupaya membentuk dewan revolusi di tingkat daerah dan mempengaruhi partai-partai lain yang dapat diajak bekerjasama untuk mendukungnya.
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia yang dirilis pada awal tahun 2022, Setiadi, salah seorang anak Thaib Adamy, membantahnya. Ia mengakui mendapati ayahnya terheran-heran kala mendengar siaran stasiun radio bahwa Gerakan 30 September menyeret PKI.
Tidak ada kejadian berarti dalam beberapa hari pertama setelah peristiwa itu, di Aceh.
Dalam The Army and the Indonesian Genocide (2018) yang disusun oleh peneliti sejarah dari Australia, Jess Melvin, mengutip sebuah pengakuan dari Asan, seorang pentolan PKI di Aceh yang diwawancarainya pada 2011.
Pada hari pertama setelah mendengar kabar tersebut dari stasiun radio, Asan berjalan keluar rumah dan melihat bahwa tidak ada efek berarti dari siaran radio tersebut. Semua kegiatan berjalan normal.
Masih berdasarkan hasil penelitian Melvin, sore hari, ketika Adamy tiba di Banda Aceh dari kota Medan selepas menemani kunjungan Soebandrio dan Njoto, mereka bertemu di kantor PKI di kawasan Neusu menjelang senja. Lalu, menggunakan sepeda, mereka menuju kantor Front Nasional –sebuah organisasi massa bentukan negara– dimana mereka berharap mendapatkan pemahaman yang baik mengenai apa yang terjadi di Jakarta. Namun, kantor tersebut kosong dan mereka memutuskan berpisah kembali ke rumah masing-masing.
Di titik ini, Asan berpendapat, Adamy sendiri dihadapkan pada kebingungan tentang apa yang terjadi saat itu, sehingga mustahil mengetahui dan atau bahkan mempersiapkan gerakan tersebut.
Namun, Rusdi Sufi dalam bukunya Krisis Nasional dan Masa Peralihan Aceh (1965-1967) menyebutkan bahwa Adamy, yang jago berorasi, telah memulai aksinya di Aceh jauh sebelum peristiwa pembunuhan jenderal itu terjadi.
Dalam setiap rapat umum, Thaib kerap berpidato menjelekkan pemerintah. Sehingga, ketika peristiwa Gerakan 30 September terjadi, maka rakyat dan pemerintah di Aceh menyadari bahwa isi pidato yang sebelumnya disampaikan oleh Adamy tersebut adalah rangkaian dari pra kondisi gerakan tersebut.
Pada 4 Oktober, diadakan rapat di pendopo Gubernur Aceh yang dihadiri oleh lima pimpinan daerah (disebut Panca Tunggal) untuk menentukan sikap dan menentukan status keadaan paska peristiwa 30 September.
Tanggal 6 Oktober, dilakukan rapat lintas partai politik yang mengutuk peristiwa 30 September dan menuntut dibubarkannya PKI dan ormasnya. Pada hari yang sama di Banda Aceh, sore hari, terjadi aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kader PNI dan ormasnya, menuntut dibubarkannya PKI. Mereka berkeliling kota Banda Aceh dan mencabut segala atribut PKI yang terpasang dan membakarnya.
Kemarahan massa boleh disebut memuncak pada 7 Oktober. Ulf Sundhaussen dalam studinya The Road to Power (1982), menyebutkan, pemicunya adalah ketika rakyat Aceh mendengar rumor bahwa pihak komunis membalas dendam dengan menyerbu serta membunuh warga Aceh yang berada di asrama Tjut Njak Dien, Jogjakarta. Hal ini membuat masyarakat menabuh gong jihad (perang suci) untuk membumihanguskan paham komunis di Aceh.
Pada tanggal tersebut mahasiswa juga mulai menyatakan sikap. Sekitar 200 orang berunjuk rasa di Darussalam, mengutuk peristiwa 30 September dan menuntut rektor membubarkan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang terafiliasi PKI serta mendesak rektor mencoret nama-nama mahasiswa yang menjadi anggota CGMI. Rektor Universitas Syiah Kuala kala itu, A Madjid Ibrahim, memenuhi tuntutan pembubaran CGMI.
Pada pukul 10 pagi di hari yang sama, rumah pimpinan PKI Aceh, Thaib Adamy, yang berada di kompleks PJKA, digerebek. Berdasarkan laporan militer, ditemukan dokumen, granat tangan dalam keadaan berkarat, peluru dan selongsong peluru. Dalam bagian lain, ditemukan sejumlah tanda-tanda pangkat yang menyerupai tanda pangkat TNI dalam keadaan setengah jadi.
Pada peristiwa ini, Yusni, anak sulung Thaib yang mencoba mempertahankan properti milik keluarganya yang dijarah, diculik dan lalu menghilang, diduga dibunuh. Cerita penemuan granat dan senjata api ini dibantah oleh Setiadi.
Sore harinya, massa dari beberapa partai politik dan organisasi seperti PSII, Perti, NU, GMNI dan HMI mengelilingi kota dan kemudian menuju Neusu membongkar rumah Tjut Husein seorang pengurus PKI. Sasaran lain adalah rumah milik Sumbowo yang juga dibongkar dan dibakar. Sebagian diselamatkan karena dicegah oleh aparat keamanan.
Aksi corat-coret spanduk juga terjadi, yang dominan berbunyi, “Bubarkan PKI dan antek-anteknya”, “Hukum mati gembong PKI Aceh; Samadikin, Thaib Adamy, Anas, dan lain-lain”,” Ganyang Soebandrio antek PKI”, dan “Ganyang PKI anti Tuhan.”
Para pengurus PKI Aceh dan kadernya sejak 7 Oktober mulai berangsur meninggalkan kota Banda Aceh. Seperti Thaib Adamy yang menuju kampung halamannya di Idi, Aceh Timur dan menitipkan keluarganya disana.
Belakangan, Thaib Adamy dipecat dari tugas dan jabatannya sebagai anggota DPRD Gotong Royong Tingkat I (Provinsi). Demikian pula beberapa nama lain yang diketahui sebagai petinggi PKI Aceh, yaitu Annas HC diberhentikan sebagai anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Tingkat I. Mohammad Samidikin, diberhentikan sebagai anggota Front Nasional Tingkat I dan M. Sjukur diberhentikan dari jabatan Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I.
Thaib sendiri—setelah memastikan keselamatan keluarganya—mencari perlindungan ke Takengon. Ia pergi ditemani Yasrun, 15 tahun, anak kedua dari 9 anak yang dimilikinya bersama perkawinannya dengan sang istri, Samiah. Namun, dalam perjalanan Thaib ditangkap di dalam bus oleh sejumlah pihak lalu diserahkan ke petugas keamanan.
Menurut cerita Setiadi, anak Thaib Adamy, belakangan ia dibawa ke Banda Aceh dan dan dieksekusi tembak di Lhoknga.
Informasi itu ia peroleh dari seorang tentara yang masih kolega keluarga mereka yang ikut dalam rombongan eksekutor. Nasib Yasrun yang menyertainya tidak diketahui hingga kini.
Selepas itu, menyadari jejak persembunyian di Idi tercium massa, Samiah memboyong anak-anaknya ke Medan. Namun, disana ia juga terendus aparat. Ia lalu diciduk dengan tuduhan anggota Gerwani. Ia ditahan tanpa proses pengadilan dan baru dilepaskan pada tahun 1977.
Para kader dan orang yang terafilisasi PKI di Aceh yang sempat bersembunyi sebagian muncul kembali dan meminta perlindungan pemerintah. Mereka tidak tahan terus diuber oleh massa yang terprovokasi.
Pada awalnya, orang yang meminta perlindungan berjumlah 55 orang, kemudian dikumpulkan di rumah tahanan militer Pomdam-I. Jumlah orang yang meminta perlindungan berkali lipat jumlahnya di kemudian hari, tidak termasuk dengan yang tertangkap.
Jess Melvin, dalam buku The Army and the Indonesian Genocide (2018) menyebutkan hanya ada 1 orang kader PKI di Aceh yang berada dalam struktur kepengurusan partai yang tidak kehilangan nyawanya.
Jess memperkirakan ada 3.000-10.000 orang tewas di Aceh dalam kejadian ini.
Sementara versi militer, total orang komunis yang terbunuh atau hilang di Aceh sekitar 1.941 jiwa. Target yang menjadi sasaran pembunuhan adalah mereka yang tergolong dalam klasifikasi A, yaitu kader PKI.
Sementara klasifikasi B adalah anggota organisasi yang terafiliasi PKI. Klasifikasi C adalah anggota keluarga kader PKI dan anggota keluarga orang yang bergabung dengan organisasi terafiliasi PKI. Sementara klasfikasi D adalah teman, kerabat, orang-orang tertentu di komunitas/kampung kader PKI, serta warga keturunan Tionghoa.
Bagi yang tidak terbunuh, maka ia beruntung karena hanya masuk dalam klasifikasi B, C, dan D sebagai kelompok yang tidak terlalu berbahaya dan hanya masuk kamp penahanan, lalu dibebaskan setelah bertahun-tahun diisolasi. Namun kelak mereka tetap mendapat dampak diskriminasi yang sistematis.
Pada 8 Oktober, kerusuhan berlanjut. Salah satu sasaran massa dari partai politik dan ormas adalah kantor dan rumah pimpinan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), sebuah ormas yang banyak beranggotakan warga keturunan Tionghoa.
Rumah Samidikin, Sekretaris Pertama Komite Aceh PKI juga jadi sasaran pada hari tersebut. Buku dan mesin tik yang ditemukan dirumahnya dibakar. Unjuk rasa juga meluas ke kota Meulaboh.
Pada malam hari, sekitar jam 20.00 WIB, bertempat di Masjid Raya Baiturrahman, dilaksanakan rapat akbar. Dihadiri sekitar 10 ribu orang yang diisi orasi rinci tentang apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September di Jakarta dan hal-hal lain yang berhubungan tentang peristiwa tersebut.
Tanggal 9 Oktober, pengrusakan oleh massa merambat hingga ke Sinabang. Sasarannya adalah kantor Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dengan dampak pembakaran. Pukul 6.00 pagi, di Meulaboh, ditemukan jenazah anggota Pemuda Rakjat, sayap pemuda PKI, di dalam sebuah selokan.
Di Sigli, terjadi pengrusakan beberapa toko milik keturunan Tionghoa. Para kader PKI di Sigli menyingkir ke Kota Bakti.
Di Banda Aceh, diselingi beberapa kejadian evakuasi anggota keluarga kader PKI yang meminta perlindungan, aparat juga mengamankan Samidikin dan A. Rauf yang datang secara sukarela meminta perlindungan aparat.
Aparat militer dan polisi juga memberikan penerangan kepada masyarakat agar menjaga ketertiban dan tidak dibenarkan lagi mengadakan aksi unjuk rasa. Jam malam diberlakukan.
Pada hari-hari berikutnya, hingga pertengahan Desember, unjuk rasa meluas hampir ke seluruh wilayah Aceh. Penculikan, pemberhentian pegawai pemerintah, penangkapan, penganiayaan, perampasan dan penemuan mayat yang diduga kader PKI atau terafiliasi PKI mulai menjadi berita yang kerap didengar.
Sebagian yang “memenuhi syarat” dan lolos dari pembunuhan, kembali disumpah oleh ulama untuk kembali ke jalan yang benar dan melepaskan diri dari partai beserta ideologi sesat yang melekat.
Pada 6 Desember Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada) mengadakan indoktrinisasi kepada para WNI keturunan Tionghoa yang dihadiri sekitar 700 orang bertempat di bioskop Merpati Peunayong.
Keadaan yang terjadi hari per hari ini memperburuk keadaan ekonomi yang memang sudah teruk sebelum meletusnya peristiwa ini. Secara umum, kondisi ini mengkhawatirkan pihak militer akan menimbulkan masalah sosial baru yakni meningkatnya jumlah pengangguran beserta dampak psikologisnya. Oleh karena itu, Pepelrada bahkan mengeluarkan keputusan melarang para pedagang dan pengusaha menghentikan pelayanan usahanya, menimbun barang dan menaikkan harga dari HET berlaku atau akan ditindak dengan jerat pasal subversif.
Lalu, pada akhirnya, 19 Desember 1965, malam hari, di halaman Mesjid Raya Baiturrahman, diadakan rapat akbar dan mengambil keputusan membubarkan PKI dan ormasnya dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Peristiwa ini menjadi titik landai tragedi kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di bumi Aceh sepanjang triwulan akhir tahun tersebut.[]
PENULIS: HENDRA FAHRIZAL