Oleh: De Jong Atjeher
Burong tujoh dimaknai sesuatu yang harus terus dipelihara, diberi sesajen untuk menjamin taat. Jika kuramg sesajen bisa saja memakan si pemilik. Kehidupan politik di Aceh lagee ta peulara burong tujoh.
Para politikus adalah pemelihara. Pemilihnya tamsilan burong tujoh. Ini dapat kita lihat dari besarnya biaya politik, bukan hanya saat pemilihan, bahkan ketika telah menjabat. Jika gagal merawat konstituen, maka pemilihan selanjutnya payah lieh singkee.
Bayangkan, saat maju sudah harus mengeluarkan biaya yang besar. Bukan hanya untuk pengeluaran legal, bahkan untuk membeli suara, serta menyogok pihak pihak tertentu untuk mendapat kursi.
Setelah mendapat kedudukan (kursi) apakah sesajen selesai? Tentu saja tidak. Mereka tetap menuntut perhatian. Kalau sesajen tak lancar, maka caci maki dan hinaan akan mengalir. Dan ini tentu akan mengancam perolehan suara di Pemilihan Umum (Pemilu) selanjutnya.
Lalu jika pengeluaran politisi melebih penghasilan halal. Jalan lain adalah melalui cara haram. Jangan heran jika mereka kemudian menjual kewenangan dan mengambil manfaat dari anggaran. Berbagai cara pat gulipat dilakukan untuk menjaga sesajen, merawat pemilih, mengembalikan modal dan mencari keuntungan sebesar besarnya. sipat tak beuna peuet pat parot.
Jadi mengharap penyelenggara urusan publik jujur dan benar, sementara mereka untuk mendapat kursi itu dengan membeli suara atau SK itu lagee ta harab boh ara hanyet. Inilah salah satu kelemahan demokrasi, suara terbanyak dianggap sebagai pemenang, maka jual eli suara dan hikayat peulara burong tujoh dalam politik tetap saja terjadi. Bukan hanya di Aceh tapi secara nasional.
Rakyat pemilih selaku burong tujoh dalam sistem demokrasi tentu saja memanfaatkan situasi ini untuk mencari cuan kala pesta lima tahunan, dan politisi pemburu kursi selaku pemelihara burong tujoh juga punya tujuan mengamankan perolehan suara dari konstituen, sehingga dalam hubungan yang saling membutuhkan itu, tabiat aji mumpung burong tujoh dan pemeliharanya tetap saja menjadi noda dari demokrasi itu sendiri.
Kelemahan demokrasi seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Mari kita lihat apa yang laporan Transparency Internalsional sebagaimana dilansir katadata.co.id. Thailand dan Filipina merupakan dua negara dengan tingkat jual-beli suara terbesar. Sebanyak 28 persen responden mengaku pernah mendapat tawaran penyuapan guna menjual hak suaranya.
Semetara di Indonesia sedikit di bawah kedua negara itu, yakni 26 persen responden mengaku pernah disuap saat Pemilu. Karena itu jangan heran ketika kemudian pemerintah dijalankan untuk kepentingan pribadi, karena mereka perlu cuan untuk merawat dan memelihara burong tujoh. []