Strategi perang ke Front Medan Area itu disusun oleh Presiden Soekarno bersama Teungku Muhammad Daod Beureu’eh, Kolonel Husein Yusuf dan Cek Mat Rahmany di Bireuen, disebut sebagai Bireuen Agreement.
Pertanyaan mengapa Bireuen disebut sebagai Kota Juang kerap menghiasi berbagai forum diskusi, baik forum resmi maupun pembicaraan lepas antar masyarakat. Pertanyaan semacam itu sangatlah beralasan, karena tanda-tanda peninggalan Bireuen sebagai kota juang sangat minim.
Yang lebih mencemaskan lagi adalah generasi muda Bireuen sendiri kurang paham tentang asal usul penyebutan Bireuen sebagai kota juang, meski sebagian masyarakat Bireuen mengetahui tentang kedatangan Presiden Soekarno ke Bireuen pada tahun 1948, tapi tidak memahami apa yang dilakukan Soekarno di Bireuen.
Pemberian gelar Bireuen sebagai Kota Juang merupakan kesepakatan para pejuang Angkatan 45. Salah satu tokoh dalam angkayan 45 itu adalah Bustanil Arifin yang kemudian menjadi Menteri Koperasi Republik Indonesia. Julukan Bireuen sebagai kota juang salah satunya diberikan karena Bireuen merupakan tempat markas Komando Divisi-V/Tentara Republik Indonesia (TRI) Komandemen Sumatera.
Kisahnya bisa dibaca dalam buku Atjeh Modal Revolusi 45 yang ditulis olehKomite Musyawarah Angkatan 45 Daerah Istimewa Aceh. buku ini diterbitkan pada tahun 1960 di Banda Aceh oleh Seksi Penerangan/Dokumentasi Komite Musyawarah Angkatan 45 Daerah Istimewa Atjeh.
Baca Juga: Gunongan Taman Ghairah Raja di Tengah Kota
Alasan lainnya Bireuen menjadi Kota Juang adalah segala strategi pemberangkatan pasukan dari Aceh ke Sumatera Timur untuk perang merebut Medan dari Sekutu/NICA disusun disusun di Komando Divisi-V/TRI Komandemen Sumatera di Bireuen. Pasukan dari Aceh yang diberangkatkan ke Sumetara Timur itu dinamai Resimen Istimewa Medan Area (RIMA).
Tentang pemberangkatan pasukan RIMA dari Aceh ke Sumatera Timur (kini Sumatera Utara) itu bisa dibaca dalam buku yang ditulis oleh pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh, Teuku Alibasjah Talsya, Modal Perjuangan Kemerdekaan. Buku ini diterbitkan di Banda Aceh pada tahun 1990 oleh Lembaga Sejarah Aceh.
Selain itu, strategi perang ke Front Medan Area itu disusun bersama oleh Presiden Soekarno bersama Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Jenderal Mayor Tituler Teungku Muhammad Daod Beureu’eh, Kolonel Husein Yusuf dan Cek Mat Rahmany, strategi itu disebut sebagai Bireuen Agreement.
Lebih jelas tentang Bireuen Agreement bisa dibaca dalam buku Jihad Akbar di Medan Area. Buku ini ditulis oleh Amran Zamzami dan diterbitkan pada tahun 1990 di Jakarta oleh Penerbit Bulan Bintang.
Baca Juga: Pesawat Seulawah RI 001 dan Kisah Jamuan Makan Soekarno
Pemilihan Bireuen sebagai tempat markas Komando Divisi V/TRI Komandemen Sumetara itu juga dilakukan dengan berbagai pertimbangan, antara lain Bireuen sebagai kota cukup terawat, bersih dan penduduknya pun heterogen. Walau Bireuen hanya sebuah kota kewedanaan namun sejak zaman Belanda dan juga pada zaman Jepang digunakan sebagai kota transit.
Dari Bireuen lebih mudah mencapai Takengon, ibu kota Aceh Tengah. Aceh Tengah terdiri dari daerah pegunungan dengan kelebatan hutan-hutannya. Tempat itu sangat strategis sebagai pusat gerilya, karena keadaan medan penuh tebing curam dengan batu cadas tajam dan memiliki potensi sumber daya manusia serta perbekalan.
Penunjukan Bireuen sebagai Markas Komando Divisi V/TRI Komandeman Sumetara juga dilakukan karena letaknya antara timur dan barat, sehingga kekuatan dari bagian barat dan timur Aceh bisa dikomandoi dari sana. Selain itu di Bireuen para pemimpin divisi dan resimen dari berbagai kesatuan dan daerah mudah berkumpul untuk mengatur taktik peran dan perlawanan.
Baca Juga: Jejak Atjeh Bioscoop Dalam Fragmen Sejarah
Alasan lain Bireuen disebut sebagai Kota Juang adalah, karena di Bireuen pada masa awal kemerdekaan juga sudah didirikan sekolah pendidikan untuk calon perwira dan bintara atau kadet TRI, sekolah itu dinamai “Komando Militer Akademi Bireuen” disingkan KMA-Bireuen. Operasional KMA-Bireuen ini dibiayai dari hasil penjualan hasil bumi seperti karet mentah yang didapat dari beberapa perkebunan karet di Aceh.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, pada 27 Desember 1939 di Bireuen juga didirikan sekolah Ma’had al-Mualimin atau Normal Islam Institut (NII) sekolah pengkaderan guru untuk persiapan pembukaan sekolah di seluruh Aceh. Sekolah ini didirikan oleh Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Bisa dibaca dalam buku Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, diterbitkan di Jakarta pada tahun 1979 oleh Penerbit Mutiara.
Itulah beberapa alasan mengapa Bireuen disebut sebagai Kota Juang. Tapi, selain alasan-alasan tadi, tentu juga ada alasan-alasan lainnya dari para pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh, yakni angkatan 45 dalam menetapkan status kota Bireuen dengan julukan sebagai Kota Juang.[]