Benteng Indra Patra atau lebih dikenal sebagai Benteng Inong Balee merupakan salah satu situs objek wisata sejarah heroisme perempuan Aceh dalam perang.
Benteng Indra Patra berada di bibir pantai desa Lamdong, Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Menuju ke lokasi benteng tidak lah begitu sulit, jika Anda berada di Banda Aceh, dapat mengendarai sepeda motor atau mobil ke arah Krueng Raya melewati Ujong Batee, dan berhenti di desa Lamdong, selanjutnya papan penunjuk arah yang menjelaskan di mana lokasi benteng dapat memudahkan Anda ke sana.
Dari beberapa literature sejarah, salah satunya buku Prof Ali Hasjmy, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah yang diterbitkan pada tahun 1983 di Jakarta oleh Penerbit Beuna, menceritakan bahwa Benteng Indra Patra dibangun oleh keturunan Raja Harsya pada tahun 604 Masehi.
Baca Juga: Darma Wangsa Tun Pangkat Sisi Lain Sultan Iskandar Muda
Semula bangunan ini merupakan tempat tinggal keluarga raja dan digunakan untuk kegiatan ritual. Namun ketika Sultan Iskandar Muda merebutnya dari Portugis, peninggalan kerajaan Hindu tersebut berubah fungsi menjadi tempat penyimpanan senjata, seperti meriam dan bedil, serta salah satu markas angkatan laut Kerajaan Aceh yang dipimpin Laksamana Malahayati.
Ada juga yang menyebutkan bahwa benteng ini dibangun pada masa Kesultanan Aceh Darussalam dalam upaya menahan serangan Portugis. Karena menurut sejarah, benteng pertahanan yang terletak di pinggir pantai adalah pertahanan utama sebuah daerah atau kerajaan. Jika benteng di pinggir pantai sudah dikuasai musuh, otomatis daerah atau kerajaan tersebut dengan mudah dapat ditaklukkan.
Benteng Indra Patra terbuat dari semen dan batu sungai. Tinggi masing-masing sisi benteng sekitar enam meter. Di dalam komplek benteng terdapat beberapa bangunan yang semuanya juga terbuat dari batu, diantaranya ada bangunan yang berupa persegi. Konon, bangunan tersebut digunakan sebagai tempat berunding atau rapat. Yang menarik, ada sebuah bangunan menyerupai kolam terletak persis di bawah sebuah pohon besar, bangunan tersebut menyerupai tempat pemandian yang ukurannya lebih rendah.
Baca Juga: Kekuatan Armada Perang Aceh Dalam Sejarah
Laksamana Malahayati merupakan inisiator terbentuknya Pasukan Inong Balee, divisi tentara perempuan di Kerajaan Aceh. Kesuksesannya memimpin pasukan itu mengantarnya menjadi seorang admiral perempuan pertama di dunia.
Posisi Aceh secara geografis di Selat Malaka membuat perairan Aceh banyak dilalui dan dan disinggahi kapal asing untuk membeli rempah-rempah, baik secara resmi maupun ilegal. Untuk menertibkan hal tersebut Kerajaan Aceh membentuk angkatan laut yang tangguh dan diplomat handal.
Kedatangan kaum imperialis dan kolonialis kemudian membuat kekacauan di Selat Malaka, untuk itu Kerajaan Aceh harus mengambil tindakan. Bangsa asing pertama yang melakukan kontak dan berkonflik dengan Aceh adalah Portugis pada awal abad XVI. Portugis mencoba merebut Selat Malaka dari Aceh pada tahun 1511 masehi.
Waktu itu Portugis berusa melakukan intervensi teradap kerajaan-kerajaan di Selat Malaka, baik Aceh maupun Malaya, hingga kemudian Portugis berhasil merebut Malaka. Kerajaan Aceh kemudian berusaha mengusir bangsa asing tersebut dari kawasan Selat Malaka.
Baca Juga: Awal Mula Hubungan Militer Aceh dengan Turki
Sejarawan Aceh, Rusdi Sufi dalam tulisannya Laksamana Keumalahati  mengungkapkan, perlawanan Kerajaan Aceh dilakukan karena Portugis dianggap sebagai agresor yang telah merusak kedamaian dan jaringan perdagangan di kawasan Malaka. Konflik antara Aceh dengan Portugis berlangsung sepanjang abad XVI hingga XVII. Salah seorang yang memiliki peran dalam perlawanan terhadap Portugis itu adalah Malahayati.
Marie Van Zeggelen dalam buku Oude Glorie  terbitan Uitgeverij Conserrne, Den Hag, 1935, menjelaskan, Malahayati adalah wanita yang berpangkat laksamana (admiral) Kerajaan Aceh, yang memimpin armada laut pada masa pemerintahan Sulthan Alaiddin Riayatsyah Al Mukamil (1589-1604). Sebelum diangkat menjadi admiral, Malahayati bertugas sebagai panglima pasukan perempuan (sipai inong) di kerajaan Aceh. Karena keberhasilannya memimpin pasukan perempuan, ia diangkat menjadi laksamana.[]