BANDA ACEH | ACEH INFO – Proses reintegrasi Aceh selama ini sudah berjalan lancar seiring hampir 17 tahun perdamaian terjadi. Namun, hingga sekarang belum sepenuhnya implementasi MoU Helsinki final, seperti halnya terkait poin pemberian lahan untuk korban konflik dan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Alhamdulillah proses reintegrasi ini sudah berlangsung. Pihak GAM sudah mengintegrasi semua pasukannya dan masyarakat sudah hidup dalam masyarakat. Namun, ada hak-haknya yang belum tersampaikan dan terpenuhi. Tidak semuanya,” kata Deputi II Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Tgk Amni dalam diskusi Aceh Resource and Development (ARD) yang membahas soal percepatan penyelesaian hak-hak eks kombatan, eks tapol/napol dan korban konflik di Aceh, di Kriyad Muraya Hotel, Banda Aceh, Rabu, 27 Juli 2022.
Tgk Amni mengakui terdapat kendala dalam hal pemberian lahan seperti yang disepakati dalam perundingan damai MoU Helsinki pada 15 Agustus 2005 lalu. Salah satunya adalah tidak adanya kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk memberikan lahan dalam kawasan hutan.
“Di sejumlah kabupaten/kota itu tidak punya tanah areal penggunaan lain (APL) dan itu menjadi kendala yang sangat besar. Karena bupati daerah itu sendiri, dia punya kekuasaan untuk memberikan tanah untuk diretribusikan dalam kawasan APL,” kata dia.
Sementara itu, Khairil dari Koalisi NGO HAM menyebutkan pihaknya sudah pernah mengirimkan surat kepada BRA yang mempertanyakan jumlah data korban konflik penerima lahan. Namun, surat tersebut tidak mendapat balasan.
“Dimana lahan itu akan diberikan? Sebab kita tahu semua lahan di Aceh ini sudah banyak perusahaan yang berdiri. Bagaimana mekanisme pembagian lahan tersebut?”
Di kesempatan yang sama, praktisi hukum Siti Rahmah menyebutkan perlunya keseriusan dari pemangku kepentingan di Aceh agar bisa mengambil kebijakan yang menyejahterakan masyarakat korban konflik. Apalagi permasalahan tersebut sudah berjalan sekian lama dan belum ada kejelasan dari pemerintah.
“Hari ini banyak permasalahan yang belum konkrit. Ini hanya butuh regulasi saja, kalau regulasinya sudah jalan, maka bisa jalan,” kata Siti Rahmah.
Permasalahan ketiadaan lahan untuk penyaluran tanah bagi mantan kombatan dan korban konflik juga diakui oleh Deputi I BRA Bidang Kebijakan dan Kajian Strategis, Agusta Mukhtar. Dia mengatakan jika pun terdapat tanah yang tak berpenghuni, tetapi kualitas tanah tidak bagus. “Ini masalah tanah adalah amanah MoU Helsinki,” kata Agusta Mukhtar.
Di sisi lain, Dosen Hukum USK, Bakti Siahaan justru menyorot data jumlah tapol/napol dan orang-orang korban konflik yang berbeda. Dia mencatat mantan kombatan GAM yang ada mencapai 37 ribu lebih. Sementara jumlah Tapol/Napol 4.000 lebih dan korban konflik 3.000 jiwa.
“Di sini harus memperjelas posisi BRA. Apakah bersifat final untuk menyatakan proses penyelesaian hak-hak korban konflik, sehingga kita akan bertanya siapa yang bertanggungjawab untuk menyelesaikan hak-hak,” kata Bakti Siahaan.
Dia juga berharap forum diskusi ini serius untuk menyelesaikan permasalahan lahan kombatan, Tapol/Napol, dan korban konflik yang belum direalisasikan. Sementara jika diserahkan kepada BPN, maka harus ada instruksi khusus lantaran badan tersebut bekerja sangat domenklaturis.
“Catatan saya mari konkritkan untuk menyelesaikan lahan eks kombatan, Tapol-Napol dan korban konflik dan kemudian meminta kepada siapa pemegang mandat tertinggi, sehingga masukan ini harus sampai kepada presiden,” pungkasnya.[]
EDITOR: BOY NASHRUDDIN AGUS