29.9 C
Banda Aceh
spot_img

TERKINI

Aceh Perlu Qanun Kebudayaan Yang Komprehensif

Untuk menjawab berbagai tantangan kebudayaan, Aceh memerlukan adanya qanun yang komprehensif. Qanun Nomor 12 Tahun 2004 tentang Kebudayaan Aceh dinilai masih belum menyentuh hal-hal subtansial.

Hal itu terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) Penyusunan Materi Teknik dan Naskah Akademik Qanun Kebudayaan Aceh Tahun 2022 yang digelar Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, 14 – 16 Juli 2022 di Banda Aceh.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Aceh Almuniza Kamal menjelaskan, FGD tersebut bertujuan untuk melahirkan sebuah dokumen teknis terkait pengelolaan kebudyaan Aceh, semakin banyak yang berpikir tentang kebudayaan, semakin baik dan bermanfaat untuk pengembangan dan pelestarian kebudayaan Aceh.

“Saya berharap FGD ini bisa memberikan buah pikir yang terbaik untuk menghasilkan qanun yang komprehensif dalam pelestarian, pengembangan, perlindungan dan pemanfaatan kebudayaan Aceh untuk pembangunan Aceh yang lebih baik,” harap Almuniza Kamal.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Bidang (Kabid) Sejarah dan Nilai Budaya Disbudpar Aceh, Evi Mayasari selaku pelaksana kegiatan mengungkapkan, FGD digelar untuk menjawab berbagai tantangan kebudayaan, sehingga melahirkan payung hukum yang lebih luas untuk mengelola kebudayaan Aceh secara lebih baik.

“Semoga melalui FGD ini nantinya akan memberikan berbagai masukan untuk menghasilkan qanun yang lebih aspiratif dan bisa digunakan oleh setiap elemen penggiat kebudayaan,” ujarnya.

Baca Juga: Meudiwana dan Seumajoh Pada Hari Meugang

FGD yang dipandu Bulman Satar selaku moderator itu juga menghadirkan Basuki dan Sulistiyo tenaga ahli dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemenristek). Basuki memaparkan, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2004 tentang Kebudayaan Aceh sudah 18 tahun, perlu diselaraskan lagi agar lebih optimal dalam pengembangan kebudayaan Aceh.

Masih ada hal-hal subtansial yang belum teraktub dalam Qanun Nomor 12 tahun 2004, sehingga perlu ada tinjauan relevansinya, serta penambahan nomenklatur baru sesuai situasi dan kondisi saat ini, perlu diselaraskan dengan perkembagan kebudayaan Aceh,” ungkap Basuki.

Hal yang sama juga disampaikan Sulistiyo, dinamika kebudayaan Aceh terus tumbuh dan berkembang, tapi di sisi lain tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai kebudayaan Aceh mendesak untuk dilindungi. Karena itu lahirnya nomenklatur berbagai perundangan perlu diselaraskan, sehingga qanun kebudayaan Aceh yang dihasilkan nanti bisa memayungi semua pihak.

Begitu juga dengan mantan pejabat (pensiuan) Disbudpar Aceh, Radius yang hadir sebagai peserta FGD tersebut, ia menyarankan agar Qanun Nomor 12 Tahun 2004 itu disesuikan kembali dengan perkembangan terkini, salah satunya terkait penyebutan nama Aceh yang dulunya disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam kini menjadi Pemerintah Aceh, sehingga penamaan qanun langsung menjadi Qanun Aceh, tidak lagi Qanun Nanggroe Aceh Darussalam. “Jadi kesimpulannya memang harus direvisi dan disesuaikan dengan nomenklatur baru,” katanya.

Baca Juga: Jejak Atjeh Bioscoop Dalam Fragmen Sejarah

Peserta lainya Ruslan akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry malah menyarankan agar Qanun Kebudayaan Aceh diubah namanya menjadi Qanun Pembangunan dan Pelestarian Kebudayaan Aceh agar lebih mengarah dengan penambahan-penambahan objek,mulai dari objek kebudayaan, pengurus lembaga kebudayaan, pelestari kebudayaan, situs kebudayaan, manuskrip, seni tradisi, permainan tradisional, upacara-upacara tradisional dan lain sebagainya.

“Qanun ini nantinya harus mampu memberikan perlindungan dan penghargaan terhadap para pelaku budaya dengan karya-karyanya secara ekonomi, serta harus mampu melindungi dan memproteksi benda-benda dan produk kebudayaan peninggalan masa lalu tidak diperjuabelikan. Kelompok-kelompok pelaku dan penggiat kebudayaan selama ini juga masih jalan sendiri-sendiri sehingga tidak berkembang, banyak sanggar yang hidup segan mati tak mau, ini juga harus jadi perhatian,” sarannya.

Sementara itu Alfiansyah yang juda dari UIN Ar Raniry agar Qanun Kebudayaan Aceh juga perlu mengakomodir etnis-etnis lain yang ada di Aceh. Malah ia mengimbau agar nama qanun tersebut diubah menjadi qanun tentang kebudayaan di Aceh, sehingga tidak terkesan hanya soal budaya Aceh saja, tapi mencakup budaya dari semua etnis yang ada di Aceh.

Baca Juga: Kisah Atjeh Band dan Juliana Club Tempat Dansa Orang Eropa di Aceh

Terkait hal itu budayawan dan jurnalis senior Barlian AW malah menyarankan agar ada BAB khusus dalam qanun terkait perbedaan budaya antar etnis di Aceh sehingga tidak terjadi benturan, harus mencakup pemeliharaan dan penggalian nilai-nilai budaya itu sendiri dan perkembangannya pada masa yang akan datang.

“Di Aceh ada 8 etnis dan 10 bahasa, ini harus terakomodir dalam qanun, perlu ada penjagaan terhadap nilai-nilai asli dari setiap objek kebudayaan itu sendiri karena banyak yang sudah terdegradasi,” jelasnya.

Barlian AW mencontohkan, rusaknya bahasa Aceh dalam lagu-lagu, serta rusaknya keaslian pakaian adat Aceh masa kini seperti pada pakaian adat dan pelaminan pada acara pernikahan yang sudah tidak lagi menunjukkan kekhasannya. “Bahasa telah dirusak oleh penyanyi, pakaian telah dirusak oleh penghias pelaminan. Ini harus jadi perhatian, kalau perlu harus adanya badan sensor lagu Aceh,” tambahnya.

Masukan lainnya disampaikan oleh praktisi adat Sanusi M Syarief yang menyarankan agar qanun kebudayaan juga bisa memuat hal-hal terkait Hak Kekayaan Intelektual (HaKI), sehingga ketika ada produk kebudayaan Aceh yang dikomersilkan oleh pihak luar ada nilai ekonomis yang diterima oleh daerah Aceh.

“Bicara adat dan kebudayaan itu juga bicara hak itelektual, misalnya nanti Pinto Aceh diproduksi dna dikomersilkan oleh orang lain itu harus bayar ke Aceh selaku pemilik hak patennya,” imbaunya.

Baca Juga: Pesawat Seulawah RI 001 dan Kisah Jamuan Makan Soekarno

Saran lainnya juga disampaikan Salman Alfarisy yang mengharapkan agar adanya kejelasan tentang penggunaan atribut kebudayaan, seperti penggunaan rencong pada acara tertentu sebagai kelengkapan pakaian adat Aceh. Tapi pada acara tertentu yang dihadiri oleh pejabat tinggi negara malah penggunaan rencong dilarang karena dianggap sebagai senjata tajam.

Sementara itu penutut tradisi lisan Aceh, Medya Hus mengharapkan agar isi qanun kebudayaan tidak berbenturan, memberi penghargaan kepada pelaku seni dan budaya. “Qanun jangan amburadul. Memelihara hasil karya itu lebih penting. Bagaimana qanun ini anantinya bisa melindungi hak-hak dan hasil karya para pelaku seni dan kebudayaan di Aceh,” harapnya.

Terkait masih banyaknya hal dalam Qanun Nomor 12 Tahun 2004 tersebut, Ketua Masyarakat Naskah Nusantara Hermansyah malah menilai qanun tersebut bukan hanya direvisi tapi kalau perlu dibuat baru yang lebih komprehensif. “Mana yang lebih bagus merevisi atau membuat baru, karena sangat banyak hal yang harus direvisi dalam qanun ini,” ungkapnya.[]

Baca Juga: Benteng Indra Patra Riwayat Patriotik Inong Balee

spot_img

Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

spot_img

INDEKS