Pada 9 Januari 2001, pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia (RI) setuju untuk mengawali sebuah pendahuluan dan musyawarah yang melibatkan elemen yang lebih luas dari masyarakat Aceh.
Pengaturan kemanan juga dimaksudkan untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan. Untuk tujuan ini, Komite Bersama untuk Aksi Kemanusiaan (KBAK) tetap dipertahankan selama dibutuhkan, hanya personelnya yang dikurangi menjadi tiga orang dari para pihak.
Lebih jelasnya, point-point pengaturan kemanan tercantum dalam Kesepahaman Provisional antara Pemerintah RI dengan GAM. Ada sepuluh point pengaturan kemanan yakni:
Penghentian segala bentuk kekerasan, ancaman kekerasan, intimidasi, dan perusakan harta benda. Penghentian setiap aksi ofensif. Membangun dan menguatkan Aturan Dasar yang ada.
Baca Juga: Pasukan Aceh Gempur Sekutu di Medan Area
Ketika kekerasan berkurang, pengurangan yang seimbang dilakukan terhadap pasukan non-organik di bawah TNI atau Polri, dan juga dilakukan oleh GAM dengan menon-aktifkan dari proporsi yang seimbang dari jumlah pasukannya, termasuk dengan kembali ke daerah asal mereka dan pekerjaan sehari-hari mereka.
Kerja sama antara GAM dan TNI/Polri dalam bagaimana menghilangkan elemen bersenjata yang tidak teridentifikasi. Pelarangan penganiayaan atau penyerangan terhadap pasukan manapun, ataupun anggota yang tidak membawa atau menggunakan senjata mereka.
Ekspansi Tim Monitoring yang bersifat imparsial ke seluruh kabupaten di Aceh yang bermasalah dan melengkapi dengan logistik yang cukup. Investigasi penuh, tindakan disiplin, dan tindakan legal terhadap setiap aksi kriminal yang disebutkan dilakukan oleh anggota dari pasukan masing-masing pihak.
Verifikasi seluruh komitmen oleh sebuah mekanisme monitoring yang tidak berpihak. Pengaturan keamanan untuk proyek-proyek vital, termasuk seperti komplek Exxon-Mobil.[]