Belanda yang terkepung di Medan, sejak 5 Januari 1949 sudah mengupayakan gencatan senjata. Panglima Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal Spoor di radio-radio siaran Belanda menyatakan bahwa genjatan senjata di Sumatera telah dilakukan pada hari itu pukul 12.00 siang.
Propaganda radio Belanda ini juga dibantah oleh para penyiar Radio Rimba Raya yang melakukan siaran di kaki gunung Burni Telong, Bener Meriah, Aceh. Panglima Tentara Teritorial Sumatera Kolonel Hidajat memerintahkan para pejuang dari Aceh yang sudah mengepung Medan dari arah barat untuk terus melakukan perlawanan. “Kita akan meneruskan perang suci ini sampai tercapai kemerdekaan yang abadi untuk seluruh Indonesia,” tegasnya.
Persoalan upaya gencatan senjata juga dibahas Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menggelar sidang lanjutan membahas perselisihan Indonesia dan Belanda pada 7 Januari 1949. Dalam sidang tersebut Pemerintah Belanda kembali mengajukan gencatan senjata (cease fire), namun wakil Indonesia menyatakan hanya akan menerima tawaran gencatan senjata tersebut dengan berbagai persyaratan. Setelah itu baru perundingan dengan Belanda akan dilaksanakan.
Baca Juga: Aceh Daerah Modal dan Kisah di Balik Konferensi Asia
Namun kenyataannya, meski pemerintah Belanda sudah mengajukan gencatan senjata. Pada hari itu juga, tanggal 7 Januari 1949, sekitar pukul 06.00 pagi, tentara dari Divisi X Komando Sumatera melihat sebuah kapal perang Belanda muncul di Selat Malaka di daerah perairan Lhokseumawe.
Pasukan Belanda yang tidak bisa masuk ke Aceh lewat Pulau Sabang dan lewat Medan, mencoba masuk melalui jalur laut di perairan Lhokseumawe. Kapal pengintai Belanda itu menurunkan sebuah sekoci berisi beberapa tentara, lalu masuk ke pelabuhan Lhokseumawe dan menyerobot sebuah boat.
Mengetahui hal itu, tentara dari Divisi X Komando Sumetara di Lhokseumawe menembak sekoci Belanda tersebut dengan rudal tomong. Sementara kapal perang Belanda melakukan beberapa kali tembakan dengan meriam ke daratan Lhokseumawe. Perang baru reda pada pukul 07.15.
Baca Juga: Keresidenan Aceh Dibubarkan
Tak berhasil masuk ke Aceh melalui Lhokseumawe, kapal perang Belanda tersebut kembali ke laut lepas. Akibat perang itu, 2 penduduk Aceh di pantai Lhokseumawe tewas, 3 orang mengalami luka berat, 3 orang luka ringan, dan satu tentara mengalami luka akibat serpihan peluru.
Tentang semua peristiwa tersbut bisa dibaca dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken. Buku ini menjadi sangat menarik karena ditulis sendiri oleh pelaku sejarah yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan di Aceh, Teuku Alibasjah Talsya. Buku itu ditulis ketika ia bekerja sebagai Kepala Seksi Publikasi pada Kementerian Penerangan Republik Indonesia di Jakarta.[]