Pada 2 Januari 1949, wakil Indonesia di luar negeri Lambertus Nicodemus Palar (LN Palar), meminta kepada Gubernur Sumatera Utara MR SM Amin di Banda Aceh data-data mengenai pemerintahan Aceh sebagai Daerah Modal untuk dijadikan bahan perjuangan diplomasi di luar negeri.
Hal itu dilakuka LN Palar karena hubungan diplomat Indonesia di luar negeri dengan pejabat pemerintahan pusat di dalam negeri putus total setelah agresi militer kedua Belanda. Yogyakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia saat itu sudah dikuasai Belanda, menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi wakil-wakil Indonesia dalam perjuangan diplomasi.
Sebagai pengganti Pemerintahan Pusat di Yogyakarta, Aceh mensuplay data-data dan dana perjuangan untuk para wakil Indonesia di luar negeri. Hal ini pula yang membuat Presiden Soekarno kemudian menjuluki Aceh sebagai Daerah Modal.
Aceh bukan hanya mengirim dana dan data-data perjuangan untuk para diplomat Indonesia di luar negeri. Tapi juga mengutus para saudagar Aceh untuk terlibat langsung menyokong para wakil Indonesia di luar negeri.
Baca Juga: Keresidenan Aceh Dibubarkan
Para saudagar Aceh tersebut tiba di India pada 7 Desember 1948. Kedatangan mereka ke India untuk membantu para diplomat Indonesia yang akan mengikuti konfrensi Asia di India yang salah satu agendanya adalah membahas tentang isu-isu kemerdekaan Indonesia.
Para saudagar Aceh berangkat ke India dengan pesawar Seulawah RI 001 sumbangan rakyat Aceh untuk Republik Indonesia. Pesawat ini pula yang bolak-balik dari India ke Aceh untuk mengambil dokumen dan dana perjuangan dari rakyat Aceh kebutuhan diplomasi luar negeri.
Tiga orang saudagar Aceh yang ke India itu adalah M Joened JS, Said Muhammad dan Wahi. Dalam surat mereka yang dikirim dari India ke Aceh dijelaskan bahwa, perhatian bangsa Asia dalam konferensi Asia di India sangat besar.
Baca Juga: Matra dan Prof TA Sanny Bicara Pembangunan Kearifan Lokal Aceh
Siaran radio Rimba Raya dari pedalaman Aceh dengan empat bahasa, Indonesia, Arab, Inggris dan India diterima dan didengar dengan baik di India, ikut mempengaruhi persepsi masyarakat internasional terhadap perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Belanda yang telah menguasai pusat ibu kota Indonesia di Yogyakarta mempropagandakan ke luar negeri bahwa Indonesia tidak ada lagi. Hal itu dibantah rakyat Aceh melalui siara radio Rimba Raya. Dalam siaran pembukanya penyiar radio Rimba Raya selalu berkata. “Republik Indonesia masih ada, karena pemimpin republic masih ada, tentara republik masih ada, wilayah republik masih ada, dan di sini adalah Aceh.”
Dalam suratnya itu, para Saudagar Aceh di India juga menyerukan kepada rakyat Aceh supaya meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dengan tekat yang satu dan bulat, hancurkan musuh yang menjajah Indonesia.
Baca Juga: Bank Aceh Bisa Jadi Duta di Level Nasional
Pada 20 Januari 1949, Konferensi Asia yang digelar di India membicarakan masalah Indonesia. Dari Aceh melalui siaran Radio Rimba Raya terus dikirim informasi-informasi dan bahan untuk wakil Indonesia dalam konferensi Asia tersebut.
Wakil-wakil Indonesia di luar negeri memperoleh bahan yang dikirim lewat Banda Aceh, baik oleh Ketua Pemerintahan Darurat Repubik Indonesia (PDRI) MR Sjafruddin Prawiranegara, maupun oleh Panglima Sumatera Kolonel Hidajat yang berkedudukan di Banda Aceh.
Lebih jelas tentang hubungan Aceh dengan Pemerintah PDRI dan diplomat Indonesia di luar negeri saat perjuangan diplomasi kemerdekaan Indonesia, bisa dibaca dalam buku Sekali Republiken Tetap Republiken. Buku ini ditulis oleh perjuang kemerdekaan Indonesia di Aceh, salah seorang konseptor siaran radio Rimba Raya, Teuku Alibasyah Talsya, diterbitkan pada tahun 1990 oleh Lembaga Sejarah Aceh.[]