Pembangunan Universitas Syiah Kuala (USK) tidak direstui oleh pemerintah pusat dengan dalih bukan kebutuhan mendesak. Sikap tokoh Aceh pun terbelah, ada yang setuju, ada pula yang minta ditunda.
Pemerintah Pusat berdalih, pembanguan infrastuktur publik dan ekonomi kerakyatan lebih penting dari pada membangun sebuah kampus. Sikap pemerintah pusat itu disampaikan oleh Mayor Jenderal Muhammad Jasin, salah seorang panitia pembangunan kampus Universitas Syiah Kuala yang baru kembali dari Jakarta untuk melobi pemerintah.
Dalam rapat tanggal 13 Februari 1961 di Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR) Aceh. Mayor Jenderal Muhammad Jasin menjelaskan, alasan lain pemerintah pusat tidak merestuai pembangunan Universitas Syiah Kuala adalah karena butuh biaya besar, serta belum adanya tenaga pengajar yang memadai di Aceh.
Baca Juga: Kabinet Perang Aceh Membentuk Lembaga Wali Nanggroe
Penjelasan Mayor Jenderal Muhammad Jasin itu membuat suasan rapat terbelah menjadi dua, ada yang setuju Universitas Syiah Kuala segera dibuka ada pula yang meminta ditunda dulu. Akhirnya rapat ditutup dengan penuh kelesuan.
Tapi karena para pemimpin Aceh sudah bertekad kuat untuk mendirikan sebuah universitas, maka untuk mencari dana pembangunan universitas dibentuklah Yayasan Dana Kesejahteraan Aceh (YDKA) yang dinamai Komisi Pencipta Darussalam.
Selain itu, untuk mengatasi kesulitan dana, karena pemerintah pusat belum bisa membantu menyediakan dana, maka Panglima Komando Daerah Militer (Kodam) I Iskandar Muda, Syamaun Gaharu selaku Ketua Penguasa Perang Daerah (Paperda) Aceh mengambil sikap melakukan perdagangan barter antara Aceh dengan Singapura dan Pulau Pinang, Malaysia.
Baca Juga: Pengawas Harta Rampasan Perang dari Jepang Dibentuk
Syamaun Gaharu membuat sebuah peraturan Paperda perdagangan dengan Singapura dan Pulau Pinang tersebut, tapi Paperda ini juga ditentang oleh Pemerintah Pusat, tapi Syamaun Gaharu tak menghiraukannya, ia meyakinkan pemerintah pusat bahwa itu dilakukannya sebagai bagian dari upaya untuk mempercepat upaya pemulihan keamanan di Aceh. Pemerintah pusat kemudian bisa memahaminya dan kesulitan dana pembangunan universitas di Aceh terbantu.[]